KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur marilah
senantiasa kita haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya khususnya nikmat kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah dalam mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam, sebagai bahan materi
perkuliahan pada saat ini.
Shalawat dan salam tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang telah menuntun kita
ke jalan yang benar. Selanjutnnya kami berterima kasih kepada teman-teman semua
yang ikut berpartisipasi menyelesaikan tugas ini sehingga dapat di selesaikan
tepat pada waktunya.
Semoga makalah ini
memberikan manfaat bagi kita semua, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua dan diberikan pengetahuan yang banyak dan
bermanfaat khususnya mengenai pendidikan islam, kami menguucapkan terima kasih
dan semoga Allah meridhai segala usaha kita.
Amin ya rabbal ‘alamin....
Mataram,
Oktober
2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam
yang memiliki sifat uuniversal dan kosmopolit dapat merambah keranah kehidupan
apapun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika islam dijadikan sebagai
paradigm ilmu pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan. Pertama, ilmu
pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normative, karena ia terkait
oleh norma-norma tertentu. pada taraf ini, nilai-nilai islam sangat berkompeten
untuk dijadikan nokehidupnrma dalam ilmu pendidikan. Kedua, dengan
menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil
teori-teori dan falsafah pendidikan barat.
Falsafah pendidikan barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan
berbagai dimensi kehidupan, sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat
religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal islam sangat memungkinkan untuk
dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan. Ketiga, dengan
menjadikan islam sebagai paradigm, maka keberadaan ilmu pendidikan memiliki ruh
yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa
ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Makna
islam sebagai paradigm ilmu pendidikan adalah suatu konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagaimana islam
memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai islam dengan
tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuk
praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif islam.
Fnugsi
paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif islam dalam rangka
memahami realitas ilmu pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh
konstruksi pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang
pada gilirannya terbentuk struktur transcendental sebagai referensi untuk
menafsirkan realitas pendidikan.
Rumusan sistem pendidikan islam harus dikaitkan dengan
pemikiran filosofis pendidikan islam. ‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah dalam Education
Theory : A Quranic Outlook menyatakan bahwa perumusan sistem pendidikan
islam dapat dilakukan melalui dua corak. Pertama, corak yang menghendaki
adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan non muslim. Corak ini
berusaha meminjam konsep-konsep non-islam dan menggabungkannya ke dalam
pemikiran pendidikan islam. Kedua, corak yang berusahamengangkat pesan
besar ilahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan ini
berasal dari Al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena keberadaan Al-Qur’an dan Hadis
masih bersifat global. Maka konten pendidikan masih bersifat asas-asas dan
prinsip-prinsip pendidikan.
Pendidikan
islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang membahas objek-objek di
seputar kependidikan. Pemahaman hakikat pendidikan islam sebenarnya tercermin
di dalam sejarah dan falsafah Islam sendiri, sebab setiap proses pendidikan
tidak terlepas dari objek-objek keislaman.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka kami dapat merumuskan beberapa masalah terkait
dengan pendidikan islam, yaitu :
1)
Apa makna pendidikan islam
?
2)
Apa maksud pendidikan islam
sebagai lembaga ?
3)
Apa maksud pendidikan islam
sebagai ?
4)
Apa maksud pendidikan islam
sebagai nilai ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna pendidikan
islam
Menurut bahasa, kata pendidikan dalam bahasa
Arab berasal dari kata “Tarbiyah”. Tarbiyah berasal dari suku kata roba-yarbu
yang berarti penambahan, pertumbuhan, pemeliharaan, dan penjagaan.
Az-Zamakhsyari menambahkan makna kata tersebut dengan “pengajaran”
dan “kedudukan tinggi”. Sedangkan majduddin menambahkan makna lain,
yakni memberi makna dan kemuliaan.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggunakan kata
tarbiyah seperti dalam surat 17 ayat 24, sebagai berikut :
24.
dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Al-Qur’an sering menggunakan kata lain untuk tarbiyah
seperti tilawah (membaca), tazkiyah (pensucian jiwa), ta’lim
(pengajaran) dan tathir (pensucian) seperti yang terdapat dalam surat
26:18, surat 2:151.
Adapun menurut istilah, pendidikan diartikan sebagaimana
pendapat beberapa ulama di bawah ini :
Al-Qadhi Al-baidhowi, mengartikan pendidikan (tarbiyah)
sebagai membawa sesuatu ke arah kesempurnaan secara bertahap. Definisi ini amat
umum karena mencakup pendidikan manusia, pemeliharaan binatang, tumbuh-tumbuhan
dan lain-lain. Definisi ini tidak diwarnai dengan corak islam.
