“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Sabtu, 17 Mei 2014

Tulisan Opini Anies Baswedan : Janji Kemerdekaan


Janji Kemerdekaan
Oleh Anies Baswedan*

Kibarannya membanggakan. Merah-Putih berkibar gagah di tiang bambu depan rumah batu. Rumah sepetak kecil, alasnya tanah dan atapnya genting berlumut. Di tepi rel kereta tak jauh dari stasiun Jatibarang. Rumah batu itu polos tanpa polesan material mewah.

Pemiliknya jelas masih miskin. Tapi dia pasang tinggi bendera kebanggaannya. Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap hari lewat depan rumahnya: Kami juga pemilik sah republik ini, dan kami percaya di bawah bendera ini suatu saat kami juga akan sejahtera !

Yang miskin nyatakan cinta dan bangga pada negerinya. Keseharian hidupnya mungkin sulit, mungkin serba kerontang. Mungkin tak punya tabungan di bank, tapi tabungan cintanya pada Republik ini luar biasa banyak. Negeri ini dicintai dan dibanggakan. Rakyatnya cinta tanpa syarat.

Tiap memasuki bulan Agustus ada rasa bangga. Kemerdekaan diongkosi dengan perjuangan. Di tiap hela napas anak bangsa hari ini, ada tanda pahala para pejuang, para perintis kemerdekaan.

Jangan pernah lupa bahwa saat merdeka mayoritas penduduknya serba sulit. Hanya 5% rakyat yang melek huruf. Siapapun hari ini, jika menengok ke masa lalunya maka masih jelas terlihat jejak ketertinggalan adalah bagian dari sejarah keluarganya. Kemiskinan dan keterbelakangan adalah baju bersama di masa lalu.

Republik ini didirikan bukan sekadar untuk menggulung kolonialisme tapi untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Republik hadir untuk melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya serta memungkinkan berperan dalam tataran dunia.

Isi Pembukaan UUD 1945 selama ini diartikan sebagai cita-cita. Cita-cita kemerdekaan adalah kata kunci paling tersohor. Istilah cita-cita kemerdekaan adalah istilah yang sudah jamak dipakai dalam mengilustrasikan tujuan republik ini. Tapi ada ganjalan fundamental disini.

Kemerdekaan perlu beri ekspresi yang lebih fundamental, bukan sekadar bercita-cita. Lewat kemerdekaan, sesungguhnya Republik ini berjanji. Narasi di Pembukaan UUD 1945 bukanlah ekspresi cita-cita semata, tapi itu adalah janji. Pada setiap anak bangsa dijanjikan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan bisa berperan di dunia global. Republik ini dibangun dengan ikatan janji!

Cita-cita itu adalah harapan, dan ia bisa tidak mengikat. Secara bahasa cita-cita itu bermakna keinginan (kehendak) yg selalu ada di dalam pikiran atau dapat juga diartikan sebagai sebuah tujuan yang hendak dilaksanakan. Bila tercapai cita-citanya maka akan disyukuri. Tapi, jika tidak tercapai maka cita-cita bisa direvisi. Ada komponen ketidakpastian yang abstrak pada kata cita-cita. Indonesia hadir bukan sekadar untuk sesuatu yang didalamnya mengandung komponen yang belum tentu bisa dicapai. Sudah saatnya tidak lagi menyebutnya sebagai cita-cita tapi mulai menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan.

Berbeda dengan cita-cita, sebuah janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, untuk memenuhi dan untuk mencapai. Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji memberikan komponen kepastian. Janji itu kongkret. Janji tidak abstrak dan uncertain. Republik ini bukan sekadar bercita-cita tapi berjanji mensejahterakan dan mencerdaskan tiap anak bangsa.

Hari ini janji itu telah dilunasi bagi sebagian rakyat. Sebagian rakyat sudah tersejahterakan, tercerdaskan, terlindungi dan bisa berperan di dunia global. Mereka sudah mandiri. Mereka tak lagi tergantung pada negara mulai dari soal kehidupan ekonomi keseharian, pendidikan, sampai dengan kesehatan. Ya pada mereka, janji kemerdekaan itu sudah dibayar lunas.

Tapi masih jauh lebih banyak yang kepadanya janji itu belum dilunasi. Bangsa ini perlu melihat usaha mencerdaskan dan mensejahterakan bukan sekadar meraih cita-cita tapi sebagai pelunasan janji kemerdekaan. Pelunasan janji itu bukan cuma tanggung-jawab konstitusional negara dan pemerintah tapi juga tanggung jawab moral setiap anak bangsa yang kepadanya janji itu telah dilunasi: telah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan.

