“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Senin, 27 Oktober 2014

Tarekat Naqsyabandiyah



Tarekat Naqsyabandiyah

            Pendiri tarekat naqsyabandiyah ini adalah Muhammad bin Baha’uddin Al-huawaisi Al-Bukhari (717-791 H). Naqsyabandiyah ini mempunyai arti yaitu lukisan, karena ia ahli dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib.
            Tarekat naqsyabandiyah ini mengajarkan cara berdo’a, baca al-qur’an dan berzikir yang sangat sederhana. Namun tarekat ini lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan. Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan. Dalam tarekat ini, yaitu: Taubat, Uzla, Zuhud, Takwa, Qona’ah dan Taslim.
            Hukum yang dijadikan dalam tarekat ini ada enam, yaitu: Zikir, meninggalkan hawa nafsu, meninggalkan kesenangan duniawi, melaksanakan ajaran agama dengan sungguh-sungguh, berbuat baik kepada makhluk Allah dan mengerjakan amal kebaikan.
            Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir sejak ratusan tahun lalu di Indonesia. Di Padang, Sumatra Barat (Sumbar), Naqsabandiyah dibawa oleh Syekh Tahib yang menuntut ilmu di Makkah selama 25 tahun.
            Imam surau Tarekat Naqsabandiyah, Zahar (57 tahun) mengaku, dia mulai berdakwah di Padang sekitar tahun 1900-an. Kemudian ia menurunkan ilmunya kepada kemenakannya, Syekh Munir. Ilmu ini terus diturunkan sampai kepada Syafri Malin Mudo yang kini menjadi guru besar tarekat di Padang dan sekitarnya.
            Tarekat ini tidak hanya ada di Kota Padang, tetapi juga ada di wilayah Solok, Payakumbuh, dan Pasaman. Penyebaran tarekat ini dilakukan dengan menurunkan ilmu suluk dari guru besar kepada murid-muridnya di surau.
            Murid tersebut kemudian menyebarkan ajaran ini dengan mendirikan surau di kampung halaman masing-masing. "Biasanya mereka menuntut ilmu satu sampai dua tahun," ungkap Zahar yang telah 30 tahun berdakwah. Kecuali penetapan Ramadhan, tidak ada perbedaan dalam tata cara beribadah di Tarekat Naqsabandiyah. Seluruhnya dilaksanakan seperti yang tercantum dalam Alquran dan hadits.
            Karena perbedaannya dalam memutuskan waktu Ramadhan, beberapa kali Tarekat Naqsabandiyah didatangi oleh Kementerian Agama. Bahkan Menteri Agama datang sendiri ke surau tersebut untuk bersilaturahmi. Ajaran ini bukanlah ajaran sesat, tegas Zahar. Islam sangat menghargai keragaman. Pun Tarekat Naqsabandiyah. Jangan sampai perbedaan ini memecah belah umat.

Ajaran Dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah .
1)      “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.
2)      “Nazhar Barqadlam” yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.
3)      “Safar Darwathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
4)       “Khalwat Daranjaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :
a.       Berkhalwat lahir, yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
b.      Khalwat batin, yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.
5)      “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6)      “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia. “Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut” . Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.
7)      “Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat ini.  Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain daripada Allah SWT.”  Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”
8)      “Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna. Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,
9)      “Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWT pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.
10)  “Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat tidak diakhiri dengan bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga) atau 5 (lima) sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.
11)  “Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca indera untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki, untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT, dan terlepas dari pengertian zikir.

DAFTAR PUSTAKA
http:// Tarekat Naqsabandiyah  'Kami Bukan Aliran Sesat' _ Republika Online.htm, di akses pada tgl 9 oktober 2014
http://Ikhsan Efendi 88  Jenis-Jenis Tarekat Dan Ajarannya.htm, diakses pada tgl 9 oktober 2014
http://AJARAN DASAR THORIQOH NAQSYABANDIYAH _.htm, diakses pada tgl 9 oktober 2014