Ibnu Sina mengartikan tarbiyah sebagai
pembiasaan. Yang dimaksud dengan pembiasaan adalah melakukan sesuatu
berulang-ulang dalam masa yang lama dan dalam waktu yang berdekatan. Definisi
ini telah menyempitkan bidang tarbiyah pada satus isi saja yaitu
“pembiasaan”.
Dr. Miqdad Yajian, mengklasifikasikan
pengertian pendidikan (tarbiyah) islamiyah sebagai berikut :
1) Kurikulum
materi-materi keislaman di sekolah atau madrasah
2) Sejarah
pendidikan, sejarah lembaga pendidikan atau sejarah tokoh-tokoh pendidikan di
negara islam
3) Pengajaran
ilmu-ilmu keislaman
4) Sistem
pendidikan intergral yang diambil dari arahan dan ajaran islam yang murni,
serta berbeda dengan pendidikan lain baik Barat ataupun Timur
Rif’ah
Rafi’ Ath Thathawi
mendefinisikan pendidikan sebagai usaha mengembangkan jasmani dan jiwa anak
didik semenjak lahir sampai tua dengan pengetahuan agama dan dunia.
Prof. Dr.
Abdul Gani Abud
berpendapat bahwa pendidikan islam yang kita inginkan adalah sebagaimana
pendidikan yang ideal dan sebagaimana seharusnya, yakni pendidikan islam yang
tujuan dan dasar-dasarnya berdasarkan kepada ruh islam yang dituangkan Allah
dalam Al-Qur’an yang dicontohkan Rasul dalam hadist. Jadi yang kita inginkan
itu adalah pendidikan yang berada dalam lingkungan kehidupan yang penuh dengan
suasana yang islami seperti yang digariskan dalam Al-Qur’an dan hadist
Rasulullah[1]
Dari
beberapa pengertian dari para ulama diatas maka kami dapat menyimpulkan bahwa
pendidikan islam adalah suatu proses bimbingan dan pengarahan yang dilakukan
secara terencana dan bertahap oleh seorang dewasa kepada terdidik agar memiliki
kepribadian muslim sesuai dengan potensi yang dimiliki.
B. Pendidikan Islam Sebagai Lembaga
Pendidikan
islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju tujuannya memerlukan
model dan sistem yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai
moral-spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan
berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah murid (learner
potensials orientation) yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural
yang ada. Karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan islam memandang bahwa
seluruh proses kependidikan dalam institusi adalah sebagai suatu sistem yang
berorientasi kepada perbuatan yang nyata.[2]
Kelembagaan
pendidikan islam merupakan subsistem dari sistem masyarakat atau bangsa. Dalam
operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan
masyarakat. Tanpa sikap demikian, lembaga pendidikan dapat menimbulkan
kesenjangan social dan kultural. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu
sumber konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis
pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan
masyarakat. Untuk mengetahui kesenjangan antara lembaga pendidikan dan
masyarakat yang berkenaan dengan kebutuhan yang meningkat ialah dengan melakukan
pengukuran (assessment).[3]
1)
Pendidikan Islam
Pada Sekolah Umum
Banyak
usaha yang dilakukan oleh para ilmuwan dan ulama karena memperhatikan pelaksanaan
pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan formal kita, misalnya dalam
forum-forum seminar, lokakarya dan berbagai forum pertemuan ilmiah lainnya.
Para ilmuan dan ulama serta kaum teknokrat sepakat bahwa pendidikan agama di
tanah air kita harus disukseskan semaksimal mungkin sejalan dengan lajunya
pembangunan nasional.[4]
Namun,
dalam pelaksanaan program pendidikan agama di berbagai sekolah kita, belum
berjalan seperti yang kita harapkan, karena berbagai kendala dalam bidang
kemampuan pelaksanaan metode, sarana fisik, dan non fsik, di samping suasana
lingkungan pendidikan yang kurang menunjang suksesnya pendidikan
mental-spiritual dan moral. [5]
1.
