“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Rabu, 23 Oktober 2013

Teori-Teori Masuknya Islam di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

            Proses islamisasi di Indonesia dapat dilacak melalui sejarah perkembangan tasawuf. Perkembangan tasawuf islam tidak terlepas dari peranan para sufi islam, seperti Abu Yazid al-Bustami (875 M), Husein bin Mansur al-Hallaj (922 M), Ibnu Arabi (1240 M), dan Muhammad Ibnu Fadhilah yang mengarang kitab al-Mursalah Ila Ruh an-Nabi di Gujarat, India tahun 1620 M. ulama besar dari Aceh yang turut memengaruhi perkembangan tasawuf tersebut adalah Hamzah Fansuri (1630 M), Syamsudin Pasai (1636 M), Nurruddin ar-Raniri (1644 M), dan Abdul Rauf Singkel (1690 M).
            Ajaran keempat ulama tersebut diteruskan oleh beberapa ulama di wilayah lain. Di Sumatra Barat muncul seorang tokoh ulama bernama Burhanuddin Ulakan. Di daerah Priangan, muncul nama Abdul Muhyi. Di kesultanan Cirebon, Keraton Mataram, serta Sulawesi Selatan muncul tokoh ulama bernama Syekh Yusuf.
            Pada awalnya, agama islam berpengaruh pada masyarakat kelas menengah, seperti pedagang dan kelompok profesional yang berada di Bandar-bandar serta pusat-pusat kegiatan perekonomian di seluruh kawasan Asia Tenggara. Di sini terjadi aliansi besar antara pengusaha, kaum intelektual, dan para penguasa lokal. Data tertua tentang adanya kesultanan islam di Indonesia terdapat di Pasai, Sumatra Utara, yaitu nisan Sultan Malik as-Saleh yang meninggal pada tahun 1297 M. Proses islamisasi di Pasai disebutkan dalam sumber tradisional, yaitu Hikayat Raja-Raja Pasai dan Hikayat Melayu. Dikisahkan bahwa raja mendapat mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. Secara ajaib, keesokan harinya ia dapat melafalkan kalimat syahadat. Berdasarkan fakta itu, diduga islam yang pertama kali diperkenalkan di Kesultanan Samudra Pasai  berasal dari India Selatan. Dugaan itu muncul karena adanya persamaan mazhab yang banyak dianut oleh muslim India selatan dengan kaum muslim di Kesultanan Samudra Pasai, yaitu pengikut Mazhab Syafi’i. Mazhab Syafi’i dapat ditelusuri para pengikutnya hingga Hadramaut, Mesir, dan daerah timur tengah yang lain.
            Dalam proses islamisasi di Indonesia terdapat bukti-bukti adanya peranan golongan sayid dari Hadramaut. Di Hadramaut, pengaruh Mazhab Syafi’i amat besar sesudah Ahmad ibnu Isa al-Muhajir dan pengikutnya berhasil menggeser pengaruh kelompok Khawarij Ibadiyah yang dipimpin oleh Abdullah bin Yahya pada tahun 929 M. di Asia Tenggara, golongan Sayid Hadrami ini telah berada dilingkungan komunitas muslim sejak sekitar abad XI. Para pemukim dari Arab Selatan itu mulai tumbuh dengan pesat dalam rentangan waktu abad XVI-XIX. Berdasarkan fakta itu, Pasai dianggap sebagai negeri pertama yang memeluk agama islam yang berasal dari Benggala.
            Bandar perdagangan lain yang juga berperan sebagai pusat penyebaran islam adalah Barus yang terletak di pantai barat Sumatra Utara. Bandar Barus telah dikunjungi pedagang dari Cina sejak abad VII dan pada saat-saat tertentu juga dikunjungi para pedagang Arab, Persia, dan India. Hasil ekspor penting Barus adalah kapur barus dan menyan yang bermutu tinggi. Oleh karena itu, para pedagang dari Cina dan India langsung mengangkut komoditas tersebut dari sumbernya. Kehadiran para pedagang Arab dan India di Barus pada abad XVI terekam dalam catatan Tomo Pires. Ia menyatakan bahwa Pelabuhan Barus merupakan pelabuhan ramai dan makmur. Tomo Pires pun menggunakan nama Barus Dan Fansur sebagai sinonim. 

