“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Kamis, 08 Mei 2014

SIFAT, HAKEKAT, DAN AKTIVITAS KEJIWAAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia yang unggul adalah manusia yang mampu mendefinisikan diri (nafs)-nya dengan baik, sistematis dan konsisten. Manusia dikaruniakan kelebihan oleh Allah untuk membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lain, tetapi dalam hal ini, kelebihan itulah yang bisa mengangkat derajat manusia di sisi Allah, bahkan hal itu juga bisa menjatuhkan derajat manusia lebih rendah dari binatang.
Manusia merupakan makhluk yang berjiwa, kehidupan kejiwaan itu direfleksikan dalam bentuk tingkah laku dan aktivitas manusia. Kegiatan kejiwaan sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh manusia dan manusia mangadakan respon terhadap stimulus yang mengenainya. Jelas sekali bahwa di sini manusia merupakan sasaran utama pendidikan, pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja sifat kejiwaan manusia?
2.      Apa hakikat kejiwaan manusia?
3.      Apa saja aktivitas kejiwaan manusia?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sifat Kejiwaan Manusia
Carl Gustav Jung mengemukakan, bahwa manusia memiliki empat macam fungsi jiwa, yaitu pikiran dan perasaan, keduanya berbentuk rasional. Kemudian penginderaan (sensasi) dan intuisi, keduanya berbentuk irrasional. Rasional bekerja dengan penilaian, pikiran melihat segala sesuatu menurut kriteria benar atau salah dan perasa melihat segala sesuatu menurut kriteria menyenangkan atau tidak menyenangkan. Irrasional tidak memberikan penilaian, tapi semata-mata mendapat pengamatan. Penginderaan mendapat pengamatan dengan sadar indra, sedangkan intuisi mendapat pengamatan secara tidak sadar naluriah.[1]
Berdasarkan pada tipe sikap jiwa tersebut, Menurut Avis M Dry (1961:27:28), Jung menghubungkan ekstrovet dengan perasaan (felling) dan introvert dengan pikiran (thinking).
1.      Kepribadian Ekstrovert
Pada seseorang yang memiliki kepribadian ekstrovet selalu mengikuti apa yang ada di alam (nature) dan perasaan yang ada dalam perencanaanya kemudian segala urusannya dibatasi dengaan tiruan. Sementara introvert cenderung bersikap tenang dan sering menarik diri dari pergaulan. Menurut Moris (1990:455), kepribadian ekstrovert adalah suatu kepribadian yang dimiliki seseorang berdasarkan pengaruh dari hasil orientasi dari luar diri yang dipilihnya sebagai suatu keputusan dan jika ini dijadikan sebagai suatu kebiasaan, maka individu tersebut masuk ke dalam kategori ekstrovert. Jung menjelaskan bahwa ekstrovert adalah sifat terbuka dari energy fisik. Artinya, bahwa kepribadian ekstrovert adalah sesuatu yang menarik minat seseorang terhadap objek (manusia atau benda) di sekelilingnya dan berfungsi sebagai penghubung antara objek-objek tersebut. Sifat ekstrovert sangat dipengaruhi oleh dunia luar dirinya (objektif), pikiran, perasaan, dan tingkah laku sangat tergantung pada lingkungannya. Dengan demikian, tipe ekstrovert ini memiliki sifat yang terbuka, mudah bergaul, sering melakukan hubungan dengan orang lain.[2]
2.      Kepribadian Introvert
Sedangkan introvert, secara etimologi berarti tertutup. Dalam pandangan psikologi kepribadian, orang yang memiliki tipe introvert selalu mengarahkan pandangan pada dirinya sendiri. Artinya, tingkah lakunya ditentukan oleh apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Dunia luar bagi dirinya tidak banyak berarti dalam bertingkah laku dan sangat sedikit beraktivitas dengan lingkungan dan biasanya disebut dengan pendiam dan sukar diselami jiwanya.[3]
Lebih lanjut, Jung dalam Bruno (1989:112) menjelaskan bahwa tipe manusia introvert lebih suka memasuki jiwa imajiner. Artinya, perasaannya sangat halus dan cenderung untuk tidak melahirkan emosi secara mencolok, sensitive terhadap kritik, pemalu, suka menyendiri, dan bersikap tenang. Dengan demikian, tipe kepribadian introvert ini lebih menyenangi membaca buku berjam-jam daripada berbicara dan bergaul dengan orang lain. Disamping itu mereka  memiliki IQ yang tinggi dan sangat teliti. Tipe ini juga banyak diliputi oleh kekhawatiran, pemalu, canggung, dan sukar menyesuaikan diri dan mengekspresikan diri. Sebagai orang yang pemalu dan sukar bergaul maka jiwanya tertutup dan kurang menarik hati orang lain.[4]