Faktor Eksternal
a)
Timbulnya sikap orang tua
di beberapa lingkungan sekitar sekolah yang kurang menyadari tentang pentingnya
pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya pemantapan pendidikan agama
disekolah yang berlanjut di rumah. Orang tua yang bersikap demikian disebabkan oleh
dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong bekerja 20 jam di luar rumah,
sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk mendidik anaknya 2
jam perminggu.
b)
Situasi lingkungan sekitar
sekolah yang dipengaruhi godaan-godaan dalam berbagai ragam bentuknya, antara
lain godaan judi, tontonan yang bernada menyenangkan nafsu (seperti film porno,
permainan ketangkasan berhadiah dan lain-lain). Situasi demikian melemahkan
daya konsentrasi berpikir dan berakhlak mulia, serta mengurangi gairah belajar,
bahkan mengurangi daya saing dalam meraih kemajuan.
c)
Adanya gagasan baru dari
para ilmuwan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai problema
pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar secara latah
mempraktekkan makna yang keliru atas kata-kata terobosan menjadi mengambil
jalan pintas dalam mengejar cita-cita tanpa melihat cara-cara yang halal dan
haram, misalnya budaya menyontek, membeli soal-soal ujian akhir dengan harga
tinggi, perolehan nilai secara aspal.
d)
Timbulnya sikap frustasi di
kalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat pendidikan, tidak
akan menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sebab perluasan
lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja. Setelah tamat
sekolah, orang tua harus bersusah payah mencarikan pekerjaan bagi anaknya. Di
sana-sini penuh dengan beban financial yang masih harus ditanggung oleh mereka.
Pendidikan agama terkena dampak dari sikap dan kecenderungan semacam itu,
sehingga apabila guru agama tidak terampil memikat minat murid, maka
efektifitas pendidikan agama tak akan dapat diwujudkan.
e)
Serbuan dampak kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar negeri semakin melunturkan perasaan
religious (keagamaan) dan melebarkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan
nilai rasional teknologis, menjadi sumber transisi nilai yang belum menentukan
arah dalam pemukiman yang baru.
2.
Faktor internal
Perangkat input instrumen yang
kurang sesuai dengan tujuan pendidikan menjadi sumber kerawanan karena :
a)
Guru kurang kompeten untuk
menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru yang disandangnya hanya
merupakan pekerjaan alternative terakhir, tanpa menekuni tugas sebenarnya
selaku guru yang berkualitas atau tanpa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan
pendidikan .
b)
Penyalahgunaan manajemen
penempatan yang mengalihtugaskan guru agama ke bagian administrasi, seperti
perpustakaan misalnya, atau pekerjaan non-guru. Akibatnya pendidikan agama
tidak dilaksanakan secara programatis.
c)
Pendekatan metodologi guru
masih terpaku kepada orientasi tardisional, sehingga tidak mampu menarik minat
murid pada pelajaran agama.
d)
Kurangnya rasa solidaritas
antara guru agama dengan guru-guru bidang studi umum, sehingga timbul sikap
memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaan agama tersendat-sendat
dan kurang terpadu.
e)
Kurangnnya waktu persiapan
guru agama dalam mengajar karena disibukkan oleh usaha non-guru untuk mencukupi
kebutuhan ekonomis sehari-hari atau mengajar di sekolah-sekolah swasta, dan
sebagainya.
f)
Hubungan guru agama dengan
murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam situasi informal di luar
kelas. Wibawa guru juga hanya terbatas di dalam dinding kelas, tanpa
berpengaruh di luar kelas/sekolah.
2)
Pendidikan Islam
Pada Madrasah
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah
sudah ada sejak agama islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan
berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh rasa
tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran islam kepada generasi penerus. Oleh
karena itu, madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu
islam. Madrasah dalam bentuk tersebut tercatat dalam sejarah bahwa
keberadaannya telah berperan serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Setelah
kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk
mengadakan penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah sejalan
dengan laju perkembangan dan aspirasi masyarakat. Penyempurnaan dalam
peningkatan mutu pendidikan madrasah itu meliputi : penataan kelembagaan,
peningkatan sarana dan prasarana, kurikulum dan tenaga guru.[7]
Lembaga
pendidikan dalam bentuk madrasah jumlahnya cukup banyak, tetapi terbesar adalah
berstatus swasta. Menurut Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam
Kementerian Agama, Komarudin Amin, mayoritas madrasah, baik ibtidaiyah (SD),
Tsanawiyah (SMP), maupun Aliyah (SMA), di Indonesia merupakan lembaga swasta.
Komarudin memaparkan, jumlah madrasah di Indonesia sekitar 67.300 institusi dan
80% diantaranya berstatus swasta. (Tempo, ahad, 6 januari 2012).[8]
Jumlah
madrasah yang cukup besar di Indonesia memberikan andil yang besar dalam ikut
serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ciri khas madrasah yang
menitikberatkan pendidikan agama (mula-mula 100% agama kemudian 30% umum dan
70% agama), dipandang kurang mampu membekali peserta didik untuk bisa hidup di
dunia yang semakin
maju, yang membutuhkan penguasaan iptek untuk menghadapinya. Lulusan madrasah
kurang bersaing di bidang penggunaan iptek di bandingkan anak-anak lulusan
sekolah umum. Padahal, orang memerlukan kehidupan yang layak sebagai warga
Negara Indonesia.[9]
Oleh karena itu, pemerintah berusaha
untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah umum yang
setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. Yang dimaksud dengan SKB 3 M
yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975,
Menteri P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No.