Tarekat Syattariyah



TAREKAT SYATTARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar belakang
            Tasawuf dalam pemahaman kita sebelumnya adalah usaha pendekatan atau usaha individual dalam mengungkap realitas dengan pengalaman batin, namun pada saat ini kita semua juga sudah mengetahui bahwasannya tasawuf sekarang bukan hanya sekedar usaha pribadi dalam melakukan pengalaman batin dalam mengungkap realitas, akan tetapi tasawuf sudah menjadi suatu disiplin ilmu yang sangat penting untuk kita ketahui dan kita pelajari.
            Dengan menjadinya tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu maka akan muncul pertanyaan pertanyaan yang mendasar, dimana tasawuf ini dapat dipelajari, siapa yang mengajarkan tasawuf, bagaimana cara yang diajarkan untuk menjadi seorang sufi. Sekiranya masih banyak pertanyaan yang dapat kita lontarkan.
            Sekilas untuk menjawab pertanyaan pertanyaan diatas antara lain yaitu, bahwasanya tasawuf dapat dipelajari dalam sebuah tarekat, dalam sebuah tarekat di situ diajarkan bagai mana kita dapat mencapai tingkatan sufi dengan metode-metode yang sesuai dengan metode yang ada dalam tarekat tersebut, dalam sebuah tarekat itu seorang mudir yang dianggap sebagai guru dalam sebuah tarekat itu mengajarkan metodenya kepada para pangikutnya dalam mencapai tingkatan sufi tersebut.
            Ada begitu banyak tarekat-tarekat di dunia ini, baik itu yang terkenal ataupun tidak, dan baik itu mempunyai hubungan atau tidak dengan indonesia bahwasannya tarekat ini sudah menyebar keseluruh dunia dengan metode-metode yang mereka bawa. Berbicara tentang tarekat yang memiliki hubungan dengan Indonesia, ada begitu banyak tarekat yang masuk ke indonesia dalam menyebarkan metodenya, dan tidak sedikit yang mengikuti tarekat tersebut. Salah satu tarekat yang memiliki hubungan dengan indonesia adalah tarekat syatariah. Tarekat ini akan dibahas lebih luas dan panjang lebar di dalam pembahasan selanjutnya,
            Pembahasan mengenai sejarah muncul dan masuknya ke indonesia, metode pengajaranya, silsilah pendiri, bagai mana pula ajaran tarekat syatariah ini sangatlah penting untuk kita ketahui berhubungan dengan tarekat syatariah ini masuk dalam salah satu ruang sejarah dalam indonesia, maka selayaknya kita mengetahuinya sebagai warga negara indonesia. Maka dari itulah tarekat syatariah ini akan kami kupas dalam tulisan kami ini.
Sekilas tentang tarekat syatariah ini, bahwasannya tarekat ini sering dihubungkan dengan pendirinya yaitu syah abdullah al-syattari dalam penamaan tarekat ini. Yang mana pendiri tarekat ini dari referensi yang tidak begitu banyak yang menyebutkan bahnwasannya Syaikh Abdullah Asy-Syattar, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar al-Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M) ulama sufi yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara (Samarkand). Di sinilah, dia diresmikan menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Syaikh Muhammad Arif.
            Namun karena tarekat yang pertama yang ia ikuti ini tidak dapat berkembang di daerahnya maka ia pun dipindahkan oleh gurunya ke india, dari sini lah setalah syah al-syattar ini mendirikan tarekat syattariah, begitu pula setelah perpindahannya ke india lah tarekat syattariah mulai muncul dalam sejarah tarekat dunia.
            Namun bagai manakah tarekat syattariah masuk ke indonesia?. Dalam menyebarkan dan memperluas wilayah dalam menyebarkan pemikirannya tarekat syattariah masuk ke indonesia, dengan menyuguhkan metode mereka, tidak sedit pula yang mengikuti tarekat ini di indonesia. Begitu banyak yang perlu kita bahas, tidak cukup hanya sekilas yang telah disampaikan diatas, dalam tulisan ini akan di bahas secara mendalam mengenai tarekat ini dalam pembahasan selanjutnya.

2.      Rumusan masalah
a)      Apa yang dimasud dengan tarkeat syattariah itu ?
b)      Kapan munculnya tarekat syattariah dan masuknya ke Indonesia ?
c)      Siapa pendiri tarekat syattariah ini ?
d)     Bagaimana metode yang mereka ajarkan atau bagaimana ajaran mereka ?

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Sejarah kemunculan Tarekat Syattariah
            Tarekat ini bernama Tarekat Syattariyah. Syattariyah sendiri  dihubungkan kepada seseorang yang bisa dikatakan sebagai pendiri tarekat ini yaitu Syah Abd Allah al-Syattari (w.890 H/1485). Sejatinya ketika melihat daftar nama-nama ulama yang terdapat pada silsilah tarekat ini, yang para penganutnya meyakini mereka sebagai pembawa ajaran dan amalan yang mereka terima itu pada hakikatnya atau substansi ajaran-ajarannya itu berasal dari Nabi SAW. Jadi, para tokoh-tokok yang nanti akan kami jelaskan pada bagian selanjutnya tidaklah bertindak sebagai pencipta ritual tarekat, seperti zikir dengan berbagai metodenya, melainkan hanya merumuskan dan membuat sistematikanya saja.[1]
            Mengenai sang tokoh, yakni Syaikh Abdullah Asy-Syattar, hanya sedikit riwayat yang bisa diketahui. Beliau masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar al-Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M) ulama sufi yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara (Samarkand). Di sinilah, dia diresmikan menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Syaikh Muhammad Arif.
            Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah, Syaikh Abdullah Asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula, ia tinggal di Jawnpur. Kemudian, pindah ke Mondu, sebuah kota Muslim di daerah Malwa (Multan). Keputusan yang diambilnya ternyata tepat karena di sinilah akhirnya dia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah. Tidak diketahui, apakah perubahan nama dari Tarekat Isqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India atau atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya pada tahun 1428 M.
            Jika kita lihat dalam proses perkembangan tarekat ini, khususnya di India, yang menjadi basis utamanya kala itu, yaitu sekitar abad ke 15, tarekat ini memiliki akar keterkaitan dengan tradisi Transoxiana, yang silsilahnya terhubungkan kepada Abu Yazid al-Isyqi dan kemudian  terhubung lagi kepada Abu Yazid al-Bastami (w. 260 H/ 873M) dan Imam Ja’far as-Shadiq (w. 146 H/763). Sehingga tidak mengherankan jika kemudian tarekat ini dikenal dengan nama Tarekat Isyqiyah di Iran, atau Tarekat Bistamiyah di Turki Utsmani yang sempat popular pada abad ke 5 H di wilayah Asia Tengah sebelum akhirnya memudar dan pengaruhnya digantikan oleh Tarekat Naqsybandiyah.[2]
            Dalam upaya penyebaran  tarekat ini, Syah Abd allah al-Syattar beserta muridnya mengembangkan kecendrungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih dipengaruhi ajaran atau ritual Hindu yang dengan demikian tak heren jika kita lihat konsep tasawuf dan tarekat yang mereka bawa bersifat sinkretis, serta memiliki persamaan dengan konsep-konsep dan ritual Hindu.
            Syah Abd Allah  mendirikan khanqah pertama bagi para pengikutnya di desa Mandu.  Beliau juga menulis sebuah kitab yakni  Lata’if al-Gaibiyyah, tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syattariyyah,  yang disebut sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat ma’rifat.[3] Karya beliau ini pada akhirnya disempurnakan oleh dua orang murid utamanya yaitu Syeikh Muhammad A’la atau dikenal juga dengan Syaikh Qadi Bengal(Qazam Syattari) dan Syaikh Hafiz Jawnpur. Menariknya kendatipun 2 Syeikh tersebut adalah murid utama dari Syah Abd Allah , bila kita lihat dalam silsilah yang masyhur dalam Tarekat Syattariyyah, nama kedua Syaikh tersebut tidak pernah kita jumpai. Melainkan nama-nama lain seperti Imam Qadhi al-Syattari, Syaikh Hidayat Allah al-Sarmasti, Sayaikh Hajji Huduri dan Syaikh Muhammad Gauts.
            Selanjutnya, sebagai seorang khalifah Tarekat Syattariyyah, Syaikh Muhammad Gauts termasuk seorang khalifah yang berpengaruh besar bahkan bisa dikatakan sebagai yang paling berhasil memapankan doktrin dan ajaran tarekat ini. Beliau menulis sejumlah buku seperti Jawahir al-Khamsah, Kalid Makhzan, Dama’ir Basayir, dan Kanz al-Tauhid. Disamping buku-buku diatas, beliau juga menulis sebuah buku sebagai buah hasil hubungan dekat beliau dengan tokoh-tokoh agama Hindu, yaitu kitab Bahr al-Hayat  yang merupakan terjemahan dari Kitab Amrita Kunda yang didalamnya berisi beberapa persamaan antara konsep dan ritual Islam dalam aspek tasawuf dengan konsep dan ritual Hindu. Beliau juga mengadopsi teknik dan praktik yoga menjadi bagian dari formulasi zikir Tarekat Syattariyyah.
            Syaikh Muhammada Gauts memiliki seorang yang bernama Syaikh Wajih al-Din Alawi (w1018 H/1609 M) yang tinggal di Ahmadabad, India. Beliau ini termasuk orang yang paling gigih membela gurunya dari tuduhan para ulama Gujarat yang telah menganggap  Syaik Muhammad Gauts menyimpang dari ajaran Islam, sebagai bentuk respon mereka dari karya beliau yang berjudul Mi’raj. Syaikh Wajih al-Din Alawi ternyata tidak hanya terjun dalam satu tarekat, dia juga tercatat telah bergabung di Tarekat Khisytiyah, Suhrawardiyah, Madariyah, Khalwatiyah, Hamadaniyah, naqsabandiyah, dan Tarekat Firdausiyah.
