“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Senin, 21 Oktober 2013

Filsafat Pendidikan



FILSAFAT PANCASILA DAN PENDIDIKAN NILAI DALAM MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA
Nilai-nilai Pancasila Sebagai Nilai Dalam Filsafat Pendidikan Nasional
OLEH
NAMA            : SELAMAT ANWAR SADAT
NIM                : 15.1.11.1.024
KELAS           : III/A

A.    Latar belakang
Ajaran filsafat yang komprehensif telah menduduki status tinggi dalam kebudayaan manusia, yakni sebagai ideologi bangsa dan negara. Seluruh aspek kehidupan suatu bangsa di ilhami dan berpedoman ajaran-ajaran filsafat bangsa itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, bahkan kesadaran atas nilai-nilai hukum dan moral bersumber dari ajaran filsafat.
Eksistensi suatu bangsa adalah eksistensi dengan ideologi atau filsafat hidupnya. Demi kelangsungan eksistensi itu, diwariskanlah nilai-nilai itu pada generasi selanjutnya. Dan untuk itu, jalan dan proses yang efektif untuk ditempuh hanya melalui pendidikan. Pada prinsipnya, setiap masyarakat dan bangsa melaksanakan aktivitas pendidikan untuk pendidikan aspek-aspek pengetahuan dan kecakapan lain. Kesadaran dan sikap mental yang menjadi kriteria manusia ideal dalam sistem nilai suatu bangsa bersumber pada ajaran filsafat bangsa dan negara yang dianutnya.
Tujuan akhir dari sistem pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia pancasila, berarti bahwa nilai-nilai moral dan agama sebagaimana terkandung pada kelima sila pancasila perlu dijabarkan dan dibuat secara operasional mempengaruhi pola pikir dan pola tingkah laku para peserta didik.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila?
2.      Bagaimana nilai-nilai pancasila bisa menjadi nilai dalam filsafat pendidikan nasional?




C.    Pembahasan
Kalau kita menyimak apa yang dinyatakan dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas Indonesia, akan dijumpai bahwa dimensi moral dan keagamaan mendapatkan perhatian yang cukup besar. Kedua dimensi tersebut dipandang tidak kalah penting dari dimensi-dimensi lain dalam pendidikan. Hal yang sama bisa dilihat dalam GBHN tahun 1988, Bab IV dimana sektor pendidikan bahkan ditempatkan dalam bidang yang bersangkutan dengan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sosial budaya. Pada bagian tentang pendidikan, dinyatakan bahwa pendidikan nasional yang berdasarkan pancasila bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Adapun ciri manusia Indonesia yang berkualitas, selain menjadi manusia yang cerdas dan terampil, tetapi juga dan bahkan pertama-tama disebut menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, dan mandiri. Dalam kesemuanya itu nampak bahwa aspek penanaman nilai-nilai moral dan agama sangat ditekankan. Sesuai dengan bunyi kelima silanya, penanaman nilai-nilai moral dan agama perlu meliputi unsur-unsur : (1) menumbuhkan sikap iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) menumbuhkan sikap hormat dan cinta terhadap umat manusia karena setiap pribadi manusia itu bernilai pada dirinya sendiri; (3) menumbuhkan sikap-sikap yang menggalang kesatuan dan persatuan bangsa indonesia; (4) menumbuhkan sikap demokrasi; (5) menumbuhkan sikap adil. Nilai-nilai moral dan agama itu secara konkret ditanamkan dalam proses pendidikan baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat, merupakan suatu tantangan yang perlu dijawab bangsa Indonesia.[1] 
Darji darmodiharjo, dkk. (1991: 52) merumuskan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai berikut :[2]
1.      Dalam sila I Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai-nilai religious antara lain:
a)      Keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan sifat-sifatnya Yang Maha sempurna, yakni Maha Kasih, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Bijaksana dan sifat suci lainnya.
b)      Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yakni menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
c)      Nilai sila I ini meliputi dan menjiwai sila-sila II, III, IV dan V.
2.      Dalam sila II Kemanusiaan yang adil dan beradab, terkandung nilai-nilai kemanusiaan, antara lain:
a)      Pengakauan terhadap adanya martabat manusia
b)      Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia
c)      Pengertian manusia beradab yang memiliki daya cipta, rasa, karsa, dan keyakinan sehingga jelas adanya perbedaan antara manusia dan hewan.
d)     Nilai sila II meliputi dan menjiwai sila III, IV, dan V.
3.      Dalam sila III yang berbunyi persatuan Indonesia terkandung nilai persatuan bangsa, antara lain :
a)      Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mencakup seluruh wilayah Indonesia
b)      Bangsa Indonesia adalah persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia
c)      Pengakuan terhadap ke- “Bhineka Tunggal Ika”-an suku bangsa (berbeda-beda namun satu jiwa) yang memberikan arah pembinaan kesatuan bangsa
d)     Nilai sila III ini meliputi dan menjiwai sila IV dan V
4.      Dalam sila IV kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaaratan/perwakilan terkandung nilai kerakyatan, antara lain:
a)      Kedaulatan Negara adalah ditangan rakyat
b)      Pemimpin kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi oleh akal sehat
c)      Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak, da kewajiban yang sama
d)     Musyawarah untuk mufakat di capai dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat.
e)      Nilai sila IV meliputi dan menjiwai sila V
5.      Dalam sila V Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia terkandung nilai keadilan social, antara lain:
a)      Perwujudan keadilan social dalam kehidupan social atau kemasyarakatan meliputi seluruh rakyat Indonesia
b)      Cita-cita masyarakat adil dan makmur secara material dan spiritual yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia
c)      Keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan menghormati hak orang lain
d)     Cinta akan kemajuan dan pembangunan
e)      Nilai sila V ini diliputi dan dijiwai sila I, II, III, dan IV
Perjalanan Negara kita yang merdeka pada 17 agustus 1945, telah banyak mengalami pasang surut, begitu juga keadaan pendidikan. Sistem pendidikan yang dialami sekarang merupakan hasil perkembangan pendidikanyang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa dimasa lalu. Pendidikan tidak berdiri sendiri, tapi selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.[3]
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan, pendidikan memang peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa bersangkutan. Karena itu, pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai satu system pengajaran nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.[4]
Menurut Aristoteles, tujuan pendidikan sama dengan tujuan didirikannya suatu Negara (Rapar, 1988: 40). Begitu juga dengan Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ingin menciptakan manusia pancasila. Pada tahun 1959, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk menjaga agar arah pendidikan tidak menuju pembentukan manusia liberal yang dianggap sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia (Depdikbud, 1993: 79). Kemudian atas instruksi Menteri Pengajaran dan Budaya (PM) Prof. Dr. Priyono mengeluarkan instruksi yang dikenal dengan nama “Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana” yang isinya antara lain bahwa pancasila merupakan asas pendidikan nasional. (Supardo, 1960: 431).[5]
Pendidikan, selain sebagai sarana transfer ilmu ilmu pengetahuan, sosial budaya, juga merupakan sarana untuk mewariskan ideology bangsa kepada generasi selanjutnya, yang (hanya) dapat dilakukan melalui pendidikan. Karena menurut Tadjab, suatu bangsa menjadi kuat, perkasa dan Berjaya serta menguasai bangsa-bangsa lain dengan sistem pendidikan yang kuat tetapi dengan system pendidikan yang lemah, suatu bangsa akan menjadi tidak berdaya (Tadjab, 1994: 26). Untuk itu, sudah barang tentu perlu adanya tujuan yang digariskan, baik itu tujuan institusional, kurikuler, maupun tujuan nasional.[6]
Bukan rahasia lagi, jika pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi bangsa yang dianut. Karenanya, system penididkan nasional Indonesia dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila. Sementara cita dan karsa bangsa kita, tujuan nasional dan hasrat luur rakyat Indonesia, tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasila. Cita dan karsa itu dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, dan pandangan hidup pancasila. Inilah alasan mengapa filsafat pendidikan pancasila merupakan tuntutan nasional, sedangkan filsafat pendidikan pancasila adalah subsistem dari sistem negara pancasila. Dengan kata lain, sistem Negara pancasila wajar tercermin dan dilaksanakan di dalam berbagai subsistem kehidupan bangsa dan masyarakat.[7]
Dengan memerhatikan fungsi pendidikan dalam membangun potensi negara dan bangsa, khususnya dalam melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa yang pada akhirnya menentuan eksistensi dan martabat bangsa dan negara, maka sistem pendidikan nasional dan filsafat pendidikan pancasila seyogianya terbina mantap demi tegaknya martabat dan kepribadian  bangsa sekaligus pelestarian sistem negara Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa filsafat pendidikan Pancasila merupakan aspek rohaniah atau spiritual sistem pendidikan nasional. Tegasnya, tiada sistem pendidikan nasional tanpa filsafat pendidikan.[8]
Dengan demikian, jelaslah tidak mungkin Sistem Pendidikan Nasional dijiwai dan didasari oleh sistem filsafat pendidikan yang lain selain Pancasila. Hal ini tercermin dalam tujuan Pendidikan Nasional yang termuat dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni: pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan.[9]
Filsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran sesuatu. Sementara filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang kependidikan berdasarkan filsafat. Bila kita hubungkan fungsi pancasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan, maka dapat kita jabarkan bahwa pancasila adalah pandangan hidup bangsa yang menjiwai sila-silanya dalam kehidupan sehari hari. Dan untuk menerapkan sila-sila pancasila, diperlukan pemikiran yang sungguh-sungguh mengenai bangaimana nilai-nilai pancasila itu dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, tentunya pendidikanlah yang berperan utama. Sebagai contoh, dalam pancasila terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam pelaksanaan pendidikan, tentunya sila pertama ini akan diberikan kepada siswa sebagai pelajaran pokok yang mesti diamalkan. Karena itu, disekolah-sekolah diberikan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, atau Pendidikan Kewarganegaraan, civic education pada perguruan tinggi, yang salah satu butir sila pertamanya adalah percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama masing-masing. (Disini filsafat berfungsi untuk mempertanyakan siapa Allah dan bagaimana  ia menjadikan alam semesta dan sebagainya). Sehingga bila kita lihat dalam lingkup kelas, nilai yang tampak di antara siswa adalah saling menghormati walaupun mereka berlainan agama. Oleh karena itulah, sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, pelajaran paancasila masih diberikan, tak lain agar nilai-nilai Pancasila benar-benar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.[10]