36 Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah. [10]
Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu
lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata
pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran
umum. Sedangkan sebelum SKB 3 M, komposisi kurikulum madrasah yaitu 70%
pelajaran agama dan 30% pelajaran umum.[11]
Adapun tujuan SKB 3 M ialah
meningkatkan mutu madrasah agar tingkat pelajaran umum di madrasah mencapai
tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni: (1) Madrasah
Ibtidaiyah (MI) untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk
tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah (MA) untuk tingkatan SMA.[12]
Dengan
pernyataan tingkat mutu tersebut maka[13]:
1. Ijazah
madrasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah umum yang
setingkat;
2. Murid madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang
setingkat; dan
3. Lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
Untuk mencapai tingkatan yang sama dengan
sekolah umum, usaha peningkatan yang akan dilakukan meliputi: (1) masalah
kurikulum; (2) buku pelajaran, alat pelajaran dan sarana pelajaran pada
umumnya; dan (3) masalah pengajar/pendidik. Dengan usaha peningkatan tersebut maka tingkat pendidikan umum
pada madrasah akan setingkat dengan pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga[14]:
1. Standar
pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD
2. Standar
pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP
3. Standar
pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.
Dengan adanya SKB 3 M ini, maka tugas dan
fungsi madrasah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional makin
mantap dan kuat sehingga lulusan madrasah bisa memperoleh kesempatan yang sama
dengan lulusan sekolah umum sebagai warga Negara yang memiliki hak dan
kewajiban.[15]
C.
Pendidikan Islam
Sebagai Disiplin Ilmu
Sumber
utama pendidikan islam sebagai disiplin ilmu adalah kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta pendapat
para sahabat dan para ulama atau ilmuwan muslim sebagai tambahan. Sebagai
disiplin ilmu, pendidikan islam bertugas pokok
mengilmiahkan wawasan atau pandangan tentang kependidikan yang terdapat
di dalam sumber-sumber pokok dengan bantuan dari pendapat para sahabat dan
ulama atau ilmuwan muslim. Dalam sumber-sumber pokok itu terdapat bahan-bahan
fundamental yang mengandung nilai kependidikan atau implikasi-implikasi
kependidikan yang masih berserakan. Untuk dibentuk suatu ilmu pendidikan islam,
bahan tersebut perlu disistematisasikan dan diteorisasikan sesuai dengan kaidah
(norma-norma) yang ditetapkan dalam dunia pengetahuan.[16]
Dunia
ilmu pengetahuan yang akademik telah menetapkan norma-norma, syarat-syarat, dan
kriteria-kriteria oleh suatu ilmu yang ilmiah. Persyaratan keilmuan yang ditetapkan
itu tampak bersifat sekuler, dalam arti bahwa mengilmiahkan suatu pandangan
atau konsep dalam banyak seginya, yang melibatkan nilai-nilai ketuhanan
dipandang tidak rasional karena metafisik dan tidak dapat dijadikan dasar
pemikiran sistematis dan logis. Nilai-nilai ketuhanan berada di atas nilai
keilmiahan dan ilmu pengetahuan. Agama adalah bukan ilmu pengetahuan, karena
bukan ciptaan budaya manusia. Agama adalah wahyu tuhan yang diturunkan kepada
umat manusia melalui rasul-rasulnya untuk dijadikan pedoman hidup yang harus
diyakini kebenarannya. Ilmu pengetahuan pendidikan islam pada khususnya
tersusun dari konsep-konsep dan teori-teori yang disistematisasikan menjadi
suatu kebulatan yang terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain saling
berkaitan. Teori tersebut dijadikan pedoman untuk melaksanakan proses
kependidikan islam itu. Antara teori dengan proses operasionalisasi saling
berkait, yang satu sama lain saling menunjang bahkan saling memperkokoh. [17]
Sebagai
suatu disiplin ilmu, pendidikan islam merupakan sekumpulan ide-ide dan
konsep-konsep intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan
pengetahuan. Jadi, mengalami dan mengetahui merupakan pengokoh awal dari
konseptualisasi manusia yang berlanjut kepada terbentuknya ilmu pengetahuan
itu. Untuk itu Nabi Adam as. diajarkan nama-nama benda terlebih dahulu sebagai
dasar konseptual bagi pembentukan ilmu pengetahuannya. Dengan kata lain, ilmu
pendidikan islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan
pengalaman empiris yang terdiri atas fakta atau informasi untuk diolah menjadi
teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu ilmu pengetahuan ilmiah.
