BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia yang unggul adalah manusia yang mampu mendefinisikan diri (nafs)-nya dengan baik, sistematis dan
konsisten. Manusia dikaruniakan kelebihan oleh Allah untuk membedakannya dengan
makhluk-makhluk yang lain, tetapi dalam hal ini, kelebihan itulah yang bisa
mengangkat derajat manusia di sisi Allah, bahkan hal itu juga bisa menjatuhkan
derajat manusia lebih rendah dari binatang.
Manusia merupakan makhluk yang berjiwa, kehidupan kejiwaan itu
direfleksikan dalam bentuk tingkah laku dan aktivitas manusia. Kegiatan
kejiwaan sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh manusia dan manusia
mangadakan respon terhadap stimulus yang mengenainya. Jelas sekali bahwa di
sini manusia merupakan sasaran utama pendidikan, pendidikan bermaksud membantu
peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
saja sifat kejiwaan manusia?
2.
Apa
hakikat kejiwaan manusia?
3.
Apa
saja aktivitas kejiwaan manusia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sifat Kejiwaan Manusia
Carl Gustav Jung mengemukakan, bahwa manusia memiliki empat macam
fungsi jiwa, yaitu pikiran dan perasaan, keduanya berbentuk rasional. Kemudian
penginderaan (sensasi) dan intuisi, keduanya berbentuk irrasional. Rasional
bekerja dengan penilaian, pikiran melihat segala sesuatu menurut kriteria benar
atau salah dan perasa melihat segala sesuatu menurut kriteria menyenangkan atau
tidak menyenangkan. Irrasional tidak memberikan penilaian, tapi semata-mata
mendapat pengamatan. Penginderaan mendapat pengamatan dengan sadar indra,
sedangkan intuisi mendapat pengamatan secara tidak sadar naluriah.[1]
Berdasarkan pada tipe sikap jiwa tersebut, Menurut Avis M Dry
(1961:27:28), Jung menghubungkan ekstrovet dengan perasaan (felling) dan introvert dengan pikiran (thinking).
1.
Kepribadian Ekstrovert
Pada seseorang
yang memiliki kepribadian ekstrovet selalu mengikuti apa yang ada di alam (nature) dan perasaan yang ada dalam
perencanaanya kemudian segala urusannya dibatasi dengaan tiruan. Sementara
introvert cenderung bersikap tenang dan sering menarik diri dari
pergaulan. Menurut Moris (1990:455), kepribadian ekstrovert adalah suatu
kepribadian yang dimiliki seseorang berdasarkan pengaruh dari hasil orientasi
dari luar diri yang dipilihnya sebagai suatu keputusan dan jika ini dijadikan
sebagai suatu kebiasaan, maka individu tersebut masuk ke dalam kategori
ekstrovert. Jung menjelaskan bahwa ekstrovert adalah sifat terbuka dari energy
fisik. Artinya, bahwa kepribadian ekstrovert adalah sesuatu yang menarik minat
seseorang terhadap objek (manusia atau benda) di sekelilingnya dan berfungsi
sebagai penghubung antara objek-objek tersebut. Sifat ekstrovert sangat
dipengaruhi oleh dunia luar dirinya (objektif), pikiran, perasaan, dan tingkah
laku sangat tergantung pada lingkungannya. Dengan demikian, tipe ekstrovert ini
memiliki sifat yang terbuka, mudah bergaul, sering melakukan hubungan dengan
orang lain.[2]
2.
Kepribadian Introvert
Sedangkan
introvert, secara etimologi berarti tertutup. Dalam pandangan psikologi
kepribadian, orang yang memiliki tipe introvert selalu mengarahkan pandangan
pada dirinya sendiri. Artinya, tingkah lakunya ditentukan oleh apa yang terjadi
pada dirinya sendiri. Dunia luar bagi dirinya tidak banyak berarti dalam
bertingkah laku dan sangat sedikit beraktivitas dengan lingkungan dan biasanya
disebut dengan pendiam dan sukar diselami jiwanya.[3]
Lebih lanjut,
Jung dalam Bruno (1989:112) menjelaskan bahwa tipe manusia introvert lebih suka
memasuki jiwa imajiner. Artinya, perasaannya sangat halus dan cenderung untuk
tidak melahirkan emosi secara mencolok, sensitive terhadap kritik, pemalu, suka
menyendiri, dan bersikap tenang. Dengan demikian, tipe kepribadian introvert
ini lebih menyenangi membaca buku berjam-jam daripada berbicara dan bergaul
dengan orang lain. Disamping itu mereka
memiliki IQ yang tinggi dan sangat teliti. Tipe ini juga banyak diliputi
oleh kekhawatiran, pemalu, canggung, dan sukar menyesuaikan diri dan
mengekspresikan diri. Sebagai orang yang pemalu dan sukar bergaul maka jiwanya
tertutup dan kurang menarik hati orang lain.[4]
B.