BAB II
PEMBAHASAN

TEORI MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

            Masuknya islam ke indonesia menimbulkan beberapa teori yang di kemukakan oleh para ahli. Martin van bruinessen mengatakan bahwa, cara berlangsungnya perpindahan agama di Indonesia tidak terdokumentasikan dengan baik, sehingga menimbulkan banyak spekulasi di kalangan para ilmuwan dan kadang-kadang menimbulkan perdebatan yang sengit.[1] Mengenai tempat asal, pembawa dan kapan datangnya Islam ke Indonesia, sedikitnya ada lima teori besar. Di bawah ini dijelaskan secara singkat seputar teori-teori yang berkaitan dengan masuknya Islam di Nusantara :

Teori Gujarat.
            Teori yang mengatakan bahwa Islam di nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa, melalui perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India, digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouk Hurgronje, seorang orientalis terkemuka Belanda yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah nusantara.[2] Teori Snock Hurgronje ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju nusantara.[3]
            Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut di impor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafi yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.

Teori Makkah
            Teori lama, teori Gujarat, sejak 1958 mendapatkan koreksi dan kritik dari Hamka yang melahirkan teori baru yakni Teori Makkah. Koreksinya ini disampaikan dalam pidatonya pada Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta, pada 1958. Sejak dari pidatonya di atas, kemudian dikuatkan dalam sanggahannya dalam seminar Sejarah Masuknya agma Islam Ke Indonesia, di Medan, 17-20 Maret 1963, Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa arab sebagai pembawa agama islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat,atau mesir sebagai tempat pengambilan ajaran islam. [4]
            Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nila-nilai ekonomi, melainkan di dorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi. Selain itu, Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa agama islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13, karena di Nusantara abad ke-13 telah berdiri kekuasaan politik islam. Jadi masuknya agama islam ke Nusantara terjadi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7.[5]

            Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari orang-orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan.

            Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.
            Menurut Arnold, bahwa untuk menetapkan masuknya agama Islam ke Indonesia dengan tepat tidaklah mungkin. Ada kemungkinan dibawa ke Indonesia oleh pedagang-pedagang Arab pada permulaan abad tahun hijriah, lama sebelum ada tulisan-tulisan sejarah tentang perkembangan Islam itu.[6] Pendapat yang demikian itu berdasarkan pengertian kita tentang ramainya perdagangan dengan dunia Timur yang sejak dahulu dilakukan oleh orang Arab. Pada abad ke 2 sebelum masehi perdagangan dengan Ceylon seluruhnya ada di tangan mereka. Pada permulaan abad ke 7, perdagangan dengan Tiongkok melalui Ceylon sangat ramai sehingga pada pertengahan abad ke 8 banyak kita jumpai pedagang Arab di Canton, sedang antara abad 10 dan 15 sampai datangnya orang Portugis, mereka telah menguasai perdagangan di Timur. Diperkirakan bahwa mereka sejak lama telah mendirikan tempat-tempat perdagangan pada beberapa kepulauan di Indonesia, sebagaimana halnya pada tempat-tempat lainnya, meskipun tentang kepulauan itu tidak disebut-sebut oleh ahli ilmu bumi Arab sebelum abad ke 9, menurut berita Tiongkok tahun 674 masehi ada kabar tentang seorang pembesar Arab yang menjadi kepala daerah pendudukan bangsa Arab di pantai Barat Sumatera.[7]
            Sebagian besar dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia datang dari Yaman, Hadramaut dan Oman di bagian Selatan dan Tenggara semenanjung tanah Arab. Kawasan Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun 630-631 hijriyah tepatnya pada zaman Ali bin Abi Thalib. Pengislaman Yaman ini mempunyai implikasi yang besar terhadap proses Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut dan pedagang Yaman menyebarkan agama Islam di sekitar pelabuhan tempat mereka singgah di Asia Tenggara.[8]
            Sedangkan Sayed Alwi bin Tahir al-Haddad, mufti kerajaan Johor Malaysia berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dalam abad ke 7 masehi atau dengan kata lain agama Islam masuk ke pulau Sumatera pada tahun 650 masehi. Alasannya adalah karena Sulaiman as-Sirafi, pedagang dari pelabuhan Siraf di teluk Persia yang pernah mengunjungi Timur jauh berkata bahwa di Sala (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu yaitu kira-kira pada akhir abad ke 2 hijriyah. Hal ini dapat dipastikan dan tidak perlu dijelaskan lagi karena pedagang rempah dan wangi-wangian yang terdapat di Maluku sangat menarik pedagang-pedagang muslimin untuk berkunjung ke Maluku dan tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan itu.[9]

Teori Benggali.
            Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pires yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan, Islam muncul pertama kali di semenanjung Malaya dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa doktrin Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, Elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran. Drewes, yang mempertahankan teori Snouck, menyatakan bahwa teori Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasti yang ada dinilai merupakan perkiraan liar belaka. Lagi pula madzhab yang dominan di Benggali adalah madzhab Hanafi, bukan madzhab Syafii seperti di semenanjung dan nusantara secara keseluruhan.

Teori Persia.
            Teori keempat tentang kedatangan Islam di nusantara adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesein Djayadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masukkanya agama Islam ke nusantara berbeda dengan teori India dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafii-nya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.[10]
            Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain : Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah Barat, disebut bulat Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab. Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya. Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-quran tingkat awal. Dalam bahasa Persi Fathah ditulis jabar-zabar, kasrah ditulis jer-zeer, dhammah ditulis p’es-py’es. Huruf sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan sin bergigi berasal dari Arab. Keempat, nisan pada makam  Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda jauh dengan pandangan CE Morisson.[11] Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafii sebagai madzhab yang paling utama di daerah Malabar.        Dalam masalah madzhab Syafii, Hoesein Djayadiningrat mempunyai kesamaan dengan GE Morrison, tetapi berbeda dengan teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka. Hoesein Djayadiningrat di satu pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang madzhab Syafii terhenti ke Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat madzhab Syafii di Makkah.

Teori Cina.
            Islam disebarkan dari Cina telah dibahas oleh SQ Fatimi.[12] Beliau mendasarkan teorinya ini kepada perpindahan  orang-orang Islam dari Canton ke Asia tenggara sekitar tahun 876. Perpindahan ini dikarenakan adanya pemberontakan yang mengorbankan hingga 150.000 muslim. Menurut Syed Naquib Alatas, tumpuan mereka adalah ke Kedah dan Palembang.[13] Hijrahnya mereka ke Asia Tenggaran telah membantu perkembangan Islam di kawasan ini. Selain Palembang dan Kedah, sebagian mereka juga menetap di Campa, Brunei, pesisir timur tanah melayu (Patani, Kelantan, Terengganu dan Pahang) serta Jawa Timur.
            Bukti-bukti yang menunjukan bahwa penyebaran Islam dimulai dari Cina adalah ditemukannya : batu nisan syekh Abdul Kadir bin Husin syah Alam di Langgar, Kedah bertarikh 903 M, batu bertulis Phan-rang di Kamboja bertahun 1025 M, batu nisan di pecan Pahang bertahun 1028 M, batu nisan puteri Islam Brunei bertahun 1048 M, batu bersurat Trengganu bertahun 1303 M dan batu nisan Fathimah binti Maimun di Jawa Timur bertarik 1082 M.
            Walaupun dari kelima teori ini tidak terdapat titik temu, namun mempunyai persamaan pandangan yakni Islam sebagai agama yang dikembangkan di Nusantara melalui jalan damai. Dan Islam tidak mengenal adanya missi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen atau Katolik.

PROSES MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
            Proses masuknya islam ke Indonesia dilakukan secara damai dengan cara menyesuaikan diri dengan adat istiadat penduduk lokal yang telah lebih dulu ada. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat, tidak membeda-bedakan si miskin dan si kaya, sikuat dan silemah, rakyat kecil dan penguasa, tidak adanya sistem kasta dan menganggap semua orang sama kedudukannya dihadapan Allah telah membuat agama Islam perlahan-lahan mulai diterima masyarakat[14].
            Proses masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai dan dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
  1. Melalui Cara Perdagangan
            Indonesia dilalui oleh jalur perdagangan laut yang menghubungkan antara China dan daerah lain di Asia. Letak Indonesia yang strategis ini membuat lalu lintas perdagangan di Indonesia sangat padat dilalui oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk para pedagang muslim. Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Para pedagang muslim ini banyak bermukim di daerah pesisir pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya masih menganut agama Hindu. Para pedagang ini mendirikan masjid dan mendatangkan para ulama dan mubalig dari luar untuk mengenalkan nilai dan ajaran Islam kepada penduduk lokal, dan karenanya anak-anak muslim itu menjadi orang jawa dan kaya-kaya. Dibeberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan dipesisir utara Jawa banyak yang masuk islam, bukan hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.
  1. Melalui Perkawinan
            Bagi masyarakat pribumi, para pedagang muslim dianggap sebagai kalangan yang terpandang. Hal ini menyebabkan banyak penguasa pribumi tertarik untuk menikahkan anak gadis mereka dengan para pedagang ini. Sebelum menikah, sang gadis akan menjadi muslim terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka semakin luas. Akhirnya timbul kampong-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini masuk islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau sunan ampel dengan Nyai Manila, sunan Gunung Jati dengan putrid Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak), dll.