Dengan demikian, ilmu pendidikan islam dapat dibedakan antar ilmu pengetahuna
teoritis dan ilmu pendidikan praktis. Justru ilmu pendidikan islam menuntut
adanya teori yang dijadikan pedoman operasional dalam lapangan praktik
pendidikan.[18]
Pengetahuan
kita tentang apa, bagaimana, dan sejauh mana pandangan islam tentang
kependidikan yang bersumberkan Al-Qur’an, dapat kita jadikan bahan untuk
merumuskan konsepsi pendidikan islam teoritis dan praktis yang dilaksanakan
(fleksibel) dalam lapangan operasional. Ada tiga komponen dasar yang harus
dibahas dalam teori pendidikan islam yang pada gilirannya dapat dibuktikan
validitasnya dalam operasionalisasi, yaitu[19]
:
1.
Tujuan pendidikan islam harus
dirumuskan dan ditetapkan secara jelas dan sama bagi seluruh umat islam
sehingga bersifat universal. Meskipun tujuan pendidikan itu beridealitas
tinggi, namun bila metode dan materinya tidak memadai, maka proses kependidikan
tersebut akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, tujuan pendidikan tidak
dapat berwujud dalam suatu proses yang kedap metode dan isi (content). Jika
pendidikan islam menetapkan tujuan yang berbeda-beda menurut idealitas cultural
masyarakat masing-masing, maka manusia ideal menurut citra islam yang bernilai
universal tak akan dapat mencerminkan hakikat islam akan kualitas moral dan
ideal yang berbeda-beda pula. Padahal Islamic way of life telah
ditetapkan oleh ajaran Al-Qur’an di mana ilmu pendidikan islam harus mengacu
kepadanya.
Sebagai
esensinya, tujuan pendidikan islam yang yang sejalan dengan tuntutan Al-Qur’an
itu tak lain adalah sikap penyerahan diri secara total kepada Allah Swt. yang
telah kita ikrarkan dalam shalat sehari-hari.
162.
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Dengan
demikian, kita tidak menghendaki rumsan-rumusan lain yang ditetapkan oleh ahli
pikir yang orientasinya tidak mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an. Bagi umat
islam, Al-Qur’an adalah kriteria dasar yang dipakai untuk menetapkan segala hal
yang bercorak islami.
2.
Metode pendidikan islam
yang kita ciptakan harus berfungsi secara efektif dalam proses pencapaian
tujuan pendidikan islam itu. Komprehensivitas daripada tujuan pendidikan itu
harus paralel dengan keanekaragaman metode, mulai dari metode
verbalistik-simbolisme sampai kepada berinteraksi langsung dengan situasi
belajar mengajar, misalnya kegiatan belajar dengan berdiskusi. Metode islami
atau Al-Qur’ani al-hikmah dan maukizhah al-hasanah serta mujadalah
yang paling baik, menuntut kepada pendidik untuk berorientasi kepada educational
needs dari anak didik, dimana faktor human nature (Fitrah) yang
potensial tiap pribadi anak dijadikan pusat proses kependidikan sampai kebatas
maksimal perkembangannya. Misalnya, mengajar sesuai dengan tingkat kemampuan
kejiwaannya, memberi contoh teladan yang baik, mendorong kreatifitas dalam
berfikir, menciptakan suasana pembelajaran yang menguntungkan (di waktu marah
atau sesak dada, guru tidak boleh mengajar).
3.
Irama gerak yang harmonis
antara metode dan tujuan pendidikandalam proses akan mengalami vakum bila tanpa
kehadiran nilai atau ide. Secara prinsipal, isi (content) yang
diwujudkan dalam kurikulum, mengandung makna sebagai petunjuk (baik bagi guru
maupun murid) kearah pengembangan kualitas hidup manusia selaku khalifah di
atas bumi, yang memiliki kepribadian yang utuh dalam hidup mental-rohaniah
(iman dan takwa) dan material-jasmaniah (kemampuan jasmaniah yang tinggi yang
seimbang dan serasi. Konssepsi Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan, tidak
membeda-bedakan antara ilmu pengetahuan agama dan umum. Kedua jenis ilmu
pengetahuan itu merupakan kesatuan yang tak dapt dipisah-pisahkan karena semuai
ilmu adalah merupakan manifestasi dari
ilmu pengetahuan yang satu, yaitu ilmu pengetahuan Allah. Oleh karena itu,
dalam islam tidak dikenal adanya ilmu pengetahuan yang religious dan non
religious (sekuler).