Hakikat Kejiwaan Manusia
Dilihat dari segi kejiwaan, agama Islam telah memberikan pencerahan
terhadap pola berfikir manusia secara benar tentang makna hidupnya di dunia
ini. Melalui agama, manusia memperoleh hudan
(petunjuk) tentang siapa dirinya; tujuan, tugas hidupnya; karakteristik
(sifat-sifat) dirinya; dan keterkaitannya dengan makhluk lain (alam semesta).
Aspek-aspek kejiwaan (psikis) yang berkembnag dalam diri seorang muslim,
sebagai dampak dari agama yang dianutnya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pemahaman tentang Jati Diri sebagai Makhluk
Orang Islam
menyadari bahwa keberadaannya di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau hasil
proses evolusi, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa, Allah Rabbul ’alamiin.
Dengan demikian, dia menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan (makhluk) Allah,
yang dalam hidupnya mempunyai ketergantungan kepada-Nya. Sebagai makhluk, dia
berada dalam posisi lemah (terbatas), dalam arti tidak bisa menolak, menentang
atau merekayasa terhadap apa yang sudah dipastikan-Nya (seperti kelahiran dan
kematian).
2.
Pemahaman tentang Tujuan Hidup
Sebagai mana
telah dikemukakan di atas, bahwa manusia lahir ke dunia ini bukan atas kehendak
sendiri, tetapi semata-mata iaradah (kehendak) Allah SWT. Pada saat manusia
dilahirkan ke alam fana ini, dia tidak tau apa-apa (laata’lamuuna syaia). Agar manusia hidupnya tidak sesat, maka
agama memberikan petunjuk kepada manusia tentang apa sebenarnya tujuan hidup di
dunia ini. Dalam hal ini, Islam menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia di dunia
ini, tiada lain adalah “mardlaatillaah” (ridha
Allah, dicintai Allah). Untuk mencapai tujuan ini adalah dengan bertaqwa, atau
beriman dan beramal shalih (beribadah kepada Allah).
3.
Pemahaman tentang Tugas dan Fungsi Hidup
Orang Islam
memahami bahwa hidup di dunia ini mempunyai tugas yang jelas, yaitu beribadah
kepada Allah. Tugas ibadah ini sebagaimana tercantum dalam surat Al-Dzariyat
ayat 56, yaitu:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.”
Pelaksanaan
tugas ibadah ini amat terkait dengan fungsi hidup manusia itu di dunia ini,
yaitu sebagai “hamba Allah” (‘abdullah)
dan “khlaifah Allah” (khalifatullah).[5]
4.
Pemahaman Bahwa Hidup di Dunia ini adalah Ujian/Cobaan
Orang Islam
yang benar-benar beriman memahami bahwa romantikan kehidupan di dunia ini
berfluktuasi antara khairan dan yusran (suasana kehidupan yang
menyenangkan) dengan syarron atau ‘usran (suasana kehidupan yang tidak
menyenangkan), dan mampu mensikapinya dengan benar (pada saat mendapatkan
anugrah, dia bersyukur, dan pada saat mendapat musibah dia bersabar).
Dalam surat
al-Insyirah ayat 5, Allah SWT berfirman:
¨bÎ*sù yìtB Îô£ãèø9$# #·ô£ç ÇÎÈ
“Maka sesungguhnya berserta kesulitan itu kemudahan”
5.
Pemahaman tentang Potensi Ruhaniah Dirinya, dan Kiat-kiat
Pengelolaannya
Agama
memberikan penjelasan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk
berakhlak baik (taqwa) atau buruk (fujur). Potensi fujur akan senantiasa eksis
dalam diri manusia, karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa
nafsu. Apabila potensi taqwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan
(melalui pendidikan), maka perilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda
dengan hewan, karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif
atau implusif. Agar hawa nafsu itu terkendalikan , maka potensi taqwa itu harus
dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini.
6.
Kesadaran untuk Mengendalikan Diri
Dengan menganut
agama Islam, seseorang akan memiliki kesadaran untuk mengendalikan diri dari
perbuatan yang diharamkan Allah. Kesadaran ini berkembang atas dasar
keyakinannya atas ayat “wanahannafsa
‘anil hawa fainnaljannata hiyal ma’wa” (dan bagi orang yang mampu
mengendalikan dirinya dari dorongan hawa nafsu maka surgalah tempat kembalinya).
7.
Mempunyai Komitmen yang kuat untuk Mewujudkan dirinya sebagai Insan
yang Bermakna bagi Kesejahteraan Ummat Manusia.