3.      Melalui Pendidikan

            Pengajaran dan pendidikan Islam mulai dilakukan setelah masyarakat islam terbentuk. Pendidikan dilakukan di pesantren ataupun di pondok yang dibimbing oleh guru agama, ulama, ataupun kyai. Para santri yang telah lulus akan pulang ke kampung halamannya dan akan mendakwahkan Islam di kampung masing-masing. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama islam.
  1. Melalui Kesenian
            Wayang  adalah salah satu sarana kesenian untuk menyebarkan islam kepada penduduk lokal. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh terpandang dan paling mahir dalam mementaskan wayang untuk mengenalkan agama Islam. Beliau tidak perna menerima upah pertunjukan, tetapi meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Cerita wayang yang dipentaskan biasanya dipetik dari kisah Mahabrata atau Ramayana yang kemudian disisipi dengan nilai-nilai Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan, dan seni ukir.
5.      Melalui Tasawuf

            Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini putrid-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-islam adalah Hamzah Fansuri di Aceh, syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.

6.      Melalui Saluran Politik

            Di Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk islam setelah rajanya memeluk islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya islam di daerah ini. Disamping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan islam memerangi kerajaan-kerajaan non-islam. Kemenangan kerajaan islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan islam itu masuk islam.

ORGANISASI-ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA

1.      MUHAMMADIYAH
            Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Latar belakang KH Ahmad Dahlan memilih nama Muhammadiyah  yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat umum adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga ada celah untuk memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya tentang agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.[15]
            Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin_khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat Muhammadiyah_khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).
            Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad, karena berasal dari kata Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara terminologi berarti gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Berkaitan dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah secara garis besar faktor penyebabnya adalah pertama, faktor subyektif adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an dalam menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Kedua, faktor obyektif  di mana dapat dilihat secara internal dan eksternal. Secara internal ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
            Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-’alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.
            Visi Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di segala bidang, sehingga menjadi rahmatan li al-‘alamin bagi umat, bangsa dan dunia kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang diridhai Allah swt dalam kehidupan di dunia ini. Misi Muhammadiyah adalah:
1)      Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah swt yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
2)       Memahami agama dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang bersifat duniawi.
3)      Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an sebagai kitab Allah yang terakhir untuk umat manusia sebagai penjelasannya.
4)      Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
1.1. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
            Keinginan dari KH. Akhmad Dahlan untuk mendirikan organisasi yang dapat dijadikan sebagai alat perjuangnan dan da’wah untuk nenegakan amar ma’ruf nahyi munkar yang bersumber pada Al-Qur’an, surat Al-Imron:104 yang berbunyi :
Artinya : Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali-imran: 104). sebagai sumber dari gerakan sosial praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid.
            Ketidakmurnian ajaran islam yang dipahami oleh sebagian umat islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara tradisi islam dan tradisi lokal nusantara dalam awal bermuatan faham animisme dan dinamisme. Sehingga dalam prakteknya umat islam di indonesia memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam, terutama yang berhubuaan dengan prinsip akidah islam yag menolak segala bentuk kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat. Sehingga pemurnian ajaran menjadi pilihan mutlak bagi umat islamm Indonesia.
            Keterbelakangan umat islam indonesia dalam segi kehidupan menjadi sumber keprihatinan untuk mencarikan solusi agar dapat keluar dari keterbelakangan. Keterbelakangan umat islam dalam dunia pendidikan menjadi sumber utama keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren tidak bisa selamanya dianggap menjadi sumber lahirnya generasi baru muda islam yang berpikir moderen. Kesejahteraan umat islam akan tetap berada dibawah garis kemiskinan jika kebodohan masih melingkupi umat islam indonesia.
            Maraknya kristenisasi di indonesia sebagai efek domino dari imperalisme Eropa ke dunia timur yang mayoritas beragama islam. Proyek kristenisasi satu paket dengan proyek imperialisme dan modernisasi bangsa Eropa, selain keinginan untuk memperluas daerah koloni untuk memasarkan produk-produk hasil revolusi industri yang melanda Eropa.
            Imperialisme Eropa tidak hanya membonceng gerilya gerejawan dan para penginjil untuk menyampaikan ’ajaran jesus’ untuk menyapa umat manusia diseluruh dunia untuk ’mengikuti’ ajaran jesus. Tetapi juga membawa angin modernisasi yang sedang melanda Eropa. Modernisasi yang terhembus melalui model pendidikan barat (belanda) di indonesia mengusung paham-paham yang melahirkan moernisasi erofa, seperti sekularisme, individualisme, liberalisme dan rasionalisme. Jika penetrasi itu tidak dihentikan maka akan terlahir generasi baru islam yang rasional tetapi liberal dan sekuler.[16]
            Ada dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, sebagai berikut :
1.      Faktor Internal
            Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat islam sendiri yang tercermin dalam dua hal, yaitu sikap beragama dan sistem pendidikan islam. Sikap beragama umat islam saat itu pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional. Sirik, taklid, dan bid’ah masih menyelubungai kehidupan umat islam, terutama dalam lingkungan kraton, dimana kebudayaan hindu telah jauh tertanam. Sikap beragama yang demikian bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad ke 20 itu, tetapi merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses islamisasi beberapa abad sebelumnya. Seperti diketahui proses islamisasi di indonesia sangat di pengaruhi oleh dua hal, yaitu Tasawuf/Tarekat dan mazhab fikih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum sufi memegang peranan yag sangat penting. Melalui merekalah islam dapat menjangkau daerah-daerah hampir di seluruh nusantara ini.