Klasifikasi ilmu pengetahuan yang
ditetapkan oleh para filsuf seperti al-Farabi, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Sina
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan islam, baik yang paling eksternal sekalipun
memiliki cirri sacral, selama ilmu-ilmu itu setia kepada prinsip-prinsip
kewahyuan, karena semua ilmu pengetahuan bersumber dari firman Allah Swt.
Seperti yang dinyatakan dalam wahyu pertama yaitu surah Al-Alaq : 1-5.
Dalam klasifikasi sains dari para
ahli pikr imuslim, tidak ditemukan adanya diskriminasi antara ilmu religious
dan ilmu sekuler, semuanya merupakan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari oleh umat
islam. Dengan demikian, content (kurikulum) pendidikan islam harus
mencerminkan jenis-jenis sains yang dibutuhkan oleh manusia muslim untuk
menunjang tugas sebagai mandataris Tuhan diatas bumi.[20]
Pendidikan islam saat ini masih
berada pada garis marginal masyarakat, belum memegang peran sentral dalam
proses pembudayaan umat manusia dalam arti sepenuhnya. Untuk itu, ilmu
pendidikan islam yang menjdai pedoman operasionalisasi pendidikan perlu
dikembangkan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam dunia akademik,
yaitu sebagai berikut[21] :
1)
Memiliki objek pembahasan
yang jelas dan khas pendidikan yang islami meskipun memerlukan ilmu penunjang
dari yang nonislami.
2)
Mempunyai wawasan,
pandangan, asumsi, hipotesis serta teori dalam lingkup kependidikan yang islami
yang bersumberkan ajaran islam.
3)
Memiliki metode analisis
yang relevan dengan kebutuhan perkembangan ilmu pendidikan yang berdasarkan
islam, beserta system pendekatan yang seirama dengan corak keislaman sebagai
kultur.
4)
Memiliki struktur keilmuan
yang sistematis mengandung totalitas yang tersusun dari komponen-komponen yang
saling mengembangkan satu sama lain dan menunjukkan kemandiriannya sebagai ilmu
yang bulat.
Oleh karena itu, suatu ilmu yang
ilmiah harus bertumpu pada adanya teori-teori, maka teori-teori pendidikan
islam juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut[22] :
1)
Teori harus menetapkan
adanya hubungan antara fakta yang ada
2)
Teori harus mengembangkan
system klasifikasi dan struktur dari konsep-konsep, karena alam kita tidak
menyediakan sistem siap pakai untuk itu.
3)
Teori harus mengikhtisarkan
(ringkas) sebagai fakta, kejadian-kejadian, oleh karenanya maka sebuah teori
harus dapat menjelaskan sejumlah besar fakta
4)
Teori harus dapat
meramalkan fakta atau kejadian-kejadian karena tugas sebuah teori adalah
meramalkan kejadian-kejadian yang belum terjadi.
Adapun corak teoritis
dari ilmu pendidikan islam itu hendaknya disusun secara sistematis yang well-organized,
yang mampu memberikan deskripsi tentang adanya fakta dari pengalaman
operasionaldalam bentuk pengertian sesederhana mungkin (Gilbert Sax, 1968 :
15-16).
D.
Pendidikan Islam
Sebagai Nilai
Pendidikan
selain mengandung unsur pengalihan pengetahuan, keterampilan, juga mengandung
unsur penanaman nilai. Bahkan, tidak sedikit ahli pendidikan yang memandang
penanaman nilai-nilai yang erat kaitannya dengan pembentukan watak pribadi
peserta didik merupakan bagian hakiki pendidikan. Tokoh pendidikan nasional
Indonesia telah menekankan bahwa, kegiatan pendidikan mempunyai dua aspek
pokok, yaitu : (1) aspek pengajaran dan latihan sebagai saranapenyampaian
pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat baik bagi pribadi peserta didik
maupun masyarakat; (2) aspek pembudayaan kepribadian melalui pendidikan budi
pekerti.