Komitmen ini
didasarkan pada hadis Rasulullah SAW, yaitu “Khairunnas
anfa’uhum linnas” (sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan
manfaat bagi orang lain), dan Al-Qur’an, surat Al-Anbiya ayat 107:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau kecuali untuk menjadi rahmat
bagi seluruh alam.”
Berdasarkan
hadis dan ayat tersebut, seorang muslim dilarang untuk bersifat egois atau selfish (hidup mementingkan diri sendiri), tetapi sebaliknya dia
harus bersifat ta’awun bilma’ruf,
yaitu memberikan pertolongan kepada orang lain atau memberikan kontribusi nyata
terhadap kesejahteraan hidup orang banyak, baik melalui ilmu, harta kekayaan,
maupun jiwa raga.
8.
Memiliki Ketenangan Bathin
Orang islam
yang telah memiliki keimanan yang kokohterhadap Allah SWT dan beristiqomah
dalam mengamalkan perintah-Nya, maka hidupnyaberada dalam suasana bathin,
kejiwaan, atau psikologis yang tenang, tentram atau nyaman, dan mampu mengatasi
perasaan gelisah, cemas, atau stress dan frustasi pada saat mengalami masalah
atau musibah.[6]
C.
Aktivitas Kejiwaan Manusia
Diri atau nafs memiliki
pemaknaan kata yang cukup banyak, menurut Mubarok, (2002:27) nafs memiliki arti (1) jiwa, (2)
dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, (3) sesuatu yang melahirkan
sifat tercela dan perilaku buruk, (4) sesuatu di dalam diri manusia yang menggerakkan
tingkah laku, dan (5) sisi dalam manusia yang dicipta secara sempurna di mana
di dalamnya terkandung potensi baik dan buruk. Dari sekian pengertian tersebut
dapat digaris bawahi nafs (jiwa)
memiliki dua kecenderungan, yaitu (1) baik dan buruk, (2) dorongan dan tingkah
laku. Keduanya adalah indikasi manusia yang tidak selamanya baik dan selamanya
buruk.[7]
Islam sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan kepada manusia agar
ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memeilih dan menciptakan lingkungan
yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan, tazkiyah atau
pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa
mengotori jiwanya. Di samping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan
ajaran Islam serta peningkatan pengalamannya. Evaluasi diri dan introspeksi
harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa.
Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia
termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya, apabila
jiwanya terkotori oleh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk
orang yang merugi menurut criteria Allah SWT.
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
“Dan demi jiwa
dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
jalan kepasikan
dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa
itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya” (QS.
91:9-10).[8]
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya
masing-masing perlaku keseharian manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah,
lingkungan, maupun dirinya. Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci
pula, mencintai Allah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Sedangkan jiwa yang kotor akan menghasilkan kemungkaran dan kerusakan.[9]
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan
tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas.
Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung,
di sana terdapat banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbankan. Sedangkan
pengotoran jiwa seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan,
ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menuras tenaga. Tazkiyah jiwa ini
menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi
dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan
signifikan. Manusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memilki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan
tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan
merusak lima hla prinsip (ad-dkaruriyat al khamsah); Din, jiwa manusia, harta,
generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan
bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.[10]
Dalam literatur lain disebutkan bahwa aktivitas kejiwaan manusia
itu adalah antara lain sebagai berikut:
1.
Pengamatan
Pengamatan merupakan
proses belajar mengenal sesuatu yang ada di sekitar kita dengan menggunakan
alat indera kita. Dengan kehendak-Nya, Allah membekali manusia dan hewan dengan
segala keperluan dan fungsi yang mereka perlukan untuk tetap bisa melestarikan
hidupnya. Panca indera dimiliki baik oleh manusia maupun hewan. Namun Allah
menganugerahi manusia dengan suatu fungsi lainnya yang sangat penting dan
membedakannya dari hewan-hewan yang lain, yaitu akal budi. Dengan akal budi,
manusia mampu meningkatkan daya tanggapnya tentang hal-hal yang bisa diindera.
Dengan akal budi pulalah manusia mampu menjadikan keindahan penciptaan alam
semesta seluruhnya dan penciptaan manusia sendiri, sebagai bukti adanya sang
pencipta.
2.
Tanggapan
Tanggapan
sebagai salah satu fungsi jiwa yang pokok, dapat diartikan sebagai gambaran
ingatan dari pengamatan, ketika objek yang diamati tidak lagi berada dalam
ruang dan waktu pengamatan. Jadi, jika proses pengamatan sudah berhenti, dan
hanya tinggal kesan-kesannya saja, peristiwa demikian ini disebut tanggapan.
Proses
tanggapan:
-
Penghayatan
(terutama pengamatan) itu meninggalkan bekas atau kesan gambaran di dalam jiwa
kita.
-
Gambaran
(bekas atau kesan) yang ditinggalkan oleh penghayatan itu disebut proses
pengiring.
