BAB I
PENDAHULUAN
Proses
islamisasi di Indonesia dapat dilacak melalui sejarah perkembangan tasawuf.
Perkembangan tasawuf islam tidak terlepas dari peranan para sufi islam, seperti
Abu Yazid al-Bustami (875 M), Husein bin Mansur al-Hallaj (922 M), Ibnu Arabi
(1240 M), dan Muhammad Ibnu Fadhilah yang mengarang kitab al-Mursalah Ila Ruh an-Nabi di Gujarat, India tahun 1620 M. ulama
besar dari Aceh yang turut memengaruhi perkembangan tasawuf tersebut adalah
Hamzah Fansuri (1630 M), Syamsudin Pasai (1636 M), Nurruddin ar-Raniri (1644
M), dan Abdul Rauf Singkel (1690 M).
Ajaran keempat ulama tersebut diteruskan oleh
beberapa ulama di wilayah lain. Di Sumatra Barat muncul seorang tokoh ulama
bernama Burhanuddin Ulakan. Di daerah Priangan, muncul nama Abdul Muhyi. Di
kesultanan Cirebon, Keraton Mataram, serta Sulawesi Selatan muncul tokoh ulama
bernama Syekh Yusuf.
Pada awalnya, agama islam
berpengaruh pada masyarakat kelas menengah, seperti pedagang dan kelompok
profesional yang berada di Bandar-bandar serta pusat-pusat kegiatan
perekonomian di seluruh kawasan Asia Tenggara. Di sini terjadi aliansi besar
antara pengusaha, kaum intelektual, dan para penguasa lokal. Data tertua
tentang adanya kesultanan islam di Indonesia terdapat di Pasai, Sumatra Utara,
yaitu nisan Sultan Malik as-Saleh yang meninggal pada tahun 1297 M. Proses islamisasi di
Pasai disebutkan dalam sumber tradisional, yaitu Hikayat Raja-Raja Pasai dan
Hikayat Melayu. Dikisahkan bahwa raja mendapat mimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad Saw. Secara ajaib, keesokan harinya ia dapat melafalkan kalimat
syahadat. Berdasarkan fakta itu, diduga islam yang pertama kali diperkenalkan di
Kesultanan Samudra Pasai berasal dari
India Selatan. Dugaan itu muncul karena adanya persamaan mazhab yang banyak
dianut oleh muslim India selatan dengan kaum muslim di Kesultanan Samudra Pasai,
yaitu pengikut Mazhab Syafi’i. Mazhab Syafi’i dapat ditelusuri para pengikutnya
hingga Hadramaut, Mesir, dan daerah timur tengah yang lain.
Dalam proses islamisasi di Indonesia
terdapat bukti-bukti adanya peranan golongan sayid dari Hadramaut. Di Hadramaut,
pengaruh Mazhab Syafi’i amat besar sesudah Ahmad ibnu Isa al-Muhajir dan
pengikutnya berhasil menggeser pengaruh kelompok Khawarij Ibadiyah yang
dipimpin oleh Abdullah bin Yahya pada tahun 929 M. di Asia Tenggara, golongan
Sayid Hadrami ini telah berada dilingkungan komunitas muslim sejak sekitar abad
XI. Para pemukim dari Arab Selatan itu mulai tumbuh dengan pesat dalam
rentangan waktu abad XVI-XIX. Berdasarkan fakta itu, Pasai dianggap sebagai
negeri pertama yang memeluk agama islam yang berasal dari Benggala.
Bandar perdagangan lain yang juga berperan
sebagai pusat penyebaran islam adalah Barus yang terletak di pantai barat
Sumatra Utara. Bandar Barus telah dikunjungi pedagang dari Cina sejak abad VII
dan pada saat-saat tertentu juga dikunjungi para pedagang Arab, Persia, dan
India. Hasil ekspor penting Barus adalah kapur barus dan menyan yang bermutu
tinggi. Oleh karena itu, para pedagang dari Cina dan India langsung mengangkut
komoditas tersebut dari sumbernya. Kehadiran para pedagang Arab dan India di
Barus pada abad XVI terekam dalam catatan Tomo Pires. Ia menyatakan bahwa
Pelabuhan Barus merupakan pelabuhan ramai dan makmur. Tomo Pires pun
menggunakan nama Barus Dan Fansur sebagai sinonim.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI
MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Masuknya islam ke indonesia menimbulkan beberapa teori
yang di kemukakan oleh para ahli. Martin van bruinessen mengatakan bahwa, cara
berlangsungnya perpindahan agama di Indonesia tidak terdokumentasikan dengan
baik, sehingga menimbulkan banyak spekulasi di kalangan para ilmuwan dan kadang-kadang
menimbulkan perdebatan yang sengit.[1] Mengenai tempat asal, pembawa dan kapan
datangnya Islam ke Indonesia, sedikitnya
ada lima teori besar. Di bawah ini dijelaskan secara singkat seputar
teori-teori yang berkaitan dengan masuknya Islam di Nusantara :
Teori Gujarat.