B.     Hakikat Kejiwaan Manusia
Dilihat dari segi kejiwaan, agama Islam telah memberikan pencerahan terhadap pola berfikir manusia secara benar tentang makna hidupnya di dunia ini. Melalui agama, manusia memperoleh hudan (petunjuk) tentang siapa dirinya; tujuan, tugas hidupnya; karakteristik (sifat-sifat) dirinya; dan keterkaitannya dengan makhluk lain (alam semesta). Aspek-aspek kejiwaan (psikis) yang berkembnag dalam diri seorang muslim, sebagai dampak dari agama yang dianutnya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Pemahaman tentang Jati Diri sebagai Makhluk
Orang Islam menyadari bahwa keberadaannya di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau hasil proses evolusi, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa, Allah Rabbul ’alamiin. Dengan demikian, dia menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan (makhluk) Allah, yang dalam hidupnya mempunyai ketergantungan kepada-Nya. Sebagai makhluk, dia berada dalam posisi lemah (terbatas), dalam arti tidak bisa menolak, menentang atau merekayasa terhadap apa yang sudah dipastikan-Nya (seperti kelahiran dan kematian).
2.      Pemahaman tentang Tujuan Hidup
Sebagai mana telah dikemukakan di atas, bahwa manusia lahir ke dunia ini bukan atas kehendak sendiri, tetapi semata-mata iaradah (kehendak) Allah SWT. Pada saat manusia dilahirkan ke alam fana ini, dia tidak tau apa-apa (laata’lamuuna syaia). Agar manusia hidupnya tidak sesat, maka agama memberikan petunjuk kepada manusia tentang apa sebenarnya tujuan hidup di dunia ini. Dalam hal ini, Islam menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini, tiada lain adalah “mardlaatillaah” (ridha Allah, dicintai Allah). Untuk mencapai tujuan ini adalah dengan bertaqwa, atau beriman dan beramal shalih (beribadah kepada Allah).
3.      Pemahaman tentang Tugas dan Fungsi Hidup
Orang Islam memahami bahwa hidup di dunia ini mempunyai tugas yang jelas, yaitu beribadah kepada Allah. Tugas ibadah ini sebagaimana tercantum dalam surat Al-Dzariyat ayat 56, yaitu:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Pelaksanaan tugas ibadah ini amat terkait dengan fungsi hidup manusia itu di dunia ini, yaitu sebagai “hamba Allah” (‘abdullah) dan “khlaifah Allah” (khalifatullah).[5]
4.      Pemahaman Bahwa Hidup di Dunia ini adalah Ujian/Cobaan
Orang Islam yang benar-benar beriman memahami bahwa romantikan kehidupan di dunia ini berfluktuasi antara khairan dan yusran (suasana kehidupan yang menyenangkan) dengan syarron atau ‘usran (suasana kehidupan yang tidak menyenangkan), dan mampu mensikapinya dengan benar (pada saat mendapatkan anugrah, dia bersyukur, dan pada saat mendapat musibah dia bersabar).
Dalam surat al-Insyirah ayat 5, Allah SWT berfirman:
¨bÎ*sù yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç ÇÎÈ
“Maka sesungguhnya berserta kesulitan itu kemudahan”
5.      Pemahaman tentang Potensi Ruhaniah Dirinya, dan Kiat-kiat Pengelolaannya
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk berakhlak baik (taqwa) atau buruk (fujur). Potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia, karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu. Apabila potensi taqwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka perilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan, karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif. Agar hawa nafsu itu terkendalikan , maka potensi taqwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini.
6.      Kesadaran untuk Mengendalikan Diri
Dengan menganut agama Islam, seseorang akan memiliki kesadaran untuk mengendalikan diri dari perbuatan yang diharamkan Allah. Kesadaran ini berkembang atas dasar keyakinannya atas ayat “wanahannafsa ‘anil hawa fainnaljannata hiyal ma’wa” (dan bagi orang yang mampu mengendalikan dirinya dari dorongan hawa nafsu maka surgalah tempat kembalinya).
7.      Mempunyai Komitmen yang kuat untuk Mewujudkan dirinya sebagai Insan yang Bermakna bagi Kesejahteraan Ummat Manusia.
Komitmen ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW, yaitu “Khairunnas anfa’uhum linnas” (sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain), dan Al-Qur’an, surat Al-Anbiya ayat 107:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
Berdasarkan hadis dan ayat tersebut, seorang muslim dilarang untuk bersifat egois atau selfish (hidup mementingkan diri sendiri), tetapi sebaliknya dia harus bersifat ta’awun bilma’ruf, yaitu memberikan pertolongan kepada orang lain atau memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan hidup orang banyak, baik melalui ilmu, harta kekayaan, maupun jiwa raga.
8.      Memiliki Ketenangan Bathin
Orang islam yang telah memiliki keimanan yang kokohterhadap Allah SWT dan beristiqomah dalam mengamalkan perintah-Nya, maka hidupnyaberada dalam suasana bathin, kejiwaan, atau psikologis yang tenang, tentram atau nyaman, dan mampu mengatasi perasaan gelisah, cemas, atau stress dan frustasi pada saat mengalami masalah atau musibah.[6]