-
Gambaran
penghayatan itu masih dapat kita bayangkan di dalam jiwa kita.
-
Sebagai
akibat dari penghayatan itu, tinggallah di dalam jiwa kita suatu kesan yang
mengingatkan kita pada pengamatan tadi. Gambaran tersebut dalam psikologi
disebut tanggapan.
3.
Fantasi
Fantasi adalah
daya jiwa untuk membentuk atau mencipta tanggapan-tanggapan baru dengan bantuan
tanggapan yang sudah ada. Fantasi sebagai kemampuan jiwa manusia dapat terjadi
secara:
-
Secara
disadari, yaitu apabila individu betul-betul menyadari akan menyadarinya. Hal
ini banyak ditemukan pada seorang pelukis, pemahat, dll.
-
Secara
tidak disadari, yaitu bila individu tidak secara sadar telah dituntut oleh
fantasinya. Keadaan semacam ini banyak dijumpai pada anak-anak.
4.
Ingatan
Ingatan
merupakan proses langsung dalam mengangkat kembali informasi yang pernah
diterima dalam kesadaran. Ingatan adalah suatu daya jiwa kita yang dapat
menerima, menyimpan dan mereproduksikan kembali pengertian-pengertian atau
tanggapan-tanggapan kita.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi ingatan:
a)
Sifat
perseorangan
b)
Keadaan
di luar jiwa kita (alam sekitar atau lingkungan, keadaan jasmani)
c)
Keadaan
jiwa kita (kemauan, perasaan)
d)
Umur
kita.
Macam-macam ingatan:
a)
Daya
ingatan mekanis, artinya daya ingatan itu hanya untuk kesan-kesan penginderaan.
b)
Daya
ingatan logis, artinya daya ingatan itu hanya untuk kesan-kesan yang mengandung
pengertian.
5.
Berfikir
Berfikir
merupakan salah satu pilihan manusia untuk mencoba memperoleh informasi. Dalam
berfikir, seseorang menghubungkan pengertian satu dengan pengertian liannya
dalam rangka mendapatkan pemecahan persoalan yang dihadapi. Dalam pemecahan
persoalan, individu membeda-bedakan, mempersatukan dan berusaha menjawab
pertanyaan mengapa, untuk apa, bagaimana, dimana dan lain sebagainya.
6.
Berfikir asosiatif
Secara
sederhana, berfikir asosiatif adalah berfikir dengan cara mengasosiasikan
sesuatu dengan yang lainnya. Berfikir asosiatif merupakan proses pembentukan
hubungan antara rangsangan dengan respond.
7.
Inteligensi
Menurut W.
Stern, intelegensi ialah kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan
cepat dan cepat dalam suatu situasi yang baru. Dan menurut V. Hees intelegensi
adalah sifat kecerdasan jiwa.
8.
Perasaan
Perasaan
merupakan gejala psikis yang bersifat subjektif yang umumnya berhubungan dengan
gejala mengenal dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam
berbagai taraf. Perasaan merupakan suatu keadaan kerohanian atau peristiwa
kejjiwaan yang dialami dengan senang ataupun tidak senang dalam hubungan dengan
peristiwa mengenal dan bersifat subjektif.
9.
Kemauan atau kehendak
Yaitu fungsi
jiwa untuk dapat mencapai sesuatu dan merupakan kekuatan dari dalam
10.
Gejala jiwa campuran
Yang termasuk gejala jiwa campuran
yaitu, perhatian, kelelahan dan sugesti/saran.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang berjiwa, kehidupan kejiwaan itu
direfleksikan dalam bentuk tingkah laku dan aktivitas manusia. Kegiatan
kejiwaan sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh manusia dan manusia
mangadakan respon terhadap stimulus yang mengenainya. Dilihat
dari segi kejiwaan, agama Islam telah memberikan pencerahan terhadap pola
berfikir manusia secara benar tentang makna hidupnya di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rafy Sapuri, Psikologi Islam. Jakarta:
Rajawali Pers, 2009
Syamsu Yusuf, Psikologi
Belajar Agama. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2005
[1]
Rafy Sapuri, Psikologi Islam (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009) h. 151-152
[2]
Ibid, h. 152-153
[3]
Ibid, h. 154
[4]
Ibid, h. 154-155
[5]
Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2005) h. 15-18
[6]
Ibid, h. 19-22
[7]
Rafy Sapuri, Psikologi…… h. 43
[8] http://aqur291264-keimanan.blogspot.com/2011/05/dimensi-jiwa-manusia-dalam-perspektif.html?m=1
(diakses pada tgl 29 April 2013)
[9]
Ibid,.
[10]
Ibid,.
[11] http://zahratussaadah.wordpress.com/2012/03/16/sifat-hakikat-dan-aktivitas-kejiwaan-manusia/ (diakses pada tgl 2 Mei
2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar