“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Minggu, 05 Januari 2014

Kapita Selekta Pendidikan Islam : Mengkaji Makna Pendidikan Islam, Pendidikan Islam Sebagai Lembaga, Disiplin Ilmu dan Sebagai Nilai



KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
                        Puji syukur marilah senantiasa kita haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya khususnya nikmat kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dalam mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam, sebagai bahan materi perkuliahan pada saat ini.
                        Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang telah menuntun kita ke jalan yang benar. Selanjutnnya kami berterima kasih kepada teman-teman semua yang ikut berpartisipasi menyelesaikan tugas ini sehingga dapat di selesaikan tepat pada waktunya.
                        Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
                        Demikian semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan diberikan pengetahuan yang banyak dan bermanfaat khususnya mengenai pendidikan islam, kami menguucapkan terima kasih dan semoga Allah meridhai segala usaha kita.
Amin ya rabbal ‘alamin....   
                                                                                    Mataram,   Oktober 2013

Penulis






BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
              Islam yang memiliki sifat uuniversal dan kosmopolit dapat merambah keranah kehidupan apapun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika islam dijadikan sebagai paradigm ilmu pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan. Pertama, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normative, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. pada taraf ini, nilai-nilai islam sangat berkompeten untuk dijadikan nokehidupnrma dalam ilmu pendidikan. Kedua, dengan menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah pendidikan barat.  Falsafah pendidikan barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan, sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan. Ketiga, dengan menjadikan islam sebagai paradigm, maka keberadaan ilmu pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
                        Makna islam sebagai paradigm ilmu pendidikan adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagaimana islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuk praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif islam.
                        Fnugsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif islam dalam rangka memahami realitas ilmu pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya terbentuk struktur transcendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
Rumusan sistem pendidikan islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis pendidikan islam. ‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah dalam Education Theory : A Quranic Outlook menyatakan bahwa perumusan sistem pendidikan islam dapat dilakukan melalui dua corak. Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan non muslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-islam dan menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan islam. Kedua, corak yang berusahamengangkat pesan besar ilahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan ini berasal dari Al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena keberadaan Al-Qur’an dan Hadis masih bersifat global. Maka konten pendidikan masih bersifat asas-asas dan prinsip-prinsip pendidikan.
                        Pendidikan islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang membahas objek-objek di seputar kependidikan. Pemahaman hakikat pendidikan islam sebenarnya tercermin di dalam sejarah dan falsafah Islam sendiri, sebab setiap proses pendidikan tidak terlepas dari objek-objek keislaman.

B.  Rumusan masalah
                        Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami dapat merumuskan beberapa masalah terkait dengan pendidikan islam, yaitu :
1)      Apa makna pendidikan islam ?
2)      Apa maksud pendidikan islam sebagai lembaga ?
3)      Apa maksud pendidikan islam sebagai ?
4)      Apa maksud pendidikan islam sebagai nilai ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Makna pendidikan islam
                        Menurut bahasa, kata pendidikan dalam bahasa Arab berasal dari kata “Tarbiyah”. Tarbiyah berasal dari suku kata roba-yarbu yang berarti penambahan, pertumbuhan, pemeliharaan, dan penjagaan.
        Az-Zamakhsyari menambahkan makna kata tersebut dengan “pengajaran” dan “kedudukan tinggi”. Sedangkan majduddin menambahkan makna lain, yakni memberi makna dan kemuliaan.
        Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggunakan kata tarbiyah seperti dalam surat 17 ayat 24, sebagai berikut :