Jangan lupa dahulu seluruh rakyat sama-sama miskin, buta huruf, terjajah dan terbelakang. Mayoritas mereka yang hari ini sudah tersejahterakan dan tercerdaskan mendapatkannya lewat keterdidikan. Pendidikan di Republik ini adalah eskalator sosial ekonomi; keterdidikan mengangkat derajat secara kolosal jutaan rakyat untuk mendapatkan yang dijanjikan: tercerdaskan dan tersejahterakan.

Saat Republik ini didirikan semua turun tangan menegakkan Merah-Putih, menggulung kolonialisme. Ada yang sumbang tenaga, harta dan banyak sumbangannya nyawa. Mereka menegakkan bendera tanpa minta syarat agar anak-cucunya nanti lebih sejahtera dari yang lain. Semua paham adanya janji bersama untuk menggelar kesejahteraan bagi semua. Itu bukan sekadar cita-cita. Kini bendera itu sudah tegak, makin tinggi dan dibawah kibarannya, janji kemerdekaan harus dilunasi untuk semua.

Bayangkan di kampung kecil pinggiran kota, di rumah kayu ala kadarnya. Kabel listriknya berseliweran dipakai gantungan dan aliran listrik lampu kecil. Dibawah sinar lampu seadanya beberapa orang bersila diatas tikar membincangkan rencana perayaaan kemerdekaan di kampungnya. Mereka belum sejahtera dan mereka akan rayakan kemerdekaan !

Tidak pantas rasanya terus menerus merayakan kemerdekaan sambil berbisik memohon maaf bagi mereka yang belum terlindungi, belum tercerdaskan dan belum tersejahterakan. Bangun kesadaran baru bahwa usaha ini sebagai pemenuhan janji. Sebagai janji ia mengikat, bisa mengajak semua ikut melunasinya dan agar semua lebih yakin bahwa janji itu untuk dilunasi.

Perayaan kemerdekaan bukan sekadar pengingat gelora perjuangan. Merayaan kemerdekaan adalah meneguhkan janji.  Biarkan pemilik rumah batu itu menerawang kibaran Merah-Putih di rumahnya sambil senyum membayangkan bahwa dia dan anak-cucunya akan tersejahterakan dan tercerdaskan. Semua bangga jika perayaan Kemerdekaan adalah perayaan lunasnya janji kemerdekaan bagi tiap anak bangsa.


Anies Baswedan
Rektor Universitas Paramadina
@aniesbaswedan

Kamis, 08 Mei 2014

Ulang Tahun Anwar

            Dengan suara malasnya dan sambil menutup kembali badannya dengan selimut anwar kembali melanjutkan tidur indahnya.
            “ya, Bu, lima menit lagi dah soalnya saya masih ngantuk nih.” Jawab Anwar.
            “Ya, Allah, anak ini sudah berapa kali dibilangin cepet bangun, ayahmu udah nunggu tu dari tadi, kan katanya mau pergi jalan-jalan ke Malimbu,” teriak ibunya dari luar.
            Dengan agak sedikit terkejut, Anwar langsung bangun meskipun dengan mata masih tertutup kemudian mengambil handuk menuju ke kamar mandi. Tapi karena dengan mata yang masih tertutup, dia malah nabrak tembok gara-gara dikira pintu kamar mandinya.
            “waduh, sial sekali tembok ini hadang jalan saya, pintunya mana nih,”kata Anwar sambil mulai membuka matanya sedikit demi sedikit.
            Setelah selesai mandi, Anwar kemudian siap pergi jalan-jalan bersama Ayahnya karena sudah di janjikan sejak sebelum selesai semester. Maklum jalan-jalan ini sebagai hadiah bagi Anwar karena bisa memperoleh peringkat pertama di sekolahnya. Meskipun sebenarnya Anwar bisa di bilang agak malas tapi ternyata di balik itu semua, dia mempunyai pengetahuan yang lumayan hebat. Tapi yang jadi penyakitnya sejak dulu adalah dia sangat sulit dibangunkan kalau pagi. Tapi jangan salah, dia kayak gitu karena dia suka begadang untuk mengulang pelajaran yang sudah diberikan sama guru sampai larut malam. Yang bisa dibilang penyakitnya juga adalah anwar rajin shalat malam tetapi karena selesai shalat malam tidur lagi, dia sering kelolosan shalat subuh.
            Ketika semuanya sudah siap, Anwar dan ayahnya siap berangkat menuju Malimbu, tempat wisata yang dianggap paling menyenangkan bagi Anwar. Karena cuma di sana tempat wisata yang Anwar tahu saking tidak pernah sama sekali pergi berwisata. Jadi hari itu sangat spesial bagi Anwar karena hari itu juga merupakan hari ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Anwar  baru kedua kalinya pergi ke Malimbu setelah dulu waktu perpisahan pada saat mau tamat SMP.
            Anwar kemudian meluncur bersama Ayahnya menuju tempat wisata Malimbu dengan perasaan yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Di perjalanan sambil ngobrol bersama Ayahnya dia menyempatkan untuk memotret kegiatan-kegiatan orang-orang yang dilihatnya. Dengan menggunakan hp nokia 7610 atau Hp daun dia memotret apa yang dianggap lucu selama perjalanan menuju tempat wisata. Dia tidak segan-segan menyuruh ayahnya berhenti apabila melihat kejadian-kejadian menarik yang di temui selama perjalanan. Maklum selain hobinya sepak bola dia juga pengen jadi fotografer meskipun hasil jepretannya bisa dibilang apa adanya tapi Anwar merasa bangga dengan hasilnya, bangga dengan hasil karyanya sendiri.
            Di tengah perjalanan Anwar tiba-tiba menyuruh ayahnya berhenti karena melihat sesuatu yang menarik. Ada sesuatu yang sedang dilihat oleh warga sekitar.
            “stop. . . stop. . . stop… “kata Anwar pada ayahnya.
            “Ada apa kok tiba-tiba berhenti di sini, jawab ayahnya heran.
            “sebentar yah, tunggu disini ya, saya mau ke tempat yang banyak orang itu, saya penasaran ada apa disana, “kata Anwar.
            “Yea, sudah, cepet ya soalnya perjalanan masih jauh ni,” jawab ayahnya.
            Ketika anwar sampai ditempat banyak orang itu, alangkah jengkelnya anwar ternyata yang dikerumuni itu adalah orang jual obat sedang menjajakan barangnya.
            “waduh, kirain apaan tadi, ternyata oarng jual obat, sungguh ter...ter…lalu,” kata anwar agak sedikit jengkel.
            Setelah itu dia langsung balik menuju tempat ayahnya menunggu.
            “Ada apa War, kok kusut banget mukanya kayak dompet datang bulan,” Tanya ayahnya sedikit mengejek.
            “Ternyata cuman orang jual obat yah, ndak penting banget,”jawab anwar.
            Oke sudah kita lanjutkan perjalanan,”kata ayahnya.
            Yea,,, yea,,, yea,,, “jawab anwar singkat.
****
            Setelah kira-kira 2 jam perjalanan akhirnya anwar sampai juga ketempat tujuan yaitu pantai Malimbu, pantai yang menurut anwar sangat menarik perhatiannya apalagi ini adalah kali kedua dia menginjakkan kakinya lagi setelah dulu pergi waktu masih SMP.
            Anwar langsung ganti baju tanpa ada rasa lelah karena lama di dalam perjalanan, dia berfikir bahwa di hari ulang tahunnya yang sekarang, dia harus bersenang-senang sepuasnya karena belum tentu dia bakalan balik lagi santai kepantai malimbu. Jadi ini adalah kesempatan untuk melepaskan rasa rindu pada pantai tersebut.
            Anwar kemudian langsung bermain-main dengan ombak yang lumayan bersahabat karena cuacanya juga lagi bagus, jadinya bisa dibilang hari tersebut merupakan hari yang sangat baik untuk pergi santai.
            Begitu sudah merasa puas dengan senang-senangnya, anwar kemudian membeli pop mie untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan karena lamanya bermain-main dengan air. Ayahnya yang sudah lama menunggunya di warung hanya tersenyum melihat kesenangan yang terlihat dari wajah anaknya, dalam hatinya dia berkata, “Alhamdulillah, ternyata anwar sangat senang hari ini, semoga di ulanga tahunnya yg sekarang bisa membawa manfaat bagi dirinya dan orang tuanya, amien, “doa ayahnya sambil memandangi anaknya yang sedang menyantap pop mie dengan lahapnya.
            Setelah kira-kira hampir 4 jam bersenang-senang di pantai Malimbu, tiba waktunya untuk pulang karena anwar udah capek berat. Setelah perlengkapan selesai di bereskan anwar pulang dengan perasaan senang sekaligus capek tapi rasa senangnya bisa mengalahkan rasa capeknya karena untuk pertama kalinya di hari ulang tahunnya bisa pergi santai ke tempat wisata idamannya.


ILMU KALAM II : AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

BAB I
PEMBAHASAN

A.    Ahlussunnah Wal Jama’ah
Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah dalam sejarah merupakan golongan minoritas. Selanjutnya kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis yang  mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Dengan demikian kaum Mu’tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah. Menurut Harun Nasution, mungkin inilah yang menimbulkan istilah Ahlussunah wal Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka sunnah dalam istilah ini berarti Hadis. Dan Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al-Muslimin (umumnya umat islam) dan al-jama’ah al-kasir wa al-sawad al-a’zam (jumlah besar atau khalayak ramai) Harun Nasution_dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah_ menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H.

B.     Al-Asy’ari
1)      Riwayat singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. ketika berusia lebih sari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.

Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli Hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M).  berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’I dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah, Seperti dalam pernyataannya sebagai berikut : 
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yag diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk kepada Allah Swt. Dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.”
          Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy-ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulam Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

2)      Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari

Diantara pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :
a)      Tuhan dan sifat-sifat-Nya
               Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata Al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘Ilm) tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia (anthropomorphisme). Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai muka, mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana (Arsy) dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).
b)     Kebebasan dalam berkehendak (Free Will)
               Perbuatan-perbuatan manusia menurut Al-Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia itu sendiri, sebagaimana pendapat Mu’tazilah, melainkan ada kerjasama dengan Allah Swt. Artinya perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah Swt. namun yang mewujudkan perbuatan itu adalah kerjasama antara Allah dan manusia. Allah Swt. memberikan daya kepada manusia sehingga bisa mewujudkan perbuatan tersebut dan manusia sebagai wadah yang menerima daya tersebut. Kalau dipersentasekan perbuatan manusia itu adalah 90% Allah dan 10% manusia. Istilah yang dipakai Al-Asy’ari untuk perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan ialah al-kasb. Dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya dalam diri manusia tak mempunyai efek.
c)      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Menurut aliran Asy’ariyah, akal itu disebut instrumen pengetahuan dan wahyu disebut sebagai instrumen mengharuskan. Aliran Mu’tazilah menyebutkan bahwa wahyu itu disebut sebagai konfirmasi dan informasi artinya wahyu itu digunakan sebagai penguat apa yang telah disimpulkan oleh akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.

d)     Qadimnya Al-Qur’an
Al-Qur’an, berlainan pula dengan pendapat Mu’tazilah, bagi al-Asy’ari tidaklah diciptakan, sebab kalau di ciptakan, maka sesuai dengan ayat berikut :
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ  
Artinya: 40. Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.
               Untuk menciptakan itu perlu kata Kun, dan untuk terciptanya kun ini perlu pula kata kun yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan ini tak mungkin. Oleh karena itu Al-Qur’an tak mungkin diciptakan.
e)      Melihat Allah (Ru’yatullah)
               Menurut aliarn Asy’ariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat kelak dengan mata kepala. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. Salah satu ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran Asy’ari dalam menopang pendapatnya adalah surat Al-Qiyamah ayat 22-23, sebagai berikut :
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ
4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ 
Artinya : 22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.  23. kepada Tuhannyalah mereka melihat.
             Ayat ini dipahami oleh Asy’ari dengan melihat dengan mata kepala. Kata Nazirah, tidak bermakna I’tibar (memperhatikan) atau Intizar (menunggu) sebab kata-kata tersebut bila dituturkan dengan kata Wajh, mengandung makna melihat dengan kedua mata yang terdapat pada wajah.
f)       Keadilan Tuhan
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak dan tak satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah Ia bersifat Zalim.
g)      Kedudukan orang berdosa
               Terhadap pelaku dosa besar, al-Asy’ari tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar dan tidak kekal di dalam neraka. Tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
            Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan yang Maha berkehendak Mutlak.

C.    AL-MATURIDI

1. Riwayat singkat Al-Maturidi

Abu Mansur Al-Maturidi  dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand,wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahuisecara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.gurunnya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi.ia wafat pada tahun 268 H. Al- Maturidi hidup pada masa khalifah Al- Mutakwil yang memerintah tahun 232-274 /847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantarannya ialah kitab tauhid, ta’wil AL-Qur’an, Makhaz Asy- Syara’i, Al- jadl, Usulfi Ushul ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al- Ushaul Al- khamisah li Abu Muhammad Al- Bahili, Radd Al- Imamah li Al-Ba’ad Ar- Rawafid, dan kitab Radd ala Al- Qaramatah.

2.  Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi

a.              akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinnya, Al- Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal.  Dalam hal ini,ia sama dengan Al- Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ri.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahiui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengethuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam terhadap makhluk ciptaannya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknnya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan Syari’ah hanyalah mengikuti ketetntuan akal mengenai baik dan buruknnya sesuatu.ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknnya sesuatu. Dalam demikian kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al- Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini,Al-Maturidi berpeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuati itu dipandang baik karna perintah syra dan dipandan buruk karena larangan syara. Jadi, yang baik itu karena perintah Allah dan yang buruk itu larangan Allah.
b.             perbutan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adlah ciptaanya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbutan manusia.tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbutan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya Masyah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak tuahan, tetapi ia dapat memilih yang diridainya atau yang tidak diridainya.
c.              kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik dan yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al- Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang- wenang serta kehendaknya semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendaknya berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
d.             sifat Tuhan
Dalam mengenai masalah sifat Tuhan AL-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Al-asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan yang melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula lian dari esensinya.
e.              melihat Tuhan
Al- Maturidi mengatakanbahwa manusia dapat melihat tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lian firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bakwa tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karna tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuk (bila kaifa), kareana keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f.               Kalam Tuhan
Al- Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah bahru (hadis). Al- qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah bahru. Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat denganya (bila kaifa) tidak dapat diketahui, kecuali suatu perantara.
g.              Perbutan Manusia
Menurut Al- Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali atas kehendak Tuhan, dan tudak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendanya sendiri. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat ash-ahalah wa al-ashlah ( yang baik dan yang terbauk  bagi manusia). Setiap perbuatan tuahan yang bersifat mencipta atau kewahiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendakinya.
h.             Pelaku dosa besar
Al- Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum tobat. Hal ini Tuhan telah menjanjikan akan mamberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syrik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syrik tidak akan menyebabkan pelakunnya kekal didalam neraka.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak & Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. Bandung.  CV Pustaka Setia, 2010.
Harun Nasution. Teologi Islam (aliran-aliran : Sejarah Analisa Perbandingan). Jakarta: UI Press, 2012





SIFAT, HAKEKAT, DAN AKTIVITAS KEJIWAAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia yang unggul adalah manusia yang mampu mendefinisikan diri (nafs)-nya dengan baik, sistematis dan konsisten. Manusia dikaruniakan kelebihan oleh Allah untuk membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lain, tetapi dalam hal ini, kelebihan itulah yang bisa mengangkat derajat manusia di sisi Allah, bahkan hal itu juga bisa menjatuhkan derajat manusia lebih rendah dari binatang.
Manusia merupakan makhluk yang berjiwa, kehidupan kejiwaan itu direfleksikan dalam bentuk tingkah laku dan aktivitas manusia. Kegiatan kejiwaan sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh manusia dan manusia mangadakan respon terhadap stimulus yang mengenainya. Jelas sekali bahwa di sini manusia merupakan sasaran utama pendidikan, pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja sifat kejiwaan manusia?
2.      Apa hakikat kejiwaan manusia?
3.      Apa saja aktivitas kejiwaan manusia?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sifat Kejiwaan Manusia
Carl Gustav Jung mengemukakan, bahwa manusia memiliki empat macam fungsi jiwa, yaitu pikiran dan perasaan, keduanya berbentuk rasional. Kemudian penginderaan (sensasi) dan intuisi, keduanya berbentuk irrasional. Rasional bekerja dengan penilaian, pikiran melihat segala sesuatu menurut kriteria benar atau salah dan perasa melihat segala sesuatu menurut kriteria menyenangkan atau tidak menyenangkan. Irrasional tidak memberikan penilaian, tapi semata-mata mendapat pengamatan. Penginderaan mendapat pengamatan dengan sadar indra, sedangkan intuisi mendapat pengamatan secara tidak sadar naluriah.[1]
Berdasarkan pada tipe sikap jiwa tersebut, Menurut Avis M Dry (1961:27:28), Jung menghubungkan ekstrovet dengan perasaan (felling) dan introvert dengan pikiran (thinking).
1.      Kepribadian Ekstrovert
Pada seseorang yang memiliki kepribadian ekstrovet selalu mengikuti apa yang ada di alam (nature) dan perasaan yang ada dalam perencanaanya kemudian segala urusannya dibatasi dengaan tiruan. Sementara introvert cenderung bersikap tenang dan sering menarik diri dari pergaulan. Menurut Moris (1990:455), kepribadian ekstrovert adalah suatu kepribadian yang dimiliki seseorang berdasarkan pengaruh dari hasil orientasi dari luar diri yang dipilihnya sebagai suatu keputusan dan jika ini dijadikan sebagai suatu kebiasaan, maka individu tersebut masuk ke dalam kategori ekstrovert. Jung menjelaskan bahwa ekstrovert adalah sifat terbuka dari energy fisik. Artinya, bahwa kepribadian ekstrovert adalah sesuatu yang menarik minat seseorang terhadap objek (manusia atau benda) di sekelilingnya dan berfungsi sebagai penghubung antara objek-objek tersebut. Sifat ekstrovert sangat dipengaruhi oleh dunia luar dirinya (objektif), pikiran, perasaan, dan tingkah laku sangat tergantung pada lingkungannya. Dengan demikian, tipe ekstrovert ini memiliki sifat yang terbuka, mudah bergaul, sering melakukan hubungan dengan orang lain.[2]
2.      Kepribadian Introvert
Sedangkan introvert, secara etimologi berarti tertutup. Dalam pandangan psikologi kepribadian, orang yang memiliki tipe introvert selalu mengarahkan pandangan pada dirinya sendiri. Artinya, tingkah lakunya ditentukan oleh apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Dunia luar bagi dirinya tidak banyak berarti dalam bertingkah laku dan sangat sedikit beraktivitas dengan lingkungan dan biasanya disebut dengan pendiam dan sukar diselami jiwanya.[3]
Lebih lanjut, Jung dalam Bruno (1989:112) menjelaskan bahwa tipe manusia introvert lebih suka memasuki jiwa imajiner. Artinya, perasaannya sangat halus dan cenderung untuk tidak melahirkan emosi secara mencolok, sensitive terhadap kritik, pemalu, suka menyendiri, dan bersikap tenang. Dengan demikian, tipe kepribadian introvert ini lebih menyenangi membaca buku berjam-jam daripada berbicara dan bergaul dengan orang lain. Disamping itu mereka  memiliki IQ yang tinggi dan sangat teliti. Tipe ini juga banyak diliputi oleh kekhawatiran, pemalu, canggung, dan sukar menyesuaikan diri dan mengekspresikan diri. Sebagai orang yang pemalu dan sukar bergaul maka jiwanya tertutup dan kurang menarik hati orang lain.[4]

B.     Hakikat Kejiwaan Manusia
Dilihat dari segi kejiwaan, agama Islam telah memberikan pencerahan terhadap pola berfikir manusia secara benar tentang makna hidupnya di dunia ini. Melalui agama, manusia memperoleh hudan (petunjuk) tentang siapa dirinya; tujuan, tugas hidupnya; karakteristik (sifat-sifat) dirinya; dan keterkaitannya dengan makhluk lain (alam semesta). Aspek-aspek kejiwaan (psikis) yang berkembnag dalam diri seorang muslim, sebagai dampak dari agama yang dianutnya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Pemahaman tentang Jati Diri sebagai Makhluk
Orang Islam menyadari bahwa keberadaannya di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau hasil proses evolusi, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa, Allah Rabbul ’alamiin. Dengan demikian, dia menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan (makhluk) Allah, yang dalam hidupnya mempunyai ketergantungan kepada-Nya. Sebagai makhluk, dia berada dalam posisi lemah (terbatas), dalam arti tidak bisa menolak, menentang atau merekayasa terhadap apa yang sudah dipastikan-Nya (seperti kelahiran dan kematian).
2.      Pemahaman tentang Tujuan Hidup
Sebagai mana telah dikemukakan di atas, bahwa manusia lahir ke dunia ini bukan atas kehendak sendiri, tetapi semata-mata iaradah (kehendak) Allah SWT. Pada saat manusia dilahirkan ke alam fana ini, dia tidak tau apa-apa (laata’lamuuna syaia). Agar manusia hidupnya tidak sesat, maka agama memberikan petunjuk kepada manusia tentang apa sebenarnya tujuan hidup di dunia ini. Dalam hal ini, Islam menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini, tiada lain adalah “mardlaatillaah” (ridha Allah, dicintai Allah). Untuk mencapai tujuan ini adalah dengan bertaqwa, atau beriman dan beramal shalih (beribadah kepada Allah).
3.      Pemahaman tentang Tugas dan Fungsi Hidup
Orang Islam memahami bahwa hidup di dunia ini mempunyai tugas yang jelas, yaitu beribadah kepada Allah. Tugas ibadah ini sebagaimana tercantum dalam surat Al-Dzariyat ayat 56, yaitu:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Pelaksanaan tugas ibadah ini amat terkait dengan fungsi hidup manusia itu di dunia ini, yaitu sebagai “hamba Allah” (‘abdullah) dan “khlaifah Allah” (khalifatullah).[5]
4.      Pemahaman Bahwa Hidup di Dunia ini adalah Ujian/Cobaan
Orang Islam yang benar-benar beriman memahami bahwa romantikan kehidupan di dunia ini berfluktuasi antara khairan dan yusran (suasana kehidupan yang menyenangkan) dengan syarron atau ‘usran (suasana kehidupan yang tidak menyenangkan), dan mampu mensikapinya dengan benar (pada saat mendapatkan anugrah, dia bersyukur, dan pada saat mendapat musibah dia bersabar).
Dalam surat al-Insyirah ayat 5, Allah SWT berfirman:
¨bÎ*sù yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç ÇÎÈ
“Maka sesungguhnya berserta kesulitan itu kemudahan”
5.      Pemahaman tentang Potensi Ruhaniah Dirinya, dan Kiat-kiat Pengelolaannya
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk berakhlak baik (taqwa) atau buruk (fujur). Potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia, karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu. Apabila potensi taqwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka perilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan, karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif. Agar hawa nafsu itu terkendalikan , maka potensi taqwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini.
6.      Kesadaran untuk Mengendalikan Diri
Dengan menganut agama Islam, seseorang akan memiliki kesadaran untuk mengendalikan diri dari perbuatan yang diharamkan Allah. Kesadaran ini berkembang atas dasar keyakinannya atas ayat “wanahannafsa ‘anil hawa fainnaljannata hiyal ma’wa” (dan bagi orang yang mampu mengendalikan dirinya dari dorongan hawa nafsu maka surgalah tempat kembalinya).
7.      Mempunyai Komitmen yang kuat untuk Mewujudkan dirinya sebagai Insan yang Bermakna bagi Kesejahteraan Ummat Manusia.
Komitmen ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW, yaitu “Khairunnas anfa’uhum linnas” (sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain), dan Al-Qur’an, surat Al-Anbiya ayat 107:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
Berdasarkan hadis dan ayat tersebut, seorang muslim dilarang untuk bersifat egois atau selfish (hidup mementingkan diri sendiri), tetapi sebaliknya dia harus bersifat ta’awun bilma’ruf, yaitu memberikan pertolongan kepada orang lain atau memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan hidup orang banyak, baik melalui ilmu, harta kekayaan, maupun jiwa raga.
8.      Memiliki Ketenangan Bathin
Orang islam yang telah memiliki keimanan yang kokohterhadap Allah SWT dan beristiqomah dalam mengamalkan perintah-Nya, maka hidupnyaberada dalam suasana bathin, kejiwaan, atau psikologis yang tenang, tentram atau nyaman, dan mampu mengatasi perasaan gelisah, cemas, atau stress dan frustasi pada saat mengalami masalah atau musibah.[6]