C.    Aktivitas Kejiwaan Manusia
Diri atau nafs memiliki pemaknaan kata yang cukup banyak, menurut Mubarok, (2002:27) nafs memiliki arti (1) jiwa, (2) dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, (3) sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk, (4) sesuatu di dalam diri manusia yang menggerakkan tingkah laku, dan (5) sisi dalam manusia yang dicipta secara sempurna di mana di dalamnya terkandung potensi baik dan buruk. Dari sekian pengertian tersebut dapat digaris bawahi nafs (jiwa) memiliki dua kecenderungan, yaitu (1) baik dan buruk, (2) dorongan dan tingkah laku. Keduanya adalah indikasi manusia yang tidak selamanya baik dan selamanya buruk.[7]
Islam sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan kepada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memeilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan, tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya. Di samping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamannya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya, apabila jiwanya terkotori oleh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut criteria Allah SWT.
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
jalan kepasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya” (QS. 91:9-10).[8]
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perlaku keseharian manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah, lingkungan, maupun dirinya. Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Allah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan menghasilkan kemungkaran dan kerusakan.[9]
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, di sana terdapat banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbankan. Sedangkan pengotoran jiwa seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menuras tenaga. Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Manusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya. Sebenarnya Islam memilki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hla prinsip (ad-dkaruriyat al khamsah); Din, jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.[10]
Dalam literatur lain disebutkan bahwa aktivitas kejiwaan manusia itu adalah antara lain sebagai berikut:
1.      Pengamatan
Pengamatan merupakan proses belajar mengenal sesuatu yang ada di sekitar kita dengan menggunakan alat indera kita. Dengan kehendak-Nya, Allah membekali manusia dan hewan dengan segala keperluan dan fungsi yang mereka perlukan untuk tetap bisa melestarikan hidupnya. Panca indera dimiliki baik oleh manusia maupun hewan. Namun Allah menganugerahi manusia dengan suatu fungsi lainnya yang sangat penting dan membedakannya dari hewan-hewan yang lain, yaitu akal budi. Dengan akal budi, manusia mampu meningkatkan daya tanggapnya tentang hal-hal yang bisa diindera. Dengan akal budi pulalah manusia mampu menjadikan keindahan penciptaan alam semesta seluruhnya dan penciptaan manusia sendiri, sebagai bukti adanya sang pencipta.
2.      Tanggapan
Tanggapan sebagai salah satu fungsi jiwa yang pokok, dapat diartikan sebagai gambaran ingatan dari pengamatan, ketika objek yang diamati tidak lagi berada dalam ruang dan waktu pengamatan. Jadi, jika proses pengamatan sudah berhenti, dan hanya tinggal kesan-kesannya saja, peristiwa demikian ini disebut tanggapan.
Proses tanggapan:
-          Penghayatan (terutama pengamatan) itu meninggalkan bekas atau kesan gambaran di dalam jiwa kita.
-          Gambaran (bekas atau kesan) yang ditinggalkan oleh penghayatan itu disebut proses pengiring.
-          Gambaran penghayatan itu masih dapat kita bayangkan di dalam jiwa kita.
-          Sebagai akibat dari penghayatan itu, tinggallah di dalam jiwa kita suatu kesan yang mengingatkan kita pada pengamatan tadi. Gambaran tersebut dalam psikologi disebut tanggapan.
3.      Fantasi
Fantasi adalah daya jiwa untuk membentuk atau mencipta tanggapan-tanggapan baru dengan bantuan tanggapan yang sudah ada. Fantasi sebagai kemampuan jiwa manusia dapat terjadi secara:
-          Secara disadari, yaitu apabila individu betul-betul menyadari akan menyadarinya. Hal ini banyak ditemukan pada seorang pelukis, pemahat, dll.
-          Secara tidak disadari, yaitu bila individu tidak secara sadar telah dituntut oleh fantasinya. Keadaan semacam ini banyak dijumpai pada anak-anak.