Penanaman
nilai-nilai merupakan bagian hakiki pendidikan, maka bagi mereka yang
mempersiapkan diri menjadi pendidik merupakan suatu kewajiban untuk mendalami
aksiologi atau ilmu tentang nilai-nilai, baik itu nilai estetis, nilai moral,
maupun nilai spiritual. Pertanyaan pokok yang muncul disini adalah nila-nilai
mana yang seharusnya atau paling tidak selayaknya ditanamkan dalam proses
pendidikan. Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja ada berbagai macam sesuai
dengan filsafat hidup yang dianut oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Untuk
lembaga-lembaga pendidikan di indonesia yang menganut falsafah hidup pancasila,
semestinya dibicarakan tentang penanaman nilai-nilai Pancasila dalam proses
pendidikan. Dan untuk lembaga-lembaga pendidikan agama islam memiliki falsafah
hidup “islami”, maka semestinya yang dibicarakan adalah tentang penanaman
nilai-nilai islami dalam proses pendidikan. [23]
islam
memandang nilai sebagai sesuatu yang absolut dan relatif sekaligus.
Perintah-perintah dan larangan-larangan tuhan (wahyu) yang dinyatakan secara
jelas dan tegas dalam kitab suci lebih khusus lagi pada dimensi ibadah khas,
bagi islma merupakan nilai-nilai yang absolute sedangkan norma-norma
kemanusiaan merupakan nilai-nilai yang relative. Pada nilai pertama , karena
bersifat absolute dan berlaku universal bagi semua kaum muslimin tanpa melihat
kapan dan dimana ia hidup , maka nilai-nilai tersebut harus diterima dan
dilaksanakan apa adanya. Sedangkan pada nilai yang kedua, karena bersifat
relativis, maka selama tidak bertentangan nilai-nilai universal (wahyu), manusia
dipersilahkan untuk mengembangkan kreativitasnya. Pada nilai-nilai muamalat
ini, tidak mesti sama antara umat islam yang satu denagn umat islam yang
lainnya, yang hidup pada masa dan tempat yang berbeda.[24]
Agama
islam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad saw. Pada hakekatnya merupakan
suatu ajaran yang sarat dengan nilai-nilai, baik nilai yang absolut universal
maupun nilai-nilai yang yang bersifat relatif. Hal tersebut missalnya dapat
ditangkap dari beberapa informasi wahyu dan sunnah Rasul seperti sabda
Rasulullah saw: “ sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia”. Akhlak mulia dimaksud adalah meliputi akhlak mulia kepada Allah
swt. Atau dimensi ubudiyah dan akhlak mulia kepada sesama manusia (muamalat)
dan makhluk-makhluk tuhan yang lain.[25]
Aspek
nilai dalam islam, meskipun dapat dibedakan kedalam kategori yang ubudiyah
dan mu’amalat namun nilai dan moralitas islami sesungguhnya bersifat
menyeluruh (komprehensif) dan terpadu (integral), tidak terpecah-pecah menjadi
bagian-bagian yang satu dengan yang lain berdiri sendiri . nilai-nilai
tersebut, bila dilihat secara noratif mengandung dua kategori yaitu
pertimmbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil , diridhoi
dan dikutuk oleh Allah swt. Nilai-nilai mengandung lima pengertian kategorial
yang enjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yaitu :
1)
Wajib atau fardhu,
yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang
akan endapat siksa Allah swt.
2)
Sunnah atau mustahab,
yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang
tidak akan mendapat siksa.
3)
Mubah atau jaiz
yaitu bila dikerjakan orang tidak akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan
juga tidak akan mendapat siksa.
4)
Makruh yaitu bila
dikerjakan orang tidak akan disiksa, hanya tidak disukai oleh Allah dan bila
ditinggalkan orang akan mendapat pahala.
5)
Haram yaitu bila dikerjakan
orangg akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala.
Nilai-nilai
yang tergolong kedalam lima kategori tersebut bersifat operatif dan berlaku
dalam situasi dan kondisi biasa. Apabila manusia dalam situasi dan kondisi
darurat (terpaksa), peberlakuan nilai-nilai tersebut bisa berubah. Sebagai
contoh pada waktu orang berada dalam situasi dan kondisi kelaparan karena tidak
ada makanan yang halal, maka orang diperbolehkan memakan makanan yang dalam
keadaan biasa haram, seperti dagingg babi, anjing, bangkai dan sebagainya.