24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
                        Al-Qur’an sering menggunakan kata lain untuk tarbiyah seperti tilawah (membaca), tazkiyah (pensucian jiwa), ta’lim (pengajaran) dan tathir (pensucian) seperti yang terdapat dalam surat 26:18, surat 2:151.
     Adapun menurut istilah, pendidikan diartikan sebagaimana pendapat beberapa ulama di bawah ini :
        Al-Qadhi Al-baidhowi, mengartikan pendidikan (tarbiyah) sebagai membawa sesuatu ke arah kesempurnaan secara bertahap. Definisi ini amat umum karena mencakup pendidikan manusia, pemeliharaan binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Definisi ini tidak diwarnai dengan corak islam.
        Ibnu Sina mengartikan tarbiyah sebagai pembiasaan. Yang dimaksud dengan pembiasaan adalah melakukan sesuatu berulang-ulang dalam masa yang lama dan dalam waktu yang berdekatan. Definisi ini telah menyempitkan bidang tarbiyah pada satus isi saja yaitu “pembiasaan”.
                        Dr. Miqdad Yajian, mengklasifikasikan pengertian pendidikan (tarbiyah) islamiyah sebagai berikut :
1)      Kurikulum materi-materi keislaman di sekolah atau madrasah
2)      Sejarah pendidikan, sejarah lembaga pendidikan atau sejarah tokoh-tokoh pendidikan di negara islam
3)      Pengajaran ilmu-ilmu keislaman
4)      Sistem pendidikan intergral yang diambil dari arahan dan ajaran islam yang murni, serta berbeda dengan pendidikan lain baik Barat ataupun Timur

                        Rif’ah Rafi’ Ath Thathawi mendefinisikan pendidikan sebagai usaha mengembangkan jasmani dan jiwa anak didik semenjak lahir sampai tua dengan pengetahuan agama dan dunia.
                        Prof. Dr. Abdul Gani Abud berpendapat bahwa pendidikan islam yang kita inginkan adalah sebagaimana pendidikan yang ideal dan sebagaimana seharusnya, yakni pendidikan islam yang tujuan dan dasar-dasarnya berdasarkan kepada ruh islam yang dituangkan Allah dalam Al-Qur’an yang dicontohkan Rasul dalam hadist. Jadi yang kita inginkan itu adalah pendidikan yang berada dalam lingkungan kehidupan yang penuh dengan suasana yang islami seperti yang digariskan dalam Al-Qur’an dan hadist Rasulullah[1]
                        Dari beberapa pengertian dari para ulama diatas maka kami dapat menyimpulkan bahwa pendidikan islam adalah suatu proses bimbingan dan pengarahan yang dilakukan secara terencana dan bertahap oleh seorang dewasa kepada terdidik agar memiliki kepribadian muslim sesuai dengan potensi yang dimiliki.
B.     Pendidikan Islam Sebagai Lembaga
                        Pendidikan islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju tujuannya memerlukan model dan sistem yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah murid (learner potensials orientation) yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan islam memandang bahwa seluruh proses kependidikan dalam institusi adalah sebagai suatu sistem yang berorientasi kepada perbuatan yang nyata.[2]
                        Kelembagaan pendidikan islam merupakan subsistem dari sistem masyarakat atau bangsa. Dalam operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan masyarakat. Tanpa sikap demikian, lembaga pendidikan dapat menimbulkan kesenjangan social dan kultural. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat. Untuk mengetahui kesenjangan antara lembaga pendidikan dan masyarakat yang berkenaan dengan kebutuhan yang meningkat ialah dengan melakukan pengukuran (assessment).[3]
1)      Pendidikan Islam Pada Sekolah Umum
                        Banyak usaha yang dilakukan oleh para ilmuwan dan ulama karena memperhatikan pelaksanaan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan formal kita, misalnya dalam forum-forum seminar, lokakarya dan berbagai forum pertemuan ilmiah lainnya. Para ilmuan dan ulama serta kaum teknokrat sepakat bahwa pendidikan agama di tanah air kita harus disukseskan semaksimal mungkin sejalan dengan lajunya pembangunan nasional.[4]
                        Namun, dalam pelaksanaan program pendidikan agama di berbagai sekolah kita, belum berjalan seperti yang kita harapkan, karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana fisik, dan non fsik, di samping suasana lingkungan pendidikan yang kurang menunjang suksesnya pendidikan mental-spiritual dan moral. [5]
                        Beberapa faktor yang dapat menghambat, antara lain sebagai berikut[6] :
1.      Faktor Eksternal
a)      Timbulnya sikap orang tua di beberapa lingkungan sekitar sekolah yang kurang menyadari tentang pentingnya pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya pemantapan pendidikan agama disekolah yang berlanjut di rumah. Orang tua yang bersikap demikian disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong bekerja 20 jam di luar rumah, sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk mendidik anaknya 2 jam perminggu.
b)      Situasi lingkungan sekitar sekolah yang dipengaruhi godaan-godaan dalam berbagai ragam bentuknya, antara lain godaan judi, tontonan yang bernada menyenangkan nafsu (seperti film porno, permainan ketangkasan berhadiah dan lain-lain). Situasi demikian melemahkan daya konsentrasi berpikir dan berakhlak mulia, serta mengurangi gairah belajar, bahkan mengurangi daya saing dalam meraih kemajuan.
c)      Adanya gagasan baru dari para ilmuwan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai problema pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar secara latah mempraktekkan makna yang keliru atas kata-kata terobosan menjadi mengambil jalan pintas dalam mengejar cita-cita tanpa melihat cara-cara yang halal dan haram, misalnya budaya menyontek, membeli soal-soal ujian akhir dengan harga tinggi, perolehan nilai secara aspal.
d)     Timbulnya sikap frustasi di kalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat pendidikan, tidak akan menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sebab perluasan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja. Setelah tamat sekolah, orang tua harus bersusah payah mencarikan pekerjaan bagi anaknya. Di sana-sini penuh dengan beban financial yang masih harus ditanggung oleh mereka. Pendidikan agama terkena dampak dari sikap dan kecenderungan semacam itu, sehingga apabila guru agama tidak terampil memikat minat murid, maka efektifitas pendidikan agama tak akan dapat diwujudkan.
e)      Serbuan dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar negeri semakin melunturkan perasaan religious (keagamaan) dan melebarkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai rasional teknologis, menjadi sumber transisi nilai yang belum menentukan arah dalam pemukiman yang baru.

2.      Faktor internal
                        Perangkat input instrumen yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan menjadi sumber kerawanan karena :
a)      Guru kurang kompeten untuk menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru yang disandangnya hanya merupakan pekerjaan alternative terakhir, tanpa menekuni tugas sebenarnya selaku guru yang berkualitas atau tanpa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan pendidikan .
b)      Penyalahgunaan manajemen penempatan yang mengalihtugaskan guru agama ke bagian administrasi, seperti perpustakaan misalnya, atau pekerjaan non-guru. Akibatnya pendidikan agama tidak dilaksanakan secara programatis.
c)      Pendekatan metodologi guru masih terpaku kepada orientasi tardisional, sehingga tidak mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.
d)     Kurangnya rasa solidaritas antara guru agama dengan guru-guru bidang studi umum, sehingga timbul sikap memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaan agama tersendat-sendat dan kurang terpadu.
e)      Kurangnnya waktu persiapan guru agama dalam mengajar karena disibukkan oleh usaha non-guru untuk mencukupi kebutuhan ekonomis sehari-hari atau mengajar di sekolah-sekolah swasta, dan sebagainya.
f)       Hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas. Wibawa guru juga hanya terbatas di dalam dinding kelas, tanpa berpengaruh di luar kelas/sekolah.


2)      Pendidikan Islam Pada Madrasah
                        Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak agama islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu, madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu islam. Madrasah dalam bentuk tersebut tercatat dalam sejarah bahwa keberadaannya telah berperan serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mengadakan penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah sejalan dengan laju perkembangan dan aspirasi masyarakat. Penyempurnaan dalam peningkatan mutu pendidikan madrasah itu meliputi : penataan kelembagaan, peningkatan sarana dan prasarana, kurikulum dan tenaga guru.[7]
                        Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah jumlahnya cukup banyak, tetapi terbesar adalah berstatus swasta. Menurut Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama, Komarudin Amin, mayoritas madrasah, baik ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), maupun Aliyah (SMA), di Indonesia merupakan lembaga swasta. Komarudin memaparkan, jumlah madrasah di Indonesia sekitar 67.300 institusi dan 80% diantaranya berstatus swasta. (Tempo, ahad, 6 januari 2012).[8]
                        Jumlah madrasah yang cukup besar di Indonesia memberikan andil yang besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ciri khas madrasah yang menitikberatkan pendidikan agama (mula-mula 100% agama kemudian 30% umum dan 70% agama), dipandang kurang mampu membekali peserta didik untuk bisa hidup di dunia yang semakin maju, yang membutuhkan penguasaan iptek untuk menghadapinya. Lulusan madrasah kurang bersaing di bidang penggunaan iptek di bandingkan anak-anak lulusan sekolah umum. Padahal, orang memerlukan kehidupan yang layak sebagai warga Negara Indonesia.[9]
                        Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. Yang dimaksud dengan SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975, Menteri P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.  [10]
                        Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan sebelum SKB 3 M, komposisi kurikulum madrasah yaitu 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum.[11]
                        Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni: (1) Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah (MA) untuk tingkatan SMA.[12]
                        Dengan pernyataan tingkat mutu tersebut maka[13]:
1.      Ijazah madrasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah umum yang setingkat;
2.      Murid  madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat; dan
3.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.

                        Untuk mencapai tingkatan yang sama dengan sekolah umum, usaha peningkatan yang akan dilakukan meliputi: (1) masalah kurikulum; (2) buku pelajaran, alat pelajaran dan sarana pelajaran pada umumnya; dan (3) masalah pengajar/pendidik. Dengan usaha peningkatan tersebut maka tingkat pendidikan umum pada madrasah akan setingkat dengan pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga[14]:
1.      Standar pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD
2.      Standar pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP
3.      Standar pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.

                        Dengan adanya SKB 3 M ini, maka tugas dan fungsi madrasah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional makin mantap dan kuat sehingga lulusan madrasah bisa memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum sebagai warga Negara yang memiliki hak dan kewajiban.[15]

C.    Pendidikan Islam Sebagai Disiplin Ilmu
                        Sumber utama pendidikan islam sebagai disiplin ilmu adalah kitab suci Al-Qur’an  dan Sunnah Rasulullah Saw. serta pendapat para sahabat dan para ulama atau ilmuwan muslim sebagai tambahan. Sebagai disiplin ilmu, pendidikan islam bertugas pokok  mengilmiahkan wawasan atau pandangan tentang kependidikan yang terdapat di dalam sumber-sumber pokok dengan bantuan dari pendapat para sahabat dan ulama atau ilmuwan muslim. Dalam sumber-sumber pokok itu terdapat bahan-bahan fundamental yang mengandung nilai kependidikan atau implikasi-implikasi kependidikan yang masih berserakan. Untuk dibentuk suatu ilmu pendidikan islam, bahan tersebut perlu disistematisasikan dan diteorisasikan sesuai dengan kaidah (norma-norma) yang ditetapkan dalam dunia pengetahuan.[16]
                        Dunia ilmu pengetahuan yang akademik telah menetapkan norma-norma, syarat-syarat, dan kriteria-kriteria oleh suatu ilmu yang ilmiah. Persyaratan keilmuan yang ditetapkan itu tampak bersifat sekuler, dalam arti bahwa mengilmiahkan suatu pandangan atau konsep dalam banyak seginya, yang melibatkan nilai-nilai ketuhanan dipandang tidak rasional karena metafisik dan tidak dapat dijadikan dasar pemikiran sistematis dan logis. Nilai-nilai ketuhanan berada di atas nilai keilmiahan dan ilmu pengetahuan. Agama adalah bukan ilmu pengetahuan, karena bukan ciptaan budaya manusia. Agama adalah wahyu tuhan yang diturunkan kepada umat manusia melalui rasul-rasulnya untuk dijadikan pedoman hidup yang harus diyakini kebenarannya. Ilmu pengetahuan pendidikan islam pada khususnya tersusun dari konsep-konsep dan teori-teori yang disistematisasikan menjadi suatu kebulatan yang terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain saling berkaitan. Teori tersebut dijadikan pedoman untuk melaksanakan proses kependidikan islam itu. Antara teori dengan proses operasionalisasi saling berkait, yang satu sama lain saling menunjang bahkan saling memperkokoh. [17]
                        Sebagai suatu disiplin ilmu, pendidikan islam merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep-konsep intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan. Jadi, mengalami dan mengetahui merupakan pengokoh awal dari konseptualisasi manusia yang berlanjut kepada terbentuknya ilmu pengetahuan itu. Untuk itu Nabi Adam as. diajarkan nama-nama benda terlebih dahulu sebagai dasar konseptual bagi pembentukan ilmu pengetahuannya. Dengan kata lain, ilmu pendidikan islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan pengalaman empiris yang terdiri atas fakta atau informasi untuk diolah menjadi teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, ilmu pendidikan islam dapat dibedakan antar ilmu pengetahuna teoritis dan ilmu pendidikan praktis. Justru ilmu pendidikan islam menuntut adanya teori yang dijadikan pedoman operasional dalam lapangan praktik pendidikan.[18]
                        Pengetahuan kita tentang apa, bagaimana, dan sejauh mana pandangan islam tentang kependidikan yang bersumberkan Al-Qur’an, dapat kita jadikan bahan untuk merumuskan konsepsi pendidikan islam teoritis dan praktis yang dilaksanakan (fleksibel) dalam lapangan operasional. Ada tiga komponen dasar yang harus dibahas dalam teori pendidikan islam yang pada gilirannya dapat dibuktikan validitasnya dalam operasionalisasi, yaitu[19] :
1.      Tujuan pendidikan islam harus dirumuskan dan ditetapkan secara jelas dan sama bagi seluruh umat islam sehingga bersifat universal. Meskipun tujuan pendidikan itu beridealitas tinggi, namun bila metode dan materinya tidak memadai, maka proses kependidikan tersebut akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, tujuan pendidikan tidak dapat berwujud dalam suatu proses yang kedap metode dan isi (content). Jika pendidikan islam menetapkan tujuan yang berbeda-beda menurut idealitas cultural masyarakat masing-masing, maka manusia ideal menurut citra islam yang bernilai universal tak akan dapat mencerminkan hakikat islam akan kualitas moral dan ideal yang berbeda-beda pula. Padahal Islamic way of life telah ditetapkan oleh ajaran Al-Qur’an di mana ilmu pendidikan islam harus mengacu kepadanya.
                        Sebagai esensinya, tujuan pendidikan islam yang yang sejalan dengan tuntutan Al-Qur’an itu tak lain adalah sikap penyerahan diri secara total kepada Allah Swt. yang telah kita ikrarkan dalam shalat sehari-hari.
162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

