“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Jumat, 25 Oktober 2013

Motivasi Belajar Hadist



Motivasi Belajar Hadits Nabi
 


 



            Hadits nabi adalah wahyu Allah azza wa jalla. Ia merupakan penjelas kalamullah al-Qur’an. Kedua-duanya merupakan pedoman utama bagi seorang muslim dalam hukum dengan segala seginya. Memahami dan mempelajari hadits Nabi adalah bekal utama seseorang dalam ittiba ar-Rasul sebagai syarat diterimanya ibadah.
Imam an-Nawawi rohimahullah mengatakan:
            Maka sesungguhnya menyibukkan dengan ilmu merupakan taqorub dan ketaatan yang lebih utama, kebaikan yang sangat penting, ibadah yang sangat di tekankan, dan yang lebih utama untuk menafkahkan waktu berharga untuknya… Dan diantara ilmu yang sangat penting adalah mengetahui hadits-hadits Nabi.[1]

            Muhamad Syuhud seorang pentahqiq kitab hadits Badrudtamam karya al-Magribi mengatakan dalam muqodimah kitabnya:
            Allah telah menurunkan kitab-Nya yang mulia pada Nabi yang ummi shalallahu alaihi wasalam untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan ijin tuhan-Nya. Dan agar dijadikan syari’ah dan manhaj.  Dan Dia menurunkan as-Sunnah yang mulia untuk menjelaskan hal-hal yang butuh penjelasan, menerangkan akan hal-hal yang butuh keterangan, merinci apa-apa yang butuh dirinci, maka hal ini menjadikan al-Kitab dan as-Sunnah dua keharusan yang satu diantaranya tidak bisa dipisahkan dari yang lain.[2]
            Kedudukan mulia hadits Nabi sebagaimana kedudukan as-Sunnah dalam Islam. Mempelajarinya berarti mengantarkan penuntutnya meraih kemuliaan. Hadits Nabi adalah ilmu yang hakiki dan kebenaran yang pasti.
Imam Syafii rohimahulloh menuturkan:
كُلُّ الْعُلُومِ سِوَى الْقُرْآنِ مَشْغَلَةٌ                          إِلَّا الْحَدِيثَ وَإِلَّا الْفِقْهَ فِي الدِّينِ
الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيهِ قَالَ حَدَّثَنَا                             وَمَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَاسُ الشَّيَاطِينِ
Seluruh ilmu selain al-Qur’an menyibukan ** Kecuali hadits dan fiqih dalam agama
Ilmu adalah yang diriwayatkan kepada kami ** Selain itu adalah was-was syaiton
            Mempelajari hadits Nabi secara umum adalah hal yang sangat mulia sekali dalam Islam. Hal ini, karena kedudukan hadits itu sendiri sebagai pedoman keselamatan manusia. Berikut ini beberapa keutamaan mempelajari hadits Nabi:

1)      Mempelajari hadits berarti mempelajari kepribadian tauladan manusia.

            Rasulullah shalallahu alaihi wasalam tauladan utama dalam memahami dan mengamalkan Islam. Ucapan, prilaku, keputusan yang bersumber dari Rosululloh sholallohu alaihi wasalam merupakan petunjuk yang benar dalam meniti Islam, inilah yang disebut dengan hadits. Maka mepelajari hadits akan menyebabkan meraih ridha Allah dan kebahagiaan akherat. Allah azza wajalla berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Alloh.” (QS. Al-Ahzab: 21)
            Muhammad bin Ali as-Syaukani rohimahulloh mengatakan tentang ayat di atas, “Banyak sekelompok dari kalangan sahabat yang berdalil dengan menggunakan ayat ini untuk berbagai banyak masalah yang meliputi di dalam kitab-kitab as-Sunnah,”[3]
Abdurahman bin Nasir as-Sa’di rahimahullah mengatakan:
            Ahli ushul banyak yang berdalil dengan ayat ini akan hujjah-nya prilaku Rasulullah shalallahu alaihi wasalam.  Maka hukum asalnya adalah bahwa (Rasulullah) adalah tauladan ummatnya dalam masalah hukum kecuali jika ada dalil yang menunjukan kekhususan beliau. Tauladan itu ada dua jenis, yaitu tauladan yang baik dan tauladan yang buruk, maka tauladan yang baik ada pada diri Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, Maka seseorang yang mengikutinya adalah orang yang menempuh jalan meraih karomah Alloha yaitu shirotolmustaqim sedangan meneladani selainnya jika menyelisihinya maka itu merupakan tauladan yang buruk.[4]
            Berkaitan dengan ayat di atas Alloh berfirman memuji keagungan akhlak Rosul-Nya dan ini menunjukan keagungan akhlak tauladan umat manusia:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. al-Qolam [68]: 4)

2)      Mempelajari hadits Nabi sebagai wasilah meraih kebahagiaan dunia akherat.