Teori yang mengatakan bahwa Islam di nusantara datang
dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel
tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman,
Marcopolo, dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang
bermadzhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia
Tenggara. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa, melalui
perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah
ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari
India, digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih
lanjut dikembangkan oleh Snouk Hurgronje,
seorang orientalis terkemuka Belanda yang melihat para pedagang kota
pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah nusantara.[2]
Teori Snock Hurgronje ini lebih
lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti
di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke
nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya
para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju nusantara.[3]
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P.
Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan
Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai,
Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang
wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan
yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu
nisan tersebut di impor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat
atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya
adalah kesamaan mahzab Syaf’i yang di
anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
Teori Makkah
Teori lama, teori Gujarat, sejak 1958 mendapatkan koreksi
dan kritik dari Hamka yang melahirkan teori baru yakni Teori Makkah. Koreksinya
ini disampaikan dalam pidatonya pada Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta, pada 1958. Sejak dari pidatonya di atas,
kemudian dikuatkan dalam sanggahannya dalam seminar Sejarah Masuknya agma Islam
Ke Indonesia, di Medan, 17-20 Maret 1963, Hamka menolak pandangan yang
menyatakan bahwa agama islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan berasal
dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa arab sebagai
pembawa agama islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah
semata, dan Makkah sebagai pusat,atau mesir sebagai tempat pengambilan ajaran
islam. [4]
Bahan
argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia
dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak
dilandasi oleh nila-nilai ekonomi, melainkan di dorong oleh motivasi spirit
penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara
Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi. Selain itu, Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa agama islam baru
masuk ke Nusantara pada abad ke-13, karena di Nusantara abad ke-13 telah
berdiri kekuasaan politik islam. Jadi masuknya agama islam ke Nusantara terjadi
jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7.[5]
Dalam
hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak
kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis
Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA,
melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan
negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan
tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama.
Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari
orang-orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan.
Pandangan
HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum
pengembara) yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi
biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan
kumpulan atau perguruan tarekat.
Menurut Arnold, bahwa untuk menetapkan masuknya agama
Islam ke Indonesia dengan tepat tidaklah mungkin. Ada kemungkinan dibawa ke
Indonesia oleh pedagang-pedagang Arab pada permulaan abad tahun hijriah, lama
sebelum ada tulisan-tulisan sejarah tentang perkembangan Islam itu.[6] Pendapat
yang demikian itu berdasarkan pengertian kita tentang ramainya perdagangan
dengan dunia Timur yang sejak dahulu dilakukan oleh orang Arab. Pada abad ke 2
sebelum masehi perdagangan dengan Ceylon seluruhnya ada di tangan mereka. Pada
permulaan abad ke 7, perdagangan dengan Tiongkok melalui Ceylon sangat ramai
sehingga pada pertengahan abad ke 8 banyak kita jumpai pedagang Arab di Canton,
sedang antara abad 10 dan 15 sampai datangnya orang Portugis, mereka telah
menguasai perdagangan di Timur. Diperkirakan bahwa mereka sejak lama telah
mendirikan tempat-tempat perdagangan pada beberapa kepulauan di Indonesia,
sebagaimana halnya pada tempat-tempat lainnya, meskipun tentang kepulauan itu
tidak disebut-sebut oleh ahli ilmu bumi Arab sebelum abad ke 9, menurut berita
Tiongkok tahun 674 masehi ada kabar tentang seorang pembesar Arab yang menjadi
kepala daerah pendudukan bangsa Arab di pantai Barat Sumatera.[7]
Sebagian
besar dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia datang dari Yaman,
Hadramaut dan Oman di bagian Selatan dan Tenggara semenanjung tanah Arab.