C.    Aktivitas Kejiwaan Manusia
Diri atau nafs memiliki pemaknaan kata yang cukup banyak, menurut Mubarok, (2002:27) nafs memiliki arti (1) jiwa, (2) dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, (3) sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk, (4) sesuatu di dalam diri manusia yang menggerakkan tingkah laku, dan (5) sisi dalam manusia yang dicipta secara sempurna di mana di dalamnya terkandung potensi baik dan buruk. Dari sekian pengertian tersebut dapat digaris bawahi nafs (jiwa) memiliki dua kecenderungan, yaitu (1) baik dan buruk, (2) dorongan dan tingkah laku. Keduanya adalah indikasi manusia yang tidak selamanya baik dan selamanya buruk.[7]
Islam sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan kepada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memeilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan, tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya. Di samping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamannya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya, apabila jiwanya terkotori oleh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut criteria Allah SWT.
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
jalan kepasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya” (QS. 91:9-10).[8]
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perlaku keseharian manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah, lingkungan, maupun dirinya. Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Allah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan menghasilkan kemungkaran dan kerusakan.[9]
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, di sana terdapat banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbankan. Sedangkan pengotoran jiwa seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menuras tenaga. Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Manusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya. Sebenarnya Islam memilki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hla prinsip (ad-dkaruriyat al khamsah); Din, jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.[10]
Dalam literatur lain disebutkan bahwa aktivitas kejiwaan manusia itu adalah antara lain sebagai berikut:
1.      Pengamatan
Pengamatan merupakan proses belajar mengenal sesuatu yang ada di sekitar kita dengan menggunakan alat indera kita. Dengan kehendak-Nya, Allah membekali manusia dan hewan dengan segala keperluan dan fungsi yang mereka perlukan untuk tetap bisa melestarikan hidupnya. Panca indera dimiliki baik oleh manusia maupun hewan. Namun Allah menganugerahi manusia dengan suatu fungsi lainnya yang sangat penting dan membedakannya dari hewan-hewan yang lain, yaitu akal budi. Dengan akal budi, manusia mampu meningkatkan daya tanggapnya tentang hal-hal yang bisa diindera. Dengan akal budi pulalah manusia mampu menjadikan keindahan penciptaan alam semesta seluruhnya dan penciptaan manusia sendiri, sebagai bukti adanya sang pencipta.
2.      Tanggapan
Tanggapan sebagai salah satu fungsi jiwa yang pokok, dapat diartikan sebagai gambaran ingatan dari pengamatan, ketika objek yang diamati tidak lagi berada dalam ruang dan waktu pengamatan. Jadi, jika proses pengamatan sudah berhenti, dan hanya tinggal kesan-kesannya saja, peristiwa demikian ini disebut tanggapan.
Proses tanggapan:
-          Penghayatan (terutama pengamatan) itu meninggalkan bekas atau kesan gambaran di dalam jiwa kita.
-          Gambaran (bekas atau kesan) yang ditinggalkan oleh penghayatan itu disebut proses pengiring.
-          Gambaran penghayatan itu masih dapat kita bayangkan di dalam jiwa kita.
-          Sebagai akibat dari penghayatan itu, tinggallah di dalam jiwa kita suatu kesan yang mengingatkan kita pada pengamatan tadi. Gambaran tersebut dalam psikologi disebut tanggapan.
3.      Fantasi
Fantasi adalah daya jiwa untuk membentuk atau mencipta tanggapan-tanggapan baru dengan bantuan tanggapan yang sudah ada. Fantasi sebagai kemampuan jiwa manusia dapat terjadi secara:
-          Secara disadari, yaitu apabila individu betul-betul menyadari akan menyadarinya. Hal ini banyak ditemukan pada seorang pelukis, pemahat, dll.
-          Secara tidak disadari, yaitu bila individu tidak secara sadar telah dituntut oleh fantasinya. Keadaan semacam ini banyak dijumpai pada anak-anak.