            Selanjutnya, sampai wafatnya kedua Syaikh yang terakhir kami ceritakan, Tarekat Syattariyyah ini mengalami kemunduran dan popularitasnya tergeser oleh Tarekat Naqsabandiyah dan Qadiriyah. Untungnya, Syaikh Wajih al-Din Alawi masih menyisahkan seorang murid bernama Sibghat Allah ibn Ruh Allah Jamal al-Barwaji(w. 1015 H/1620 M).
            Sibghat Allah ibn Ruh Allah Jamal al-Barwaji ini lahir di India dari orang tua berdarah Persia. Beliau ini teman karib dari Fadhl Allah al-Burhanpuri al-Hindi (w. 1029 H/1620 M), yang merupakan penulis kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi dan kitab tersebut pernah menghebohkan kalangan Muslim Melayu Indonesia pada awal hingga abad 17 M.
            Sibghat Allah ibn Ruh Allah Jamal al-Barwaji banyak melakukan perjalanan guna menyebarkan Tarekat Syattariyah. Mulai dari kota kelahirannya, dan kemudian para tahun 999 H/ 1591 M dia melakukan perjalanan ke Makkah untuk berhaji. Kemudaian dia juga sempat tinggal di Ahmadabad selama setahun, kemudian juga pernah ke Bijapur ( pusat sufi di India)  dimana dia berhasil merebut hati sang Sultan, Ibrahim Adil Syah. Dengan bantuan sang Sultan, beliau kembali ke Makkah pada musim haji 1005 H/1596 M dan kemudian menetap di Madinah. Di san dia membangun rumah dan ribat untuk menunjang kegiatan tarekat ini. dan kemungkinan besar semua fasilitas yang dia dapatkan merupakan wakaf atau hadiah dari sultan di Ahmadnagar serta pejabat-pejabat Utsmani di Madinah.[4]
            Dari sinilah melalui usaha keras Sayid Sibghat, dan bisa dikatakan menjadi satu titik tolak menuju era baru Tarekat Syattariyyah itu sendiri. Sayid Sibghat wafat di Madinah, dan hingga sekarang dia dikenang sebagai ulama pengembara yang akhirnya menjadi teladan dalam interaksi keilmuan dan transmisi tradisi-tradisi kecil Islam dari India, selain itu juga beliau menjadi tokoh kunci dalam persebaran berbagai gagasan keislaman di Haramyn, memperkenalkan kitab Jawahir al-Khamsah karangan gurunya, Syaikh Muhammad Gauts, kepada ulama-ulama di Haramyn. Menulis sejumlah kitab di bidang tasawuf, kalam dan syarh atas tafsir al-Baydawi. Selain itu juga dia mempunyai banyak murid,  antara lain yang menjadi penerusnya adalah Ahmad al-Syinawi( lahir 975 H/ 1567 M) dan Ahmad al-Qusyasyi (991-1071 H/ 1583-1660M).
            Singkat cerita setelah Syaikh Ahmad al-Syinawi wafat maka tanggung jawab penyebaran Tarekat Syattariyah di Haramayn jatuh kepada al-Qusyasyi.
            Al-Qusyasyi sendiri sebenarnya telah mempunyai nama besar dalam bidang keilmuan, dia seorang penulis dan pengarang produktif pada masanya. Karyanya berjumlah puluhan dalam  berbagai bidang keilmuan, seperti tasawuf, hadis, fikih, ushul-al-fiqih dan tafsir. Dan yang baru diterbitkan yakni hanya al-Sint al-Majid.
            Dibawah kepemimpimpinan al-Qusyasyi, Tarekat Syattariyah semakin mantap di Haramyn. Dan juga mengalami reorientasi dari sifat awalnya yang lebih menekankan aspek mistis menjadi sebuah tarekat yang mengajarka perpaduan syariat dan aspek mistis, atau yang lebih dikenal dengan istilah neo-sufisme. Selain itu juga, beliau bisa dikatakan sebagaii orang yang paling bertanggung jawab dalam menyebarkan tarekat ini di seluruh penjuru dunia, termasuk Melayu-Indonesia melalui murid-muridnya seperti Ibrahim al-Kurani ( 1023-1102 H/ 1614-1690 M) dan Syaikh Abdurrauf al-Singkili.
            Al-Kurani juga lebih dikenal sebagai khalifah dalam Tarekat Naqsabandiyah namun lantaran hubungannya dengan al-Singkili maka peran beliau dalam penyebaran Tarekat Syattariyyyah menjadi penting. Mengapa ? karena beliau adalah guru utama al-Singkili, khususnya berkaiatan dengan pengetahuan tentang doktrin mistiko-filosofis yang dia pelajari.
            Selanjutnya, Al-Singkili telah mampu menunjukkan kualitas dirinya sebagai ulama yang mumpuni, beliau  mampu merebut hati sejumlah ulama di Haramayn sehingga menjadikan dirinya sebagai murid utama. Dia menghabiskan 19 tahun di Haramayn untuk belajar berbagai pengetahuan Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, tasawuf, kalam dan lain-lain. Beliau berguru pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik masyhur dari Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, bayt al-Faqih dan lainnya.
            Kemudian masa kembali al Singkili dari Haramayn bisa dikatakan sebagai awal masuknya Tarekat Syattariyyah ke dunia Melayu-Indonesia dan beliau ini bisa jadi merupakan satu-satunya ulama yang paling otoritatif dalam menyebarkan tarekat ini di dunia Melayu-Indonesia melalui perantara murid-muridnya diantara yang paling terkemuka adalah Syaikh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatra barat dan Syaikh Abdul muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, jawa Barat.

2.      Tokoh dan Silsilah tarekat syattariah
Rasulullah SAW ---> Imam Ali bin Abi Thalib ---> Imam Husain ---> Ali Zainal Abidin ---> Muhammad al-Baqir ---> Jaafar as-Shadiq ---> Abu Yazid al-Bisthami ---> Syekh Muhammad Maghrib ---> Syekh Arabi Yazid al-Ghisqi ---> Quthub Abu Muzhaffar Maulana Rumi al-Thusi ---> Quthub Abu Hasan al-Harqani ---> Syekh Hudaquli Mawuri al-Nahari ---> Sayid Muhammad Asyiq ---> Sayid Muhamad Arif ---> Syekh Abdullah al-Syaththari ---> Qadli al-Syaththari ---> Hidayatullah Sarmats ---> Syekh Haji Hushuri ---> Sayid Muhammad Ghauts --> Sayid Wajihuddin ---> Sayid Shibghatullah ---> Abu Muwahab Abdullah Ahmad ---> Syekh Ahmad bin Muhammad ---> Syekh Ahmad al-Qusyasyi ---> Syekh Abdul Rauf al-Sinkili ---> Syekh Haji Abdul Muhyi

3.      Perkembangan tarekat syattariyyah di tanah nusantara.
            Abdurrauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia, Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Sekembalinya abdurrauf al-sinkili dari haramayn pada awal paruh kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661 M, menjadi awal masuknya tarekat syattariyyah ke tanah nusantara. Setelah 19 tahun  beliau menghabiskan waktunya di haramayn untuk belajar tentang berbagai ilmu pengetahuan, seperti tafsir, hadist, fiqh, tasawuf, ilmu kalam dan lain-lain. Beliau belajar berbagai pengetahuan agama tersebut pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh sufi kenamaan di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al-faqih, dan lain-lain.[5] Sesampainya di Aceh, beliau langsung menjadi pusat perhatian, baik bagi masyarakat pada umumnya maupun kalangan Istana karena kedalaman pengetahuannya.
            Beliau dipercaya oleh sultanah safiyatuddin untuk menjadi Qodi malik al-adil,  pemuka agama yang bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan sosial-keagamaan. Karena kedudukan inilah al-sinkili lebih mudah menyebarkan gagasan-gagasan keagamaannya. Lebih dari itu, keadaan yang terjadi saat itu akibat kontroversi atau perdebadan panjang antara penganut doktrin ajaran wahdad al-wujud atau wujudiyyah, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-sumatrai dengan Nuruddin al-Raniri, menjadikan beliau lebih dikenal karena keberadaannya menjadi penengah bagi konflik tersebut.
            Pergelokan sosial-keagamaan yang terjadi di aceh, yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran keagamaan setempat, memberikan ruang khusus bagi tarekat syattariyyah untuk menjadi suatu pemahaman yang diminati, karena berbagai rumusan ajaran tarekat syattariyyah yang cenderung rekonsiliatif dengan selalu berusaha memadukan dua kecenderungan yang bertentangan. Kemudian, melalui perangai baik yang ditunjukkan oleh al-sinkili dalam menyikapi berbagai persoalan keagamaan di aceh, menjadikan beliau dikenal sebagai ulama santun yang luas pengetahuannya dan dihormati, sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Tidak hanya bagi masyarakat aceh, tetapi juga bagi masyarakat muslim di wilayah lainnya. Hal ini dapat dibenarkan dari banyaknya murid yang datang ke aceh untuk menuntut ilmu kepada beliau.
            Diantara murid-muridnya yang paling terkenal adalah syaikh burhanuddin dari ulakan, pariaman, sumatra barat dan syaikh abdul muhyi dari pamijahan, tasikmalaya, jawa barat. Dari keduanyalah kemudian akan kita temukan perkembangan tarikat syattariyyah di wilayah masing-masing. Syekh Burhanuddin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah tarekat syattariyyah di wilayah sumatra barat periode berikutnya, sementara syekh abdul muhyi menjadi penyambung estafet terhubungkannya silsilah tarekat syattariyyah di wilayah jawa barat khususnya, dan jawa pda umumnya. 

a)      Perkembangan tarekat syattariyyah di Sumatra Barat
            Syekh burhanuddin ulakan, lahir sekitar tahun 1056 H/1646 M. Semasa kecilnya, beliau dipanggil Pono, lahir di daerah periangan, padang panjang daerah yang diyakini sebagai daerah asal minangkabau, alung pariaman. Ayahnya bernama pampak dari suku koto, sedangkan ibunya bernama nili dari suku guci. Sebelum belajar kepada syekh burhanuddin al-sinkili, dikisahkan bahwa pono muda berguru kepada syaikh ‘abdullah ‘arif di desa tapakis, seorang pengembara arab yang konon juga merupakan murid dari syekh al-kusyasyi di madinah.
            Dalam menjalani masa belajarnya burhanuddin ulakan begitu dekat dengan gurunya, al-sinkili. Disebutkan juga bahwa beliau tergolong murid istemewa sang syekh. Burhanuddin ulakan begitu memiliki peran penting dalam proses islamisasi di minangkabau. Segera setelah menerima ijazah dari gurunya ia kembali ke kampung halamannya dan mendirikan surau syattariyyah  yang juga sebagai satu-satunya pusat keilmuan islam diwilayah ini. Surau ini pada mulanya diberi nama “ surau batang jelatang” dan kini dikenal dengan nama “surau gadang”.
            Penting dimengerti bahwa melalui institusi tarekat syattariyyah yang menjadi sarana syekh burhanuddin ulakan dalam mendakwahkan islam, ajaran-ajaran islam tampaknya lebih mudah diterima oleh masyarakat minangkabau. Karena beliau menyajikan islam tarekat yang lebih mengedepankan pentingnya kualitas spritual dan penyucian batin dibandingkan praktek dan ritual tarekat pada umumnya. Begitu selanjutnya nama surau tidak bisa dipisahkan dalam tradisi tarekat di daerah sumatra barat ini, khususnya didataran daerah minangkabau. Karena dengan adanya institusi surau, yang secara umum telah memainkan peran penting dalam proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan islam.
            Penguatan ajaran syattariyyah, neosufisme. Demikianlah di sumatra barat, tarekat syattariyyah telah menjadi salah satu pilar terpenting dalam penyebaran ajaran neosufisme, sehingga sangat berperan dalam pembentukan struktur masyarakat muslimnya.

b)     Perkembangan tarekat syattariyyah di Jawa Barat
            Seperti yang telah disinggung diatas, bahwa ajaran tarekat syattariyyah di jawa barat di bawa oleh syekh abdul muhyi, yang juga murid al-sinkili di aceh. Murid-murid tarekat syattariyyah di jawa barat hingga sekarang masih banyak dijumpai, antara lain di pamijahan, tasikmalaya, purwakarta, ciamis, cirebon, kuningan dan lain-lain.[6] Dikesultanan banten secara spesifik memberikan gambaran ajaran tarekat, selain menjadi sarana untuk memperoleh kekuatan spritual, juga diyakini oleh kalangan istana sebagai media yang dapat mendukung, melegitimasi dan semakin memperkuat kedudukan mereka sebagai kekuasa.
            Diantara murid-murid  syekh abdul muhyi yang disebutkan dalam kitab-kitab tarekat syattariyyah adalah, H abdullah dan H M. Hasanuddin, karang , supardi; syekh abu hasan, raja galuh; kiai hasan maolani, lengkong; kiai nur muhammad pasir astana; kiai nur ali, purwakarta; dan bagus muhammad reja, sukaraja.
            Perkembangan tarekat syattariyyah dijawa barat dan jawa secara menyeluruh dibawa langsung oleh syekh abdul muhyi, yang kemudian disebarluaskan oleh murid-muridnya yang juga sebagai pemimpin-pemimpin atau kiai di wilayah masing-masing. Hingga pada akhirnya tarekkat syattariyyah dikenal luas dengan ajarannya ke seluruh pulau jawa.

c)      Ajaran Dzikir Tarekat Syattariyah
            Dalam kitab Al-Simt al-Majid, Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, khalifah Tarekat Syattariyah di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan dan tata tertib menjadi anggota tarekat, serta juga berisi tuntutan tentang tata cara dzikirnya.
            Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat adalah baiat dan talqin. Oleh karnanya, dalam kitab ini, al-Qusyasyi menjelaskan secara detail tata cara baiat dan talqin tersebut, bahkan dia membedakan antara tata cara baiat bagi laki-laki perempuan, dan anak-anak.
            Menurut al-Qasyasyi, tata cara dzikir, baiat, dan talqin yang dikemukakanya itu tidak khusus bagi para penganut tarekat syattariyah saja, melainkan bagi semua al-murdin li al-suluk, siapa pun yang menempuh dunia tasawuf. Hal ini dapat dimaklumi karna al-Qusyasyi memang bergabung dengan tidak kurang dari selusin jenis tarekat, meskipun ia lebih menonjol perananya dalam penyebaran tarekat syattariyah ke berbagai penjuru dunia melalui murid-muridnya, termasuk ke dunia Melayu-Indonesia. Meski demikian, di kemudian hari, model dzikir, baiat, dan talqin yang dikemukakan al-Qusyasyi ini hampir secara keseluruhan diikuti oleh para ulama tarekat Syattariyah di dunia Melayu-Indonesia.
            Praktek yoga yang merupakan ajaran agama hindu, diadopsi dan dipraktekkan menjadi bagian dari formulasi dzikir tarekat syattariyah, karena memang konsep dan ritual Islam, khususnya aspek tasawuf memiliki kedekatan dengan dengan ajaran Hindu.
            Dalam apa yang disebut sebagai astanga-yoga misalnya, terdapat 5 hal berkaitan dengan latihan tubuh lahir, yakni: pengendalian diri, ketaatan, duduk dengan posisi tertentu, mengatur nafas dan menutup seluruh panca indra.
            Adapun 3 hal yang berkaitan dengan penyempurnaan rohani, juga merupakan kelanjutan dari 5 tahap lahir sebelumnya adalah konsentrasi pikiran pada satu fokus tertentu, meditasi, samadi. Yang disebut trakhir merupakan suatu keadaan yang agak sulit dilukiskan dengan kata-kata. Seseorang yang tengah berada dalam keadaan samadi, akan merasakan kebahagiaan besar dalam dirinya. Lebih jauh kesendirianya sebagai manusia pun akan hilang. Dalam dunia tasawuf, keadaan samadhi ini mirip dengan konsep fana, yang merupakan tahap tertinggi pencapaian spritual tertinggi seorang salik.
Talqin
            Talqin merupakan langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum seseorang dibaiat menjadi anggota tarekat dan menjalani dunia tasawuf (suluk).
            Menurut al-Qusyasyi, di antara tata cara talqin adalah calon murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syeikhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudhu).
            Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan sholat sunnat sebanyak enam rakaat, dengan tiga kali salam. Pada rakaat pertama dari dua rakaat pertama, setelah surat al-fatihah, membaca surah al-qodar enam kali, kemudian pada rokaat kedua, setelah surah al-fatihah, membaca surah al-qodar dua kali. Pahala sholat tersebut dihadiahkan kepada Nabi SAW. Seraya berharap mendapat pertolongan dari Allah SWT. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rokaat kedua, setelah surah al-fatihah, membaca surah al-kafirun lima kali, pada rokaat kedua, setelah membaca al-fatihah, membaca surah al-kafirun tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para Nabi, Keluarga, Sahabat, serta para pengikutnya.
            Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah membaca surah al-fatihah, membaca surah al-ikhlas empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-fatihah membaca surah al-ikhlas dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk para arwah guru-guru tarekat, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya. Rangkaian sholat sunnah ini kemudian diakhiri dengan pembacaan sholawat kepada Nabi sebanya sepuluh kali.
Baiat
            Setelah menjalani talqin, hal yang harus dilakukan seseorang yang akan menjalankan suluk adalah baiat. Secara hakiki, baiat menurut al-Qusyasyi merupakan ungkapan kesetiaan dan penyerahan diri dari seseorang murid secara khusus kepada seyikhnya, dan secara umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya. Seorang murid yang telah mengikrarkan diri masuk ke dalam dunia tarekat, tidak dimungkinkan lagi untuk kembali keluar dari ikatan tarekat tersebut.
Dalam dunia tarekat, baiat memiliki konsekuensi adanya kepatuhan mutlak dari seorang murid kepada syeikhnya, karna syeikh adalah perwakilan dari nabi yang diyakininya tidak akan membawa pada kesesatan. Kendati demikian, jika seorang syeikh ternyata menyalahi kaidah-kaidah syariat, maka al-Qusyasyi tidak menganjurkan untuk mematuhinya, karna masuk ke dalam dunia tarekat sama artinya masuk pada kewajiban syariat.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Singkatnya kesimpulan dari tulisan ini bahwasannya tarekat syattariah ini didirikan oleh syah abdl allah al-syarti. Tarekat ini awal mulanya muncul di india karena sebelumnya ia berada di tarekat al-isyqiyah karena tidak berkembang di daerahnya sehingga oleh gurunya al-syarti ini dikirim ke india dan dia menemukan kecocokan di sana, dan terdirilah tarekat syattariah ini.
            Tarekat ini juga sukses menyebarkan ajarannya di nusantara ini, dengan tidak sedikit orang-orang mengikuti tarekat ini. Khususnya perkembangan nya di daerah jawa. Tarekat ini sangat terkenal di daerah jawa timur, jawa barat, dan jawa timur.
            Adapun ajaran yang diajarkan oleh tarekat syattariah antara lain ialah pengamalam dzikir, talqin, dan setelah melakukan talqin maka ketika kita ingin masuk kepada tarekan ini untuk menjalani suluk maka kita harus melakukan yang dinamakan baiat.
            Singkatnya tarekat syattariah ini memiliki peranan penting di nusantara dalam penyebaran tentang tasawuf, dengan metode penyeebarab yang mereka lakukan khususnya di daerah jawa.


DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung : Angkasa,  2008.
Sri Mulyati. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2011.




[1] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf , ( Bandung : Angkasa  2008), h. 1194.
[2] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2011), h. 155
[3]  Azyumardi Azra, Ensiklopedi. . . h. 1155
[4] Azyumardi Azra, Ensiklopedi. . ., h. 1197
[5] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat. . ., h. 162
[6] Ibid., h. 172

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.