Kawasan Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun 630-631 hijriyah tepatnya pada
zaman Ali bin Abi Thalib. Pengislaman Yaman ini mempunyai implikasi yang besar
terhadap proses Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut dan pedagang Yaman
menyebarkan agama Islam di sekitar pelabuhan tempat mereka singgah di Asia
Tenggara.[8]
Sedangkan Sayed Alwi bin Tahir al-Haddad, mufti
kerajaan Johor Malaysia berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dalam
abad ke 7 masehi atau dengan kata lain agama Islam masuk ke pulau Sumatera pada
tahun 650 masehi. Alasannya adalah karena Sulaiman as-Sirafi, pedagang dari
pelabuhan Siraf di teluk Persia yang pernah mengunjungi Timur jauh berkata
bahwa di Sala (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu yaitu
kira-kira pada akhir abad ke 2 hijriyah. Hal ini dapat dipastikan dan tidak
perlu dijelaskan lagi karena pedagang rempah dan wangi-wangian yang terdapat di
Maluku sangat menarik pedagang-pedagang muslimin untuk berkunjung ke Maluku dan
tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan itu.[9]
Teori Benggali.
Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa
Islam datang dari Benggali (Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pires yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah
orang Benggali atau keturunan mereka. Dan, Islam muncul pertama kali di
semenanjung Malaya dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad
ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan
bahwa doktrin Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, Elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang
ditemukan di Leran. Drewes, yang mempertahankan teori Snouck, menyatakan bahwa
teori Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas
prasasti yang ada dinilai merupakan perkiraan liar belaka. Lagi pula madzhab
yang dominan di Benggali adalah madzhab Hanafi, bukan madzhab Syafii seperti di
semenanjung dan nusantara secara keseluruhan.
Teori Persia.
Teori keempat tentang kedatangan Islam di nusantara
adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesein
Djayadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masukkanya agama Islam ke
nusantara berbeda dengan teori India dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan
masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafii-nya. Teori Persia lebih
menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat
Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.[10]
Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat
Islam Indonesia antara lain : Pertama,
peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian
syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah
sebelah Barat, disebut bulat Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda
Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda
tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab. Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran syaikh Siti Jenar
dengan ajaran sufi al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310
H/922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga
memungkinkan syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa
Iran dalam mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian
al-quran tingkat awal. Dalam bahasa Persi Fathah ditulis jabar-zabar, kasrah
ditulis jer-zeer, dhammah ditulis p’es-py’es. Huruf sin yang tidak bergigi
berasal dari Persia, sedangkan sin bergigi berasal dari Arab. Keempat, nisan pada
makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik
dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan mutlak
dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda jauh dengan pandangan CE Morisson.[11] Kelima, pengakuan
umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafi’i sebagai
madzhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah madzhab Syafi’i, Hoesein Djayadiningrat mempunyai kesamaan dengan GE Morrison, tetapi
berbeda dengan teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka. Hoesein Djayadiningrat
di satu pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan
dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang madzhab Syafii terhenti ke
Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat madzhab Syafii di Makkah.
Teori Cina.
Islam disebarkan dari Cina telah dibahas oleh SQ
Fatimi.[12]
Beliau mendasarkan teorinya ini
kepada perpindahan orang-orang Islam dari Canton ke Asia tenggara sekitar
tahun 876. Perpindahan ini dikarenakan adanya pemberontakan yang mengorbankan
hingga 150.000 muslim. Menurut Syed Naquib Alatas,
tumpuan mereka adalah ke Kedah dan Palembang.[13] Hijrahnya mereka ke Asia Tenggaran telah membantu perkembangan Islam di
kawasan ini. Selain Palembang dan Kedah, sebagian mereka juga menetap di Campa,
Brunei, pesisir timur tanah
melayu (Patani, Kelantan, Terengganu dan Pahang) serta Jawa Timur.
Bukti-bukti yang menunjukan bahwa penyebaran Islam
dimulai dari Cina adalah ditemukannya : batu nisan syekh Abdul Kadir bin Husin
syah Alam di Langgar, Kedah bertarikh 903 M, batu bertulis Phan-rang di Kamboja
bertahun 1025 M, batu nisan di
pecan Pahang bertahun 1028 M, batu nisan puteri Islam Brunei bertahun 1048 M,
batu bersurat Trengganu bertahun 1303 M dan batu nisan Fathimah binti Maimun di
Jawa Timur bertarik 1082 M.
Walaupun dari kelima teori ini tidak terdapat titik
temu, namun mempunyai persamaan pandangan yakni Islam sebagai agama yang
dikembangkan di Nusantara melalui jalan damai. Dan Islam tidak mengenal adanya
missi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen atau Katolik.
PROSES
MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Proses masuknya islam ke Indonesia
dilakukan secara damai dengan cara menyesuaikan diri dengan adat istiadat
penduduk lokal yang telah lebih dulu ada. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan
persamaan derajat, tidak membeda-bedakan si miskin dan si kaya, sikuat dan
silemah, rakyat kecil dan penguasa, tidak adanya sistem kasta dan menganggap
semua orang sama kedudukannya dihadapan Allah telah membuat agama Islam
perlahan-lahan mulai diterima masyarakat[14].
Proses
masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai dan dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut :
- Melalui Cara Perdagangan
Indonesia dilalui oleh jalur
perdagangan laut yang menghubungkan antara China dan daerah lain di Asia. Letak
Indonesia yang strategis ini membuat lalu lintas perdagangan di Indonesia
sangat padat dilalui oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk para
pedagang muslim. Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat
menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan
perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Para pedagang muslim ini banyak
bermukim di daerah pesisir pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya masih
menganut agama Hindu. Para pedagang ini mendirikan masjid dan mendatangkan para
ulama dan mubalig dari luar untuk mengenalkan nilai dan ajaran Islam kepada
penduduk lokal, dan karenanya anak-anak muslim itu menjadi orang jawa dan
kaya-kaya. Dibeberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai
bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan dipesisir utara Jawa banyak yang masuk
islam, bukan hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi
terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim. Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan
kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.
- Melalui Perkawinan
Bagi masyarakat pribumi, para pedagang
muslim dianggap sebagai kalangan yang terpandang. Hal ini menyebabkan banyak penguasa pribumi tertarik untuk menikahkan
anak gadis mereka dengan para pedagang ini. Sebelum menikah, sang gadis akan
menjadi muslim terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan,
lingkungan mereka semakin luas. Akhirnya timbul kampong-kampung, daerah-daerah,
dan kerajaan-kerajaan muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita
muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir
ini masuk islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan
apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan
anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut
mempercepat proses islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat
atau sunan ampel dengan Nyai Manila, sunan Gunung Jati dengan putrid
Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja
pertama Demak), dll.
3. Melalui Pendidikan
Pengajaran dan pendidikan Islam
mulai dilakukan setelah masyarakat islam terbentuk. Pendidikan dilakukan di
pesantren ataupun di pondok yang dibimbing oleh guru agama, ulama, ataupun
kyai. Para santri yang telah lulus akan pulang ke kampung halamannya dan akan
mendakwahkan Islam di kampung masing-masing. Misalnya, pesantren yang didirikan
oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran
pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama
islam.
- Melalui Kesenian
Wayang adalah salah satu sarana kesenian untuk
menyebarkan islam kepada penduduk lokal. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh
terpandang dan paling mahir
dalam mementaskan wayang untuk mengenalkan
agama Islam. Beliau tidak perna menerima upah pertunjukan, tetapi meminta para
penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Cerita wayang yang dipentaskan
biasanya dipetik dari kisah Mahabrata atau Ramayana yang kemudian disisipi
dengan nilai-nilai Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat
islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan, dan
seni ukir.
5. Melalui Tasawuf
Pengajar-pengajar
tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang
sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal
magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga
yang mengawini putrid-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” islam
yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran
mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah
dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang
mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-islam adalah Hamzah
Fansuri di Aceh, syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik
seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
6. Melalui Saluran Politik
Di
Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk islam setelah rajanya
memeluk islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu
tersebarnya islam di daerah ini. Disamping itu, baik di Sumatera dan Jawa
maupun Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan
islam memerangi kerajaan-kerajaan non-islam. Kemenangan kerajaan islam secara
politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan islam itu masuk islam.
ORGANISASI-ORGANISASI
ISLAM DI INDONESIA
1.
MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah adalah sebuah
organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari
nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah
juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad
SAW. Latar belakang KH Ahmad Dahlan memilih nama
Muhammadiyah yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat
umum adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga ada celah
untuk memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya tentang agama Islam
sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.[15]
Persyarikatan
Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan
ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada
awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul
Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah
dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan
selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal
dengan Madrasah Mu’allimin_khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan
kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat Muhammadiyah_khusus Perempuan, di
Suronatan Yogyakarta).
Muhammadiyah
secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad, karena berasal dari kata
Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara terminologi
berarti gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber
pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Berkaitan dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah
secara garis besar faktor penyebabnya adalah pertama, faktor
subyektif adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an dalam
menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Kedua, faktor
obyektif di mana dapat dilihat secara internal dan eksternal. Secara
internal ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan
as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam
yang melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan
menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut
seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat
dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam
kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut
Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi
rahmatan lil-’alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.
Visi Muhammadiyah adalah sebagai
gerakan Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan watak tajdid
yang dimilikinya senantiasa istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam
amar ma’ruf nahi mungkar di segala bidang, sehingga menjadi rahmatan li
al-‘alamin bagi umat, bangsa dan dunia kemanusiaan menuju terciptanya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang diridhai Allah swt dalam kehidupan
di dunia ini. Misi Muhammadiyah adalah:
1)
Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran
Allah swt yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
2)
Memahami agama dengan
menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan
menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang bersifat duniawi.
3)
Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an
sebagai kitab Allah yang terakhir untuk umat manusia sebagai penjelasannya.
4) Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam
kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
1.1. Latar Belakang Berdirinya
Muhammadiyah
Keinginan dari KH. Akhmad Dahlan
untuk mendirikan organisasi yang dapat dijadikan sebagai alat perjuangnan dan
da’wah untuk nenegakan amar ma’ruf nahyi munkar yang bersumber
pada Al-Qur’an, surat Al-Imron:104 yang berbunyi :
Artinya : Dan hendaklah ada diantara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S.
Ali-imran: 104). sebagai
sumber dari gerakan sosial praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid.
Ketidakmurnian ajaran islam yang
dipahami oleh sebagian umat islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak
tuntas antara tradisi islam dan tradisi lokal nusantara dalam awal bermuatan
faham animisme dan dinamisme. Sehingga dalam prakteknya umat islam di indonesia
memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam,
terutama yang berhubuaan dengan prinsip akidah islam yag menolak segala bentuk
kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat. Sehingga pemurnian ajaran menjadi
pilihan mutlak bagi umat islamm Indonesia.
Keterbelakangan umat islam indonesia
dalam segi kehidupan menjadi sumber keprihatinan untuk mencarikan solusi agar
dapat keluar dari keterbelakangan. Keterbelakangan umat islam dalam dunia
pendidikan menjadi sumber utama keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren
tidak bisa selamanya dianggap menjadi sumber lahirnya generasi baru muda islam
yang berpikir moderen. Kesejahteraan umat islam akan tetap berada dibawah garis kemiskinan
jika kebodohan masih melingkupi umat islam indonesia.
Maraknya kristenisasi di indonesia
sebagai efek domino dari imperalisme
Eropa ke dunia timur yang mayoritas beragama islam. Proyek kristenisasi satu
paket dengan proyek imperialisme dan modernisasi bangsa Eropa, selain keinginan
untuk memperluas daerah koloni untuk memasarkan produk-produk hasil revolusi industri yang melanda Eropa.
Imperialisme Eropa tidak hanya
membonceng gerilya gerejawan dan para penginjil untuk menyampaikan ’ajaran
jesus’ untuk menyapa umat manusia diseluruh dunia untuk ’mengikuti’ ajaran
jesus. Tetapi juga membawa angin modernisasi yang sedang melanda Eropa. Modernisasi yang terhembus
melalui model pendidikan barat (belanda) di indonesia mengusung paham-paham
yang melahirkan moernisasi erofa, seperti sekularisme, individualisme,
liberalisme dan rasionalisme. Jika penetrasi itu tidak dihentikan maka akan
terlahir generasi baru islam yang rasional tetapi liberal dan sekuler.[16]
Ada
dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, sebagai berikut :
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang
berasal dari dalam diri umat islam sendiri yang tercermin dalam dua hal, yaitu
sikap beragama dan sistem pendidikan islam. Sikap beragama umat islam saat itu
pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional. Sirik,
taklid, dan bid’ah masih menyelubungai kehidupan umat islam, terutama dalam
lingkungan kraton, dimana kebudayaan hindu telah jauh tertanam. Sikap beragama
yang demikian bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad ke 20 itu,
tetapi merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses
islamisasi beberapa abad sebelumnya. Seperti diketahui proses islamisasi di
indonesia sangat di pengaruhi oleh dua hal, yaitu Tasawuf/Tarekat dan mazhab
fikih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum sufi memegang peranan yag sangat
penting. Melalui merekalah islam dapat menjangkau daerah-daerah hampir di seluruh nusantara ini.
2. Faktor eksternal
Faktor lain yang melatarbelakangi
lahirnya pemikiran Muhammadiah adalah faktor yang bersifat eksternal yang
disebabkan oleh politik penjajahan kolonial belanda. Faktor tersebut antara
lain tampak dalam sistem pendidikan kolonial serta usaha
kearah westernisasi
dan kristenisasi. Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak
bumi putra, ataupun yang diserahkan kepada misi and zending Kristen dengan
bantuan financial dari pemerintah belanda. Pendidikan demikian pada awal abad
ke 20 telah meyebar dibeberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai atas,
yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga
pendidikan kolonial
terdapatlah dua macam pendidikan diawal abad 20, yaitu pendidikan islam
tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, bukan hanya
dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya.
Pendidikan kolonial melarang
masuknya pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial, dan dalan artian ini orang
menilai pendidikankcolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping
sebagai penyebar
kebudayaan barat. Dengan corak pendidikan yang demikian pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan
lahirnya golongan pribumi yang terdidik, tetapi juga berkebudayaan barat. Hal
ini merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik asisiasi yang
pada hakekatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik
penduduk asli Indonesia kedalam orbit kebudayaan barat. Dari lembaga pendidikan
ini lahirlah golongan intlektual yang biasanya memuja barat dan menyudutkan
tradisi nenek moyang serta kurang menghargai islam, agama yang dianutnya.
Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan
kebudayaan barat yang sekuler tanpa mengimbanginya dengan
pendidiakan agama konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah tampaknya yang dimaksud sebagai ancaman
dan tantangan bagi islam diawal abad ke 20.
2.
NAHDATUL ULAMALA’ (NU)
Nahdatul Ulama disingkat NU, yang
merupakan suatu jam’iyah
Diniyah Islamiyah yang
berarti Organisasi Keagamaan Islam. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31
Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H. Organisasi
ini merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia dewasa ini. NU
mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan para pengikut mereka yang
berfaham salah satu dari empat mazhab Fikih Islam Sunni terutama Mazhab
Syafi’i. Basis sosial Nu dahulu dan kini terutama masih berada di pesantren.[17]
Sebagai latar belakang terbentuknya
organisasi NU ini adalah: gerakan pembaruan di Mesir dan sebagian Timur Tengah
lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin
al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam. Sementara di Turki bangkit
gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khalifah Usmaniyah.
2.1. Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU)
Jika
di Mesir dan Turki gerakan pembaruan muncul akibat kesadaran politik atas
ketertinggalan mereka dari Barat, di Arab Saudi tampil gerakan Wahabi yang
bergulat dengan persoalan internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi faham
tauhid dan konservasi dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda
umat Islam.
Sementara di Indonesia tumbuh
organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan yang bertujuan untuk memajukan
kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 November
1912), dan kemudian disusul Muhammadiyah (18 Nopember 1912).
Hal-hal tersebut telah membangkitkan
semangat beberapa pemuda Islam Indonesia untuk membentuk organisasi pendidikan
dan dakwah, seperti Nahdatul Wathan (Kebangkitan tanah air), dan Taswirul Afkar (potret pemikiran). Kedua organisasi
dirintis bersama oleh Abdul Wahab Hasbullah dan Mas Mansur. organisasi inilah
yang menjadi cikal bakal lahirnya NU.
