“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Jumat, 29 Mei 2015

“Mensyukuri Nikmat: Pesan-Pesan Moral dalam Menjalani Kehidupan Bermakna”



Ikhlas Ber-Tuhan

“Tuhan Maha Kaya, Tuhan Maha Pemurah, Tuhan Maha Mendengar Permintaan, tetapi seringkali kita meminta hanya kepada selain-Nya.” (Mario Teguh)

Sebagai orang yang ber-Tuhan, seharusnya kita meminta hanya kepada-Nya, memohon pertolongan hanya kepada-Nya, dan berserah diri hanya kepada-Nya. Akan tetapi seringkali kebanyakan dari kita mengharapkan sesuatu kepada selain Tuhan. Berharap untuk menjadi kaya dari pekerjaan padahal pekerjaan itu hanya sebagai perantara, berharap mendapatkan berkah dari makam, dan berharap sukses dari sesuatu yang selain Tuhan. Fenomena seperti ini sebenarnya tanpa kita sadari telah membatasi kewenangan Tuhan untuk memberi yang pada akhirnya bisa berakibat bahwa kita telah menanamkan dalam hati kita ketidakikhlasan untuk mengakui bahwa tempat berharap dan meminta itu adalah Tuhan.
Siapapun yang meminta kepada Tuhan untuk menjadi kaya dan sukses pasti dikabulkan oleh Tuhan tetapi kita juga harus menyadari bahwa jangan hanya pandai meminta tetapi tidak pandai memantaskan diri terlebih dahulu untuk menerima apa yang kita telah minta. Tuhan mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya sehingga apa yang kita dapatkan seringkali tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Itu berarti Tuhan meminta kita untuk memantaskan diri kita terlebih dahulu untuk menerima.
Tuhan Maha Kaya sehingga ketika kita meminta maka kita tidak seharusnya meminta yang kecil, kita seharusnya meminta yang besar karena hanya Tuhan yang Maha Penjawab Do’a yang bisa mengabulkan, memberikan apa yang kita inginkan. Kalau Tuhan sudah berkehendak, meskipun kita sebenarnya belum pantas  menerima seperti yang kita inginkan tetapi Tuhan yang akan memantaskan kita terlebih dahulu baru memberikan sesuatu sesuai dengan apa yang kita panjatkan dalam setiap do’a kita.
Tuhan Maha Pendengar Do’a, berarti jangan pernah berpikir bahwa Tuhan tidak mendengarkan do’a kita karena merasa lama tidak dikabulkan. Tuhan pasti mengabulkan permintaan kita akan tetapi seringkali Tuhan memberikan yang pantas untuk kita bukan memberikan sesuatu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Karena kita juga harus yakin bahwa meminta sesuatu baik itu rezeki, kedamaian, kebahagiaan memerlukan kepantasan dari diri kita untuk menerimanya. Oleh karena itu, apabila kita menginginkan sesuatu yang besar maka kita sudah memantaskan diri kita terlebih dahulu untuk menerima sesuatu yang besar tersebut. Jangan sampai kita belum siap menerimanya sehingga bukannya kebahagiaan yang kita dapatkan tetapi justru ketidakbahagiaan yang akan kita peroleh karena ketidaksiapan kita untuk menerimanya.
Ikhlas ber-Tuhan berarti kita telah meyakini bahwa hanya kepada Tuhan tempat kita berharap dan meminta karena dengan demikian maka kita tidak akan mengizinkan segala sesuatu yang diluar Tuhan bisa mendatangkan kebahagiaan kepada kita.