                        Dengan demikian, kita tidak menghendaki rumsan-rumusan lain yang ditetapkan oleh ahli pikir yang orientasinya tidak mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an. Bagi umat islam, Al-Qur’an adalah kriteria dasar yang dipakai untuk menetapkan segala hal yang bercorak islami.
2.      Metode pendidikan islam yang kita ciptakan harus berfungsi secara efektif dalam proses pencapaian tujuan pendidikan islam itu. Komprehensivitas daripada tujuan pendidikan itu harus paralel dengan keanekaragaman metode, mulai dari metode verbalistik-simbolisme sampai kepada berinteraksi langsung dengan situasi belajar mengajar, misalnya kegiatan belajar dengan berdiskusi. Metode islami atau Al-Qur’ani al-hikmah dan maukizhah al-hasanah serta mujadalah yang paling baik, menuntut kepada pendidik untuk berorientasi kepada educational needs dari anak didik, dimana faktor human nature (Fitrah) yang potensial tiap pribadi anak dijadikan pusat proses kependidikan sampai kebatas maksimal perkembangannya. Misalnya, mengajar sesuai dengan tingkat kemampuan kejiwaannya, memberi contoh teladan yang baik, mendorong kreatifitas dalam berfikir, menciptakan suasana pembelajaran yang menguntungkan (di waktu marah atau sesak dada, guru tidak boleh mengajar).
3.      Irama gerak yang harmonis antara metode dan tujuan pendidikandalam proses akan mengalami vakum bila tanpa kehadiran nilai atau ide. Secara prinsipal, isi (content) yang diwujudkan dalam kurikulum, mengandung makna sebagai petunjuk (baik bagi guru maupun murid) kearah pengembangan kualitas hidup manusia selaku khalifah di atas bumi, yang memiliki kepribadian yang utuh dalam hidup mental-rohaniah (iman dan takwa) dan material-jasmaniah (kemampuan jasmaniah yang tinggi yang seimbang dan serasi. Konssepsi Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan antara ilmu pengetahuan agama dan umum. Kedua jenis ilmu pengetahuan itu merupakan kesatuan yang tak dapt dipisah-pisahkan karena semuai ilmu adalah merupakan manifestasi  dari ilmu pengetahuan yang satu, yaitu ilmu pengetahuan Allah. Oleh karena itu, dalam islam tidak dikenal adanya ilmu pengetahuan yang religious dan non religious (sekuler).
                        Klasifikasi ilmu pengetahuan yang ditetapkan oleh para filsuf seperti al-Farabi, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Sina menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan islam, baik yang paling eksternal sekalipun memiliki cirri sacral, selama ilmu-ilmu itu setia kepada prinsip-prinsip kewahyuan, karena semua ilmu pengetahuan bersumber dari firman Allah Swt. Seperti yang dinyatakan dalam wahyu pertama yaitu surah Al-Alaq : 1-5.
                        Dalam klasifikasi sains dari para ahli pikr imuslim, tidak ditemukan adanya diskriminasi antara ilmu religious dan ilmu sekuler, semuanya merupakan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari oleh umat islam. Dengan demikian, content (kurikulum) pendidikan islam harus mencerminkan jenis-jenis sains yang dibutuhkan oleh manusia muslim untuk menunjang tugas sebagai mandataris Tuhan diatas bumi.[20]
                        Pendidikan islam saat ini masih berada pada garis marginal masyarakat, belum memegang peran sentral dalam proses pembudayaan umat manusia dalam arti sepenuhnya. Untuk itu, ilmu pendidikan islam yang menjdai pedoman operasionalisasi pendidikan perlu dikembangkan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam dunia akademik, yaitu sebagai berikut[21] :
1)      Memiliki objek pembahasan yang jelas dan khas pendidikan yang islami meskipun memerlukan ilmu penunjang dari yang nonislami.
2)      Mempunyai wawasan, pandangan, asumsi, hipotesis serta teori dalam lingkup kependidikan yang islami yang bersumberkan ajaran islam.
3)      Memiliki metode analisis yang relevan dengan kebutuhan perkembangan ilmu pendidikan yang berdasarkan islam, beserta system pendekatan yang seirama dengan corak keislaman sebagai kultur.
4)      Memiliki struktur keilmuan yang sistematis mengandung totalitas yang tersusun dari komponen-komponen yang saling mengembangkan satu sama lain dan menunjukkan kemandiriannya sebagai ilmu yang bulat.
                        Oleh karena itu, suatu ilmu yang ilmiah harus bertumpu pada adanya teori-teori, maka teori-teori pendidikan islam juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut[22] :
1)      Teori harus menetapkan adanya hubungan antara fakta yang ada
2)      Teori harus mengembangkan system klasifikasi dan struktur dari konsep-konsep, karena alam kita tidak menyediakan sistem siap pakai untuk itu.
3)      Teori harus mengikhtisarkan (ringkas) sebagai fakta, kejadian-kejadian, oleh karenanya maka sebuah teori harus dapat menjelaskan sejumlah besar fakta
4)      Teori harus dapat meramalkan fakta atau kejadian-kejadian karena tugas sebuah teori adalah meramalkan kejadian-kejadian yang belum terjadi.
                        Adapun corak teoritis dari ilmu pendidikan islam itu hendaknya disusun secara sistematis yang well-organized, yang mampu memberikan deskripsi tentang adanya fakta dari pengalaman operasionaldalam bentuk pengertian sesederhana mungkin (Gilbert Sax, 1968 : 15-16).