2.      Faktor eksternal
            Faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Muhammadiah adalah faktor yang bersifat eksternal yang disebabkan oleh politik penjajahan kolonial belanda. Faktor tersebut antara lain tampak dalam sistem pendidikan kolonial serta usaha kearah westernisasi dan kristenisasi. Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak bumi putra, ataupun yang diserahkan kepada misi and zending Kristen dengan bantuan financial dari pemerintah belanda. Pendidikan demikian pada awal abad ke 20 telah meyebar dibeberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai atas, yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga pendidikan kolonial terdapatlah dua macam pendidikan diawal abad 20, yaitu pendidikan islam tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya.
            Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial, dan dalan artian ini orang menilai pendidikankcolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai penyebar kebudayaan barat. Dengan corak pendidikan yang demikian pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan pribumi yang terdidik, tetapi juga berkebudayaan barat. Hal ini merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik asisiasi yang pada hakekatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia kedalam orbit kebudayaan barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intlektual yang biasanya memuja barat dan menyudutkan tradisi nenek moyang serta kurang menghargai islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan barat yang sekuler  tanpa mengimbanginya dengan pendidiakan agama konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah tampaknya yang dimaksud sebagai ancaman dan tantangan bagi islam diawal abad ke 20.

2.      NAHDATUL ULAMALA’ (NU)
            Nahdatul Ulama disingkat NU, yang merupakan suatu jam’iyah Diniyah Islamiyah yang berarti Organisasi Keagamaan Islam. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia dewasa ini. NU mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan para pengikut mereka yang berfaham salah satu dari empat mazhab Fikih Islam Sunni terutama Mazhab Syafi’i. Basis sosial Nu dahulu dan kini terutama masih berada di pesantren.[17]
            Sebagai latar belakang terbentuknya organisasi NU ini adalah: gerakan pembaruan di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam. Sementara di Turki bangkit gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khalifah Usmaniyah.

2.1. Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU)