D.    Kesimpulan
            Sesuai dengan bunyi kelima silanya, penanaman nilai-nilai moral dan agama perlu meliputi unsur-unsur : (1) menumbuhkan sikap iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) menumbuhkan sikap hormat dan cinta terhadap umat manusia karena setiap pribadi manusia itu bernilai pada dirinya sendiri; (3) menumbuhkan sikap-sikap yang menggalang kesatuan dan persatuan bangsa indonesia; (4) menumbuhkan sikap demokrasi; (5) menumbuhkan sikap adil. Nilai-nilai moral dan agama itu secara konkret ditanamkan dalam proses pendidikan baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat, merupakan suatu tantangan yang perlu dijawab bangsa Indonesia.
Filsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran sesuatu. Sementara filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang kependidikan berdasarkan filsafat. Bila kita hubungkan fungsi pancasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan, maka dapat kita jabarkan bahwa pancasila adalah pandangan hidup bangsa yang menjiwai sila-silanya dalam kehidupan sehari hari. Dan untuk menerapkan sila-sila pancasila, diperlukan pemikiran yang sungguh-sungguh mengenai bangaimana nilai-nilai pancasila itu dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, tentunya pendidikanlah yang berperan utama.


[1] Ismail Thoib. Wacana Baru Pendidikan: Meretas Filsafat Pendidikan Islam. (Mataram: Alam Tara Institue , 2009), h. 145.
[2] Elly M. Setiadi. Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 163-164.
[3] Jalaludin & Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan: manusia, filsafat dan pendidikan.(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 168.
[4] Ibid., h. 169
[5] Jalaludin & Abdullah Idi,….
[6] Ibid., h. 170
[7] Jalaludin & Abdullah Idi.,…..
[8] Loc.Cit.,
[9] Loc.Cit.,
[10] Ibid., h. 171-172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.