Pada saat yang sama, tantangan
pembaruan yang dibawah oleh Muhammad Abduh di Mesir mempengaruhi ulama
Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah, yakni organisasi Islam terbesar kedua pada
abad ke-20 di Indonesia. Penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz
ke tangan Ibn Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun 1924 memicu konflik
terbuka dalam masyarakat Muslim Indonesia. Perubahan-perubahan ini mengganggu
sebagian besar ulama Jawa, termasuk Hasbullah. Dia dan ulama sefaham menyadari
serta melakukan usaha-usaha untuk melawan ancaman bid’ah tersebut serta
merupakan kebutuhan yang mendesak. Hasyim Asy’ari (1871-1947) Kiai dari
pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang merupakan ulama Jawa paling
disegani-menyetujui permintaan mereka untuk membentuk NU pada tahun 1926 dan
dia menjadi ketua pertamanya atau ro’is
akbar.
Khittah NU 1926 menyatakan tujuan NU sebagai berikut:
1) Meningkatkan hubungan antar ulama dari
berbagai mazhab sunni
2) Meneliti kitab-kitab pesantren untuk
menentukan kesesuaian dengan ajaran
ahlusunnah
wal-jama’ah
3) Meneliti kitab-kitab di pesantren untuk
menentukan kesesuaiannya dengan ajaran ahlusunnah
wal-jama’ah
4) Mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran
empat mazhab
5) Mendirikan Madrasah, mengurus masjid,
tempat-tempat ibadah, dan pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir
miskin
6) Dan membentuk organisasi untuk memajukan
pertanian, perdagangan, dan industri yang halal menurut hukum Islam
Dari keenam usaha tersebut, hanya
satu butir saja yaitu usaha pertanian, perdagangan dan industri yang tidak
berhubungan langsung dengan kehidupan kaum ulama secara khusus.
Hasil Muktamar XXVII NU di Situbondo
pada tahun 1984, melalui sebuah keputusan yang disebut “Khittah Nahdatul
Ulama”, menegaskan kembali usaha-usaha tersebut dalam empat butir. Pertama, peningkatan silaturrahmi antar
ulama. Kedua, peningkatan kegiatan di
bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan. Ketiga,
peningkatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana peribadatan dan
pelayanan sosial. Keempat,
peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah,
mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan-urusan pertanian, perniagaan dan
perusahaan yang tidak dilarang oleh syara’.
Dengan demikian pengaruh ulama
sangat besar dalam NU, dan telah mendapat konfirmasi dari Khittah NU. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya NU adalah Jam’iyyah
Diniyyah yang membawakan faham keagamaan, sehingga yang menjadi mata
rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah
wal-jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas
dan pembimbing utama jalannya organisasi.
Selanjutnya akan dijelaskan sekilas
tentang lambang NU, lambang NU ini dibuat pada tahun 1927. Mempunyai lambang
sebuah bintang besar di atas bumi menyimbolkan Nabi Muhammad, empat bintang
kecil, masing-masing dua disebelah kanan dan kiri bintang besar, melambangkan
empat khulafa’al-Rasyidin; dan empat bintang kecil di bawah melambangkan empat
Imam Mazhab sunni; kesembilan bintang tadi secara bersama-sama juga bermakna
sembilan wali (Wali Songo) yang pertama kali menyebarkan agama Islam di jawa.
Bola dunia yang berwarna hijau melambangkan asal-usul kemanusiaan, yaitu bumi,
yang kepadanya manusia akan kembali dan dirinya manusia akan kembali dan
manusia akan dibangkitkan pada hari pembalasan. Tali kekemasan yang melingkari
bumi dengan 99 ikatan melambangkan 99 nama-nama indah Tuhan, yang dengannya seluruh
muslim di dunia disatukan.
KESIMPULAN
Dari
berbagai teori dan pembahasan mengenai kedatangan islam kenusantara jelas belum
tuntas, tidak hanya karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori
tertentu tetapu juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.
Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus
dari ketiga masalah pokok menenai kedatangan islam ke nusantara yaitu tempat
asal kedatangan islam, para pembawanya dan wktu kedatangannya, sementara
mengabaikan aspek-aspek lainnya. Kerena itu, kebanyakan teori yang ada dalam
segi-segi tertentu gagal menjelaskan kedatangan islam, konversi agama yang
terjadi, dan proses-proses islamisasi yang terlibat di dalamnya. Bukannya tidak
biasa jika suatu teori tertentu tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
tandingan yang diajukan teori-teori lain. Walaupun dari beberapa teori diatas
kayaknya tidak terdapat titik temu, namun mempunyai persamaan pandangan yakni
islam sebagai agama yang dikembangkan di Nusantara melalui jalan damai dan
islam tidak mengenal adanya misi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan
Kristen dan katolik.