Pendidikan
islam memiliki tujuan pokok yaitu membentuk pribadi muslim. Pribadi muslim
dimaksud adalah pribadi yang segala dimensi kehidupannya senantiasa diwarnai
oleh nilai-nilai islami. Pribadi yang dalam segala dimensi kehidupannya
diwarnai oleh nilai-nilai islami inilah yang disebut denagn pribadi akhlakul
karimah. Hakekat tujuan pendidikan islam adalah membentuk manusia berkeribadian
muslim. Maka kurikulum dan pelaksanaan pendidikan islam sangat menekankan
pentingnya penanaman nilai-nila moral agama. Isi kurikulum dan tata cara
pelaksanaan pendidikan islam boleh jadi bersifat variatif, tetapi nilai-nilai
islami tetap dikedepankan atau dihadirkan sebagai pengontrol operasionalisasi
pendidikan.[26]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendidikan islam adalah suatu
proses bimbingan dan pengarahan yang dilakukan secara terencana dan bertahap
oleh seorang dewasa kepada terdidik agar memiliki kepribadian muslim sesuai
dengan potensi yang dimiliki.
Kelembagaan
pendidikan islam merupakan subsistem dari sistem masyarakat atau bangsa. Dalam
operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan
masyarakat. Tanpa sikap demikian, lembaga pendidikan dapat menimbulkan
kesenjangan social dan kultural. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu
sumber konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis
pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan
masyarakat. Untuk mengetahui kesenjangan antara lembaga pendidikan dan
masyarakat yang berkenaan dengan kebutuhan yang meningkat ialah dengan melakukan
pengukuran (assessment).
Sebagai
suatu disiplin ilmu, pendidikan islam merupakan sekumpulan ide-ide dan
konsep-konsep intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan
pengetahuan. Jadi, mengalami dan mengetahui merupakan pengokoh awal dari
konseptualisasi manusia yang berlanjut kepada terbentuknya ilmu pengetahuan
itu. Untuk itu Nabi Adam as. diajarkan nama-nama benda terlebih dahulu sebagai
dasar konseptual bagi pembentukan ilmu pengetahuannya. Dengan kata lain, ilmu
pendidikan islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan
pengalaman empiris yang terdiri atas fakta atau informasi untuk diolah menjadi
teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu ilmu pengetahuan ilmiah.
Dengan demikian, ilmu pendidikan islam dapat dibedakan antar ilmu pengetahuna
teoritis dan ilmu pendidikan praktis.
Aspek
nilai dalam islam, meskipun dapat dibedakan kedalam kategori yang ubudiyah
dan mu’amalat namun nilai dan moralitas islami sesungguhnya bersifat
menyeluruh (komprehensif) dan terpadu (integral), tidak terpecah-pecah menjadi
bagian-bagian yang satu dengan yang lain berdiri sendiri . nilai-nilai
tersebut, bila dilihat secara noratif mengandung dua kategori yaitu
pertimmbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil , diridhoi
dan dikutuk oleh Allah swt. Nilai-nilai mengandung lima pengertian kategorial
yang enjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yaitu :
1)
Wajib atau fardhu,
yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang
akan endapat siksa Allah swt.
2)
Sunnah atau mustahab,
yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang
tidak akan mendapat siksa.
3)
Mubah atau jaiz
yaitu bila dikerjakan orang tidak akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan
juga tidak akan mendapat siksa.
4)
Makruh yaitu bila
dikerjakan orang tidak akan disiksa, hanya tidak disukai oleh Allah dan bila
ditinggalkan orang akan mendapat pahala.
5)
Haram yaitu bila dikerjakan
orangg akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala.
DAFTAR
PUSTAKA
H. Jamaludin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam
Cet. ke-2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-5,
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.
Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat Pendidikan
islam) Cet Ke-3, (Mataram : Alam
Tara Institute, 2009), h. 133-134
http://Kementerian
Agama Protes Larangan Hibah APBD untuk Madrasah nasional Tempo.co.htm/ di akses
pada tgl 27 0kt0ber 2013
[1] Buku
Standar Mutu Sekolah
Islam Terpadu
[2] Muzayyin
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-5, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2011), h. 8
[3] Ibid.,
h. 8
[4] H.
Jamaludin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-2,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 18
[5] Ibid.,
h. 18
[6] Ibid.,
h. 18-22
[7] Ibid.,
h. 23
[8]
http://Kementerian Agama Protes Larangan Hibah APBD untuk Madrasah nasional Tempo.co.htm/
di akses pada tgl 27 0kt0ber 2013
[9] http://purnamahidayah.blogspot.com/2012/03/pendidikan-islam-pada-sekolah-umum-dan.html/
diakses pada tgl 27 oktober 2013
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16]
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta…, h. 16
[17] Ibid.,
[18] Ibid.,
[19] Ibid.,
h. 17-20
[20] Ibid.,
21
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
22
[23]
Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat Pendidikan islam) Cet
Ke-3, (Mataram : Alam Tara Institute,
2009), h. 133-134
[24] Ibid.,
h. 141
[25]
Ibid ., h. 142
[26]
Ibid., h 141-142