            Kebahagiaan yang akan diraih dari seorang yang mempelajari hadits jika ia mengamalkannya dengan senantiasa berpegang teguh terhadapnya, tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan tersiksa di akherat karena hadits adalah petunjuk Nabi. shalallahu alaihi wasalam, Allah ta’ala berfirman:
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku dia tidak akan sesat  dan tidak akan celaka.” (QS. Thoha: 123).
            Rosululloh sholallohu alaihi wasalam bersabda:
(( إنِّي قد تركت فيكم شيئين لن تضلُّوا بعدهما: كتاب الله وسنَّتي ))
“Sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian dengannya tidak akan tersesat: Kitabulloh dan sunnahku.” (HR. al-Hakim)
Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah rohimahulloh mengatakan:
            Dan tatkala kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akherat terkait dengan petunjuk Nabi shalallahu alaihi wasalam maka wajib bagi seorang yang menasehati dirinya sendiri, yang lebih mencintai keselamatan dan kebahagiaan untuk mengetahui petunjuk dan perjalanan hidupnya serta kondisinya yang mengeluarkan dirinya dari kejahiliyahan.”[5]

3)      Mempelajari hadits adalah Bekal pembinaan umat di bawah naungan wahyu ilahi

            Al-Qur’an dan as-Sunnah induk dari semua ilmu. Dan ilmu yang benar adalah ilmu yang selaras dengan keduanya dan tidak bertentangan dengan dua wahyu Alloh tersebut. Seseorang yang ingin mendalami Islam atau bagi seorang yang mengusung dakwah mulia ini harus mempelajari hadits Nabi karena syarat dakwah harus sesuai dengan Qur’an dan Sunnah. Terlebih mengusung dakwah untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
            Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّ ينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَ رُونَ
“Dan sungguh tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah:122)
            Para shohabat Rosul yang tidak berangkat jihad atas ijin beliau dalam sariyah (utusan perang yang Nabi tidak ikut serta di dalamnya), mereka belajar kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Mempelajari apa-apa yang diwahyukan Alloh kepada Nabi mereka, baik berupa wahyu al-Qur’an maupun hadits.
            Berkaitan dengan ayat di atas Ibnu Katsir rohimahulloh berkata:
            Jika pasukan perang sariyah  telah pulang sedangkan telah turun setelah mereka Qur’an yang telah dipelajari oleh orang yang tidak ikut serta perang (dengan ijin Nabi) dari Nabi shalallahu alaihi wasalam mereka berkata, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi kalian dan kami telah mempelajarinya.” Maka pasukan sariyah-pun mempalajari apa yang telah turun kepada Nabi mereka.[6]
            Maka ayat ini harus dijadikan motivasi bagi orang yang sedang membina ummat agar ia lebih semangat belajar kitab wahyu ilahi untuk bekal dirinya dan juga umatnya. Dan sungguh tidak pantas orang yang mendakwahkan Qur’an Sunnah tapi ia tidak mengeti akan keduanya.

4)      Mempelajari hadits Nabi sebagai benteng membela Rosul dari para pencela dan pendusta.

            Sejak munculnya firqoh-firqoh sesat. Maka para ulama hadits senantiasa waspada dalam menerima hadits. Mereka meletakan kaidah-kaidah untuk menjaga hadits Rosulullah shalallahu alaihi wasalam. Maka mempelajari ilmu hadits secara khusus di antara bentuk langkah penjagaan terhadap kehormatan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam.
            Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَ لُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Sebelum terjadi fitnah (bid’ah), masalah isnad (atau sanad) tidak pernah dipertanyakan. Setelah terjadi fitnah, mulailah dipertanyakan. Jika sanad (hadits) dari Ahlus Sunnah, maka diambillah riwayatnya. Namun jika sanadnya dari ahlul bid’ah, maka ditolak riwayatnya.” (HR. Muslim No.27 dalam muqodimah kitab)

5)      Mempelajari hadits berarti mempelajari pemahaman dan pengamalan Islam yang benar.

            Pemahamaan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan para shohabatnya tentang Islam adalah pondasi mendasar dalam Dienul Islam. bahkan merupakan prinsip dasar meniti shirorol mustaqim. Dan untuk mengetahui pemahaman ini pasti dengan mempelajari hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan atsaar shohabat. Karena hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka telah tercatat dalam hadits dan atsar.

Penulis: Abu Mujahidah al-Ghifari, Lc


[1] Yahya bin Syarof, Shohih Muslim Bisyarhi al-Imam an-Nawawi, Tahqiq Muhamad Bayumi, Mesir: Daaru al-Ghod al-Jadid, Jilid 1, Hlm.26)
[2] Husain bin Muhamad al-Magribi, al-Badrudtamam Syarhu Bulughilmaram Min Adilatil Ahkam, Darul wafa: Cetakan kedua, 1426H / 2005M, Jilid 1, Hlm.7. Kitab ini adalah kitab asal muasal Subulusalam karya Imam as-Shon’ani, akan tetapi memang kitab Subulusalam lebih terkenal dari kitab aslinya. Subulusalam kitab ringkasan Badrudtamam, tapi imam as-Shon’ani juga menambahkan faidah-faidah yang sangat berharga dalam kitabnya.
[3] Muhamad bin Alias-Syaukani, Fath al-Qodir, Riyadh: Maktabah ar-Rusd, Cetakan kelima, 1428 H/ 2007 M, Jilid.3, Hlm.422.
[4] Abdurahman bin Nasir as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rohman, Kairo: Daar al-Hadits, 1424 H/ 2003 M, Hlm.72
[5] Ibnu Qoyim al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khoiril Ibad, tahqiq Syuaib al-Arna’ut dan Abdulqodir al-Arna’ut, Beirut: Mu’asasah ar-Risalah, Cetakan pertama, 1429H/ 2008M, Hlm.22
[6] Ahmad Syaakir, , Umdah at-Tafsir an al-Hafidz ibn katsir, Daar al-wafa: Beirut, Libanon, cetakan kedua, 1426 H / 2005 M, Jilid 2, Hlm.208

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.