Senin, 25 Mei 2015

Krisis Iman dan Krisis Amanat


“Alasan klasik bahwa kemiskinan serta kekurangan gaji mendekatkan seseorang pada tindakan korupsi dan kolusi ternyata tidak selalu benar”(Komaruddin Hidayat)
            Kita tentu tidak asing lagi dengan istilah ”Korupsi”. Itu disebabkan karena korupsi merupakan masalah nasional di negeri kita tercinta ini yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Setiap pemimpin baru selalu menjadikan istilah ini sebagai senjata utama untuk mendapatkan dukungan dari rakyat dengan memasukkannya kedalam Visi dan Misinya, karena rakyat sudah lama memimpikan ada pemimpin yang serius dalam memberantas korupsi ini. Tetapi seiring dengan tidak tuntasnya masalah ini, membuat rakyat sulit diyakinkan kembali untuk mempercayai aparat penegak hukum di negeri kita tercinta ini. Meskipun sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah tetapi tetap saja masih belum bisa menyelesaikan masalah ini.
            Terkait dengan masalah korupsi ini, saya sepakat dengan perkataan Komarudddin Hidayat di atas, karena seperti realita yang kita lihat sekarang ini bahwa banyak skandal korupsi kelas kakap justru dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi dan kaya raya. Perlu menjadi catatan kita bersama bahwa ternyata yang melakukan korupsi itu bukanlah orang-orang yang miskin maupun orang-orang yang kekurangan gaji tetapi korupsi ini justru kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang kaya raya, yang mempunyai gaji tinggi dan hidupnya sejahtera.
            Lalu pertanyaan besar yang sangat perlu untuk diselesaikan bersama adalah mengapa para koruptor tetap melakukan praktik korupsi padahal hidupnya sudah sejahtera ? 
            Jawabannya adalah seperti yang dijelaskan oleh Komaruddin Hidayat bahwa para koruptor tersebut telah terjangkit oleh penyakit yang dalam istilah psikologi disebut sebagai gejala “masokhisme moral”, yaitu hilangnya rasa malu dan rasa sakit hati untuk merusak martabat bangsa sendiri. Masokhisme moral ini muncul disebabkan antara lain, oleh rasa putus asa dan tidak percaya lagi bahwa pemerintah mau secara sungguh-sungguh memberantas masalah korupsi ini sampai tuntas yang pada gilirannya melahirkan terjadinya apa yang disebut sebagai “Krisis Iman dan Krisis Amanat”.
            Dalam buku “Wisdom Of Life”, Komaruddin Hidayat memaparkan bahwa kata amanat masih seakar dengan kata iman dan aman, yang dalam bahasa inggris mendekati kata credo, credit, dan credibility. Semua istilah ini berkaitan dengan sikap seseorang yang menaruh kepercayaan untuk memperoleh keimanan serta kualitas orang yang bisa dipercaya (bisa menjaga amanat). Lebih jauh lagi Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa iman artinya sikap mempercayakan diri dan menaruh keselamatannya pada Tuhan karena yakin bahwa keselamatan dan keamanan yang sejati hanya berada di tangan Tuhan. Dengan penyerahan total kepada Tuhan, maka perasaan dan kehidupan seseorang menjadi aman karena yakin bahwa Tuhan selalu memegang amanat, yaitu pemberi rasa aman kepada siapa pun yang memercayakan nasib hidupnya hanya kepada-Nya. Jadi, kualifikasi orang yang beriman adalah mereka yang dalam hidupnya merasa aman karena dekat dengan Tuhan. Lebih dari itu, mereka senantiasa bisa dipercaya untuk menerima amanat yang diberikan orang.
            Dalam konteks kehidupan bernegara, sesungguhnya pemerintahlah yang menjadi pemegang amanat rakyat, yang berkewajiban menjamin keamanan rakyatnya. Namun yang mengukur kesungguhan dan keberhasilan dalam memikul amanat tersebut adalah rakyat itu sendiri. Jika rakyat merasa hidupnya tidak aman, jika rakyat merasa tidak ada kepastian hukum, jika rakyat tidak mau lagi mempercayakan perkaranya untuk diselesaikan oleh aparat pemerintah, maka semua itu jelas menunjukkan gejala krisis amanat dan krisis iman.
            Dalam kehidupan bernegara, sikap amanat yang ditunjukkan oleh pemerintah sangat penting karena sesungguhnya amanat merupakan kunci untuk memperoleh dukungan rakyat. Sekali orang sudah menaruh kepercayaan yang tinggi, maka pengorbanan apapun yang diminta pasti akan diberikan. Untuk itu pemimpin yang sebenarnya diidam-idamkan oleh bangsa ini menurut hemat saya adalah sosok pemimpin yang beriman dan bisa menjaga amanat yang telah diberikan oleh rakyat.
            Karena begitu pentingnya keimanan dan sikap amanat ini dimiliki oleh pemimpin, tidak mengherankan jika rakyat bisa bersikap apatis dan pesimistis untuk bisa memperoleh keamanan dan kepastian hukum apabila seorang pemimpin telah dinilai gagal dalam menjaga amanat yang telah diberikan. Satu contoh misalnya seperti yang kita sering alami dalam kehidupan sehari-hari adalah mengapa para pengemudi mobil/sepeda motor dengan seenaknya, bahkan bernafsu, mengambil jalur orang tanpa memperdulikan antrean? Jawabannya adalah karena orang sudah tidak yakin lagi bahwa dengan antre, tertib, serta taat pada prosedur dan peraturan yang sah akan bisa menjamin untuk bisa memperoleh hak-haknya sebagaimana mestinya.
            Sekali lagi, krisis-krisis yang disebutkan sebelumnya berkaitan dengan semakin menipisnya sikap amanat, yaitu sikap untuk menerima tanggung jawab secara konsekuen atas kepercayaan yang telah diberikan orang kepadanya. Sehingga dalam hal ini kita perlu mengingat pesan Rasulullah Saw. Bahwa kepeminpinan dan jabatan itu adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana sabdanya :
“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan itu pada hari kiamat akan menjadi kerugian dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan benar dan menunaikan kewajiban di dalamnya.” (HR. Muslim, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim).
            Dalam konteks ini, baik pemimpin maupun pihak yang mengangkat tentu akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Swt. Apakah amanah itu ditunaikan atau tidak. Karena amanah kekuasaan atas pemimpin dan penguasa bukan hanya datang dari rakyat, namun juga dari Allah Swt. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya amanah kekuasaan dari Allah swt itu hendaknya harus digunakan untuk memelihara kemaslahatan rakyat. Sikap amanat ini akan tumbuh dan mentradisi kalau disertai kepastian hukum dan sanksi tegas bagi yang melanggarnya.
            Untuk mengakhiri tulisan ini, saya mengutip perkataan dari Komaruddin Hidayat yang mengatakan bahwa “Pemerintah manapun yang tidak setia dan tahan uji dalam memikul amanat rakyat, suatu saat rakyat akan mengambilnya kembali dengan caranya sendiri.”
            Semoga bangsa ini memiliki sosok pemimpin yang beriman dan mempunyai sikap amanat tersebut demi terciptanya bangsa yang memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.