4.      Ingatan
Ingatan merupakan proses langsung dalam mengangkat kembali informasi yang pernah diterima dalam kesadaran. Ingatan adalah suatu daya jiwa kita yang dapat menerima, menyimpan dan mereproduksikan kembali pengertian-pengertian atau tanggapan-tanggapan kita.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ingatan:
a)      Sifat perseorangan
b)      Keadaan di luar jiwa kita (alam sekitar atau lingkungan, keadaan jasmani)
c)      Keadaan jiwa kita (kemauan, perasaan)
d)     Umur kita.
Macam-macam ingatan:
a)      Daya ingatan mekanis, artinya daya ingatan itu hanya untuk kesan-kesan penginderaan.
b)      Daya ingatan logis, artinya daya ingatan itu hanya untuk kesan-kesan yang mengandung pengertian.
5.      Berfikir
Berfikir merupakan salah satu pilihan manusia untuk mencoba memperoleh informasi. Dalam berfikir, seseorang menghubungkan pengertian satu dengan pengertian liannya dalam rangka mendapatkan pemecahan persoalan yang dihadapi. Dalam pemecahan persoalan, individu membeda-bedakan, mempersatukan dan berusaha menjawab pertanyaan mengapa, untuk apa, bagaimana, dimana dan lain sebagainya.
6.      Berfikir asosiatif
Secara sederhana, berfikir asosiatif adalah berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan yang lainnya. Berfikir asosiatif merupakan proses pembentukan hubungan antara rangsangan dengan respond.
7.      Inteligensi
Menurut W. Stern, intelegensi ialah kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan cepat dalam suatu situasi yang baru. Dan menurut V. Hees intelegensi adalah sifat kecerdasan jiwa.
8.      Perasaan
Perasaan merupakan gejala psikis yang bersifat subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala mengenal dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Perasaan merupakan suatu keadaan kerohanian atau peristiwa kejjiwaan yang dialami dengan senang ataupun tidak senang dalam hubungan dengan peristiwa mengenal dan bersifat subjektif.
9.      Kemauan atau kehendak
Yaitu fungsi jiwa untuk dapat mencapai sesuatu dan merupakan kekuatan dari dalam
10.  Gejala jiwa campuran
Yang termasuk gejala jiwa campuran yaitu, perhatian, kelelahan dan sugesti/saran.[11]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang berjiwa, kehidupan kejiwaan itu direfleksikan dalam bentuk tingkah laku dan aktivitas manusia. Kegiatan kejiwaan sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh manusia dan manusia mangadakan respon terhadap stimulus yang mengenainya. Dilihat dari segi kejiwaan, agama Islam telah memberikan pencerahan terhadap pola berfikir manusia secara benar tentang makna hidupnya di dunia ini.



DAFTAR PUSTAKA

Rafy Sapuri, Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005



[1] Rafy Sapuri, Psikologi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 151-152
[2] Ibid, h. 152-153
[3] Ibid, h. 154
[4] Ibid, h. 154-155
[5] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005) h. 15-18
[6] Ibid, h. 19-22
[7] Rafy Sapuri, Psikologi…… h. 43
[9] Ibid,.
[10] Ibid,.

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.