Selanjutnya
mengenai proses masuknya islam ke Nusantara, ada enam cara yang kiranya bisa
dikatakan sebagai cara masuknya diantaranya melalui perdagangan, perkawinan,
pendidikan, kesenian, tasawuf dan politik dimana kesemua cara tersebut dilakukan secara damai
artinya islam disebarkan tidak dengan cara kekerasan tetapi islam beradaptasi
dengan budaya masyarakat dalam artian budaya yang telah berkembang
ditengah-tengah masyarakat disesuaikan dengan ajaran-ajaran islam. Budaya yang
sesuai tetap dipertahankan sedangkan yang tidak sesuai dihapus dengan cara-cara
yang baik tanpa terjadi perlawanan dari masyarakat itu sendiri. Organisasi yang
lahir di Indonesia baik itu Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama merupakan
bentuk dari keprihatinan para tokoh-tokoh agama bangsa Indonesia terhadap
kondisi yang dialami bangsa Indonesia itu sendiri yang tidak secara utuh
menggunakan Al-Qur’an maupun Al-Hadis sebagai pedoman dalam hidupnya yang
menyebabkan masyarakat Indonesia mengalami keterbelakangan terutama dalam hal
pendidikan yang pada akhirnya menyebabkan bangsa Indonesia mengalami kebodohan.
Dan juga pengaruh pendidikan yang diterapkan pada masa penjajahan kolonial belanda
yang berusaha mengarahkan masyarakat Indonesia ke arah westernisasi dan kristenisasi
dengan cara tidak memasukkan unsur agama didalam kurikulum pendidikan yang pada
akhirnya melahirkan para intelektual pribumi yang memuja barat dan menyudutkan
agama yang mereka anut dan juga melahirkan intelektual yang rasional dan
liberal karena pendidikan yang diperolehnya tanpa berlandaskan ajaran-ajaran
agama islam.
DAFTAR PUSTAKA
Aydrus, Muhammad Hasan. 1996. Penyebaran
Islam di Asia Tenggra, terj. (Jakarta: Lentera: Lentera Bastarima).
Arnold, Thomas W. 1981. The Preaching Of Islam, terj. ( Jakarta: Penerbit Widiya).
Asrohah, Hanun, 1999. Sejarah Pendidikan Islam.
(Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu).
Azra, Azyumardi, 1999. Renessaince
Islam di Asia Tenggara. (Bandung: Remaja Rosda
Karya).
Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban islam cet. Ke-22. (Jakarta: Rajawali Pers).
Mansur
Suryanegara, Ahmad. 1996. Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia. (Bandung: Penerbit Mizan).
Murodi. 1994 Sejarah Kebudayaan Islam. (Semarang:
PT. Karya Toha Putra).
Zuhairini, 2008, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara
http://sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/proses-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara/hari
rabu senin 01 desember 2012 pukul 21.10 WITA.
[4] Ahmad Mansur Suryanegara. Menemukan Sejara : Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia. (Bandung: Penerbit Mizan,
1996), h. 81-82
[6] TW Arnold, The Preaching of Islam, A History of the
Propogation of the Muslim Faith, (London: Luzac & Company, 1935), h. 363.
[8] Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani Halimi, Sejarah
Islam. (Pulau Penang: Fajar Bakti SDN.BHD, 1993), h. 559.
[9] Sayed Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah
Perkembangan Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Maktab al-Daimi, 1957) h. 21.
[10] GWJ Drewes, New Light on the Coming of Islam in
Indonesia, compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain, Readings
on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institue of Southeast Asia Studies,
1985), h. 7-19.
[12]
Fatimi SQ, Islam
Comes to Malaysia, (Singapore: Malaysian Sociological Reseach Institude,
Ltd, 1963).
[13]
Syed Nagib
Alatas, Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of
Malay-Indonesian Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
1969), h. 11.
[16] Ibid. hal. 148
terima kasih atas postingannya
BalasHapusya, sama2, , , semoga bermanfaat...
HapusTerima kasih banyak atas informasi nya, Sangat membantu artikel nya. Teruslah sebar kebaikan dijalan allah swt.. jangan lupa share and kunjungi juga website mp3 kami di http://laguhits98.wapque.com semoga sukses slalu ya gan.
BalasHapus