                Jika di Mesir dan Turki gerakan pembaruan muncul akibat kesadaran politik atas ketertinggalan mereka dari Barat, di Arab Saudi tampil gerakan Wahabi yang bergulat dengan persoalan internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi faham tauhid dan konservasi dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda umat Islam.
            Sementara di Indonesia tumbuh organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 November 1912), dan kemudian disusul Muhammadiyah (18 Nopember 1912).
            Hal-hal tersebut telah membangkitkan semangat beberapa pemuda Islam Indonesia untuk membentuk organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdatul Wathan (Kebangkitan tanah air), dan Taswirul Afkar (potret pemikiran). Kedua organisasi dirintis bersama oleh Abdul Wahab Hasbullah dan Mas Mansur. organisasi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya NU.
            Pada saat yang sama, tantangan pembaruan yang dibawah oleh Muhammad Abduh di Mesir mempengaruhi ulama Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah, yakni organisasi Islam terbesar kedua pada abad ke-20 di Indonesia. Penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz ke tangan Ibn Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun 1924 memicu konflik terbuka dalam masyarakat Muslim Indonesia. Perubahan-perubahan ini mengganggu sebagian besar ulama Jawa, termasuk Hasbullah. Dia dan ulama sefaham menyadari serta melakukan usaha-usaha untuk melawan ancaman bid’ah tersebut serta merupakan kebutuhan yang mendesak. Hasyim Asy’ari (1871-1947) Kiai dari pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang merupakan ulama Jawa paling disegani-menyetujui permintaan mereka untuk membentuk NU pada tahun 1926 dan dia menjadi ketua pertamanya atau ro’is akbar.
Khittah NU 1926 menyatakan tujuan NU sebagai berikut:
1)      Meningkatkan hubungan antar ulama dari berbagai mazhab sunni
2)      Meneliti kitab-kitab pesantren untuk menentukan kesesuaian dengan ajaran ahlusunnah wal-jama’ah
3)      Meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan kesesuaiannya dengan ajaran ahlusunnah wal-jama’ah
4)      Mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran empat mazhab
5)      Mendirikan Madrasah, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah, dan pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir miskin
6)      Dan membentuk organisasi untuk memajukan pertanian, perdagangan, dan industri yang halal menurut hukum Islam
            Dari keenam usaha tersebut, hanya satu butir saja yaitu usaha pertanian, perdagangan dan industri yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan kaum ulama secara khusus.
            Hasil Muktamar XXVII NU di Situbondo pada tahun 1984, melalui sebuah keputusan yang disebut “Khittah Nahdatul Ulama”, menegaskan kembali usaha-usaha tersebut dalam empat butir. Pertama, peningkatan silaturrahmi antar ulama. Kedua, peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan. Ketiga, peningkatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana peribadatan dan pelayanan sosial. Keempat, peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah, mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan-urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syara’.
            Dengan demikian pengaruh ulama sangat besar dalam NU, dan telah mendapat konfirmasi dari Khittah NU. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya NU adalah Jam’iyyah Diniyyah yang membawakan faham keagamaan, sehingga yang menjadi mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah wal-jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi.
            Selanjutnya akan dijelaskan sekilas tentang lambang NU, lambang NU ini dibuat pada tahun 1927. Mempunyai lambang sebuah bintang besar di atas bumi menyimbolkan Nabi Muhammad, empat bintang kecil, masing-masing dua disebelah kanan dan kiri bintang besar, melambangkan empat khulafa’al-Rasyidin; dan empat bintang kecil di bawah melambangkan empat Imam Mazhab sunni; kesembilan bintang tadi secara bersama-sama juga bermakna sembilan wali (Wali Songo) yang pertama kali menyebarkan agama Islam di jawa. Bola dunia yang berwarna hijau melambangkan asal-usul kemanusiaan, yaitu bumi, yang kepadanya manusia akan kembali dan dirinya manusia akan kembali dan manusia akan dibangkitkan pada hari pembalasan. Tali kekemasan yang melingkari bumi dengan 99 ikatan melambangkan 99 nama-nama indah Tuhan, yang dengannya seluruh muslim di dunia disatukan.