D.    Pendidikan Islam Sebagai Nilai
                        Pendidikan selain mengandung unsur pengalihan pengetahuan, keterampilan, juga mengandung unsur penanaman nilai. Bahkan, tidak sedikit ahli pendidikan yang memandang penanaman nilai-nilai yang erat kaitannya dengan pembentukan watak pribadi peserta didik merupakan bagian hakiki pendidikan. Tokoh pendidikan nasional Indonesia telah menekankan bahwa, kegiatan pendidikan mempunyai dua aspek pokok, yaitu : (1) aspek pengajaran dan latihan sebagai saranapenyampaian pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat baik bagi pribadi peserta didik maupun masyarakat; (2) aspek pembudayaan kepribadian melalui pendidikan budi pekerti.
                        Penanaman nilai-nilai merupakan bagian hakiki pendidikan, maka bagi mereka yang mempersiapkan diri menjadi pendidik merupakan suatu kewajiban untuk mendalami aksiologi atau ilmu tentang nilai-nilai, baik itu nilai estetis, nilai moral, maupun nilai spiritual. Pertanyaan pokok yang muncul disini adalah nila-nilai mana yang seharusnya atau paling tidak selayaknya ditanamkan dalam proses pendidikan. Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja ada berbagai macam sesuai dengan filsafat hidup yang dianut oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan.
                        Untuk lembaga-lembaga pendidikan di indonesia yang menganut falsafah hidup pancasila, semestinya dibicarakan tentang penanaman nilai-nilai Pancasila dalam proses pendidikan. Dan untuk lembaga-lembaga pendidikan agama islam memiliki falsafah hidup “islami”, maka semestinya yang dibicarakan adalah tentang penanaman nilai-nilai islami dalam proses pendidikan. [23]
                        islam memandang nilai sebagai sesuatu yang absolut dan relatif sekaligus. Perintah-perintah dan larangan-larangan tuhan (wahyu) yang dinyatakan secara jelas dan tegas dalam kitab suci lebih khusus lagi pada dimensi ibadah khas, bagi islma merupakan nilai-nilai yang absolute sedangkan norma-norma kemanusiaan merupakan nilai-nilai yang relative. Pada nilai pertama , karena bersifat absolute dan berlaku universal bagi semua kaum muslimin tanpa melihat kapan dan dimana ia hidup , maka nilai-nilai tersebut harus diterima dan dilaksanakan apa adanya. Sedangkan pada nilai yang kedua, karena bersifat relativis, maka selama tidak bertentangan nilai-nilai universal (wahyu), manusia dipersilahkan untuk mengembangkan kreativitasnya. Pada nilai-nilai muamalat ini, tidak mesti sama antara umat islam yang satu denagn umat islam yang lainnya, yang hidup pada masa dan tempat yang berbeda.[24]
                        Agama islam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad saw. Pada hakekatnya merupakan suatu ajaran yang sarat dengan nilai-nilai, baik nilai yang absolut universal maupun nilai-nilai yang yang bersifat relatif. Hal tersebut missalnya dapat ditangkap dari beberapa informasi wahyu dan sunnah Rasul seperti sabda Rasulullah saw: “ sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Akhlak mulia dimaksud adalah meliputi akhlak mulia kepada Allah swt. Atau dimensi ubudiyah dan akhlak mulia kepada sesama manusia (muamalat) dan makhluk-makhluk tuhan yang lain.[25]
                        Aspek nilai dalam islam, meskipun dapat dibedakan kedalam kategori yang ubudiyah dan mu’amalat namun nilai dan moralitas islami sesungguhnya bersifat menyeluruh (komprehensif) dan terpadu (integral), tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu dengan yang lain berdiri sendiri . nilai-nilai tersebut, bila dilihat secara noratif mengandung dua kategori yaitu pertimmbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil , diridhoi dan dikutuk oleh Allah swt. Nilai-nilai mengandung lima pengertian kategorial yang enjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yaitu :
1)      Wajib atau fardhu, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang akan endapat siksa Allah swt.
2)      Sunnah atau mustahab, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang tidak akan mendapat siksa.
3)      Mubah atau jaiz yaitu bila dikerjakan orang tidak akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan juga tidak akan mendapat siksa.
4)      Makruh yaitu bila dikerjakan orang tidak akan disiksa, hanya tidak disukai oleh Allah dan bila ditinggalkan orang akan mendapat pahala.
5)      Haram yaitu bila dikerjakan orangg akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala.

                        Nilai-nilai yang tergolong kedalam lima kategori tersebut bersifat operatif dan berlaku dalam situasi dan kondisi biasa. Apabila manusia dalam situasi dan kondisi darurat (terpaksa), peberlakuan nilai-nilai tersebut bisa berubah. Sebagai contoh pada waktu orang berada dalam situasi dan kondisi kelaparan karena tidak ada makanan yang halal, maka orang diperbolehkan memakan makanan yang dalam keadaan biasa haram, seperti dagingg babi, anjing, bangkai dan sebagainya.

                        Pendidikan islam memiliki tujuan pokok yaitu membentuk pribadi muslim. Pribadi muslim dimaksud adalah pribadi yang segala dimensi kehidupannya senantiasa diwarnai oleh nilai-nilai islami. Pribadi yang dalam segala dimensi kehidupannya diwarnai oleh nilai-nilai islami inilah yang disebut denagn pribadi akhlakul karimah. Hakekat tujuan pendidikan islam adalah membentuk manusia berkeribadian muslim. Maka kurikulum dan pelaksanaan pendidikan islam sangat menekankan pentingnya penanaman nilai-nila moral agama. Isi kurikulum dan tata cara pelaksanaan pendidikan islam boleh jadi bersifat variatif, tetapi nilai-nilai islami tetap dikedepankan atau dihadirkan sebagai pengontrol operasionalisasi pendidikan.[26]


BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN
                        Pendidikan islam adalah suatu proses bimbingan dan pengarahan yang dilakukan secara terencana dan bertahap oleh seorang dewasa kepada terdidik agar memiliki kepribadian muslim sesuai dengan potensi yang dimiliki.
                        Kelembagaan pendidikan islam merupakan subsistem dari sistem masyarakat atau bangsa. Dalam operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan masyarakat. Tanpa sikap demikian, lembaga pendidikan dapat menimbulkan kesenjangan social dan kultural. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat. Untuk mengetahui kesenjangan antara lembaga pendidikan dan masyarakat yang berkenaan dengan kebutuhan yang meningkat ialah dengan melakukan pengukuran (assessment).
                        Sebagai suatu disiplin ilmu, pendidikan islam merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep-konsep intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan. Jadi, mengalami dan mengetahui merupakan pengokoh awal dari konseptualisasi manusia yang berlanjut kepada terbentuknya ilmu pengetahuan itu. Untuk itu Nabi Adam as. diajarkan nama-nama benda terlebih dahulu sebagai dasar konseptual bagi pembentukan ilmu pengetahuannya. Dengan kata lain, ilmu pendidikan islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan pengalaman empiris yang terdiri atas fakta atau informasi untuk diolah menjadi teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, ilmu pendidikan islam dapat dibedakan antar ilmu pengetahuna teoritis dan ilmu pendidikan praktis.
                        Aspek nilai dalam islam, meskipun dapat dibedakan kedalam kategori yang ubudiyah dan mu’amalat namun nilai dan moralitas islami sesungguhnya bersifat menyeluruh (komprehensif) dan terpadu (integral), tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu dengan yang lain berdiri sendiri . nilai-nilai tersebut, bila dilihat secara noratif mengandung dua kategori yaitu pertimmbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil , diridhoi dan dikutuk oleh Allah swt. Nilai-nilai mengandung lima pengertian kategorial yang enjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yaitu :
1)      Wajib atau fardhu, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang akan endapat siksa Allah swt.
2)      Sunnah atau mustahab, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang tidak akan mendapat siksa.
3)      Mubah atau jaiz yaitu bila dikerjakan orang tidak akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan juga tidak akan mendapat siksa.
4)      Makruh yaitu bila dikerjakan orang tidak akan disiksa, hanya tidak disukai oleh Allah dan bila ditinggalkan orang akan mendapat pahala.
5)      Haram yaitu bila dikerjakan orangg akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala.


DAFTAR PUSTAKA

H. Jamaludin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-5, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.
Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat Pendidikan islam) Cet Ke-3,  (Mataram : Alam Tara Institute, 2009), h. 133-134
http://Kementerian Agama Protes Larangan Hibah APBD untuk Madrasah nasional Tempo.co.htm/ di akses pada tgl 27 0kt0ber 2013


[1] Buku Standar Mutu Sekolah Islam Terpadu
[2] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-5, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), h. 8
[3] Ibid., h. 8
[4] H. Jamaludin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 18
[5] Ibid., h. 18
[6] Ibid., h. 18-22
[7] Ibid., h. 23
[8] http://Kementerian Agama Protes Larangan Hibah APBD untuk Madrasah nasional Tempo.co.htm/ di akses pada tgl 27 0kt0ber 2013
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta…, h. 16
[17] Ibid.,
[18] Ibid.,
[19] Ibid., h. 17-20
[20] Ibid., 21
[21] Ibid.,
[22] Ibid., 22
[23] Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat Pendidikan islam) Cet Ke-3,  (Mataram : Alam Tara Institute, 2009), h. 133-134
[24] Ibid., h. 141
[25] Ibid ., h. 142
[26] Ibid., h 141-142

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.