KESIMPULAN
            Dari berbagai teori dan pembahasan mengenai kedatangan islam kenusantara jelas belum tuntas, tidak hanya karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu tetapu juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok menenai kedatangan islam ke nusantara yaitu tempat asal kedatangan islam, para pembawanya dan wktu kedatangannya, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya. Kerena itu, kebanyakan teori yang ada dalam segi-segi tertentu gagal menjelaskan kedatangan islam, konversi agama yang terjadi, dan proses-proses islamisasi yang terlibat di dalamnya. Bukannya tidak biasa jika suatu teori tertentu tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tandingan yang diajukan teori-teori lain. Walaupun dari beberapa teori diatas kayaknya tidak terdapat titik temu, namun mempunyai persamaan pandangan yakni islam sebagai agama yang dikembangkan di Nusantara melalui jalan damai dan islam tidak mengenal adanya misi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen dan katolik.
            Selanjutnya mengenai proses masuknya islam ke Nusantara, ada enam cara yang kiranya bisa dikatakan sebagai cara masuknya diantaranya melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, tasawuf dan politik dimana  kesemua cara tersebut dilakukan secara damai artinya islam disebarkan tidak dengan cara kekerasan tetapi islam beradaptasi dengan budaya masyarakat dalam artian budaya yang telah berkembang ditengah-tengah masyarakat disesuaikan dengan ajaran-ajaran islam. Budaya yang sesuai tetap dipertahankan sedangkan yang tidak sesuai dihapus dengan cara-cara yang baik tanpa terjadi perlawanan dari masyarakat itu sendiri. Organisasi yang lahir di Indonesia baik itu Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama merupakan bentuk dari keprihatinan para tokoh-tokoh agama bangsa Indonesia terhadap kondisi yang dialami bangsa Indonesia itu sendiri yang tidak secara utuh menggunakan Al-Qur’an maupun Al-Hadis sebagai pedoman dalam hidupnya yang menyebabkan masyarakat Indonesia mengalami keterbelakangan terutama dalam hal pendidikan yang pada akhirnya menyebabkan bangsa Indonesia mengalami kebodohan. Dan juga pengaruh pendidikan yang diterapkan pada masa penjajahan kolonial belanda yang berusaha mengarahkan masyarakat Indonesia ke arah westernisasi dan kristenisasi dengan cara tidak memasukkan unsur agama didalam kurikulum pendidikan yang pada akhirnya melahirkan para intelektual pribumi yang memuja barat dan menyudutkan agama yang mereka anut dan juga melahirkan intelektual yang rasional dan liberal karena pendidikan yang diperolehnya tanpa berlandaskan ajaran-ajaran agama islam.


DAFTAR PUSTAKA

Aydrus, Muhammad Hasan. 1996. Penyebaran Islam di Asia Tenggra, terj. (Jakarta: Lentera: Lentera Bastarima).
Arnold, Thomas W. 1981.  The Preaching Of Islam, terj. ( Jakarta: Penerbit Widiya).
Asrohah, Hanun, 1999. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu).
Azra, Azyumardi, 1999. Renessaince Islam di Asia Tenggara. (Bandung: Remaja Rosda Karya).
Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban islam cet. Ke-22. (Jakarta: Rajawali Pers).
Mansur Suryanegara, Ahmad. 1996. Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia. (Bandung: Penerbit Mizan).
Murodi. 1994 Sejarah Kebudayaan Islam. (Semarang: PT. Karya Toha Putra).
Zuhairini, 2008, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara





[1] Mertin van Bruinessen, kitab kuning, pesantren dan tarekat. (Bandung: Mizan, 1995)
[2] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 32
[3] Ibid.
[4] Ahmad Mansur Suryanegara. Menemukan Sejara : Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia. (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), h. 81-82
[5] Ahmad Mansur Suryanegara, Ibid., h. 82
[6] TW Arnold, The Preaching of Islam, A History of the Propogation of the Muslim Faith, (London: Luzac & Company, 1935), h. 363.
[7] Arnold, The Preaching of Islam, h. 363-364.
[8] Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani Halimi, Sejarah Islam. (Pulau Penang: Fajar Bakti SDN.BHD, 1993), h. 559.
[9] Sayed Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Maktab al-Daimi, 1957) h. 21.
[10] GWJ Drewes, New Light on the Coming of Islam in Indonesia, compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institue of Southeast Asia Studies, 1985), h. 7-19.
[11] Morrisson.CE, The Coming of Islam to East Indies, JMBRAS, h. 24.
[12] Fatimi SQ, Islam Comes to Malaysia, (Singapore: Malaysian Sociological Reseach Institude, Ltd, 1963).
[13] Syed Nagib Alatas, Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), h. 11.
[14] Murodi. Sejarah Kebudayaan Islam. (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1994). h. 29

[15] Asrohah Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu). Hal. 144
[16] Ibid. hal. 148
[17] Zuhairini, 2008, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara. Hal. 97

3 komentar:

  1. terima kasih atas postingannya

    BalasHapus
  2. Terima kasih banyak atas informasi nya, Sangat membantu artikel nya. Teruslah sebar kebaikan dijalan allah swt.. jangan lupa share and kunjungi juga website mp3 kami di http://laguhits98.wapque.com semoga sukses slalu ya gan.

    BalasHapus

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.