4.      Ingatan
Ingatan merupakan proses langsung dalam mengangkat kembali informasi yang pernah diterima dalam kesadaran. Ingatan adalah suatu daya jiwa kita yang dapat menerima, menyimpan dan mereproduksikan kembali pengertian-pengertian atau tanggapan-tanggapan kita.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ingatan:
a)      Sifat perseorangan
b)      Keadaan di luar jiwa kita (alam sekitar atau lingkungan, keadaan jasmani)
c)      Keadaan jiwa kita (kemauan, perasaan)
d)     Umur kita.
Macam-macam ingatan:
a)      Daya ingatan mekanis, artinya daya ingatan itu hanya untuk kesan-kesan penginderaan.
b)      Daya ingatan logis, artinya daya ingatan itu hanya untuk kesan-kesan yang mengandung pengertian.
5.      Berfikir
Berfikir merupakan salah satu pilihan manusia untuk mencoba memperoleh informasi. Dalam berfikir, seseorang menghubungkan pengertian satu dengan pengertian liannya dalam rangka mendapatkan pemecahan persoalan yang dihadapi. Dalam pemecahan persoalan, individu membeda-bedakan, mempersatukan dan berusaha menjawab pertanyaan mengapa, untuk apa, bagaimana, dimana dan lain sebagainya.
6.      Berfikir asosiatif
Secara sederhana, berfikir asosiatif adalah berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan yang lainnya. Berfikir asosiatif merupakan proses pembentukan hubungan antara rangsangan dengan respond.
7.      Inteligensi
Menurut W. Stern, intelegensi ialah kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan cepat dalam suatu situasi yang baru. Dan menurut V. Hees intelegensi adalah sifat kecerdasan jiwa.
8.      Perasaan
Perasaan merupakan gejala psikis yang bersifat subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala mengenal dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Perasaan merupakan suatu keadaan kerohanian atau peristiwa kejjiwaan yang dialami dengan senang ataupun tidak senang dalam hubungan dengan peristiwa mengenal dan bersifat subjektif.
9.      Kemauan atau kehendak
Yaitu fungsi jiwa untuk dapat mencapai sesuatu dan merupakan kekuatan dari dalam
10.  Gejala jiwa campuran
Yang termasuk gejala jiwa campuran yaitu, perhatian, kelelahan dan sugesti/saran.[11]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang berjiwa, kehidupan kejiwaan itu direfleksikan dalam bentuk tingkah laku dan aktivitas manusia. Kegiatan kejiwaan sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh manusia dan manusia mangadakan respon terhadap stimulus yang mengenainya. Dilihat dari segi kejiwaan, agama Islam telah memberikan pencerahan terhadap pola berfikir manusia secara benar tentang makna hidupnya di dunia ini.



DAFTAR PUSTAKA

Rafy Sapuri, Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005



[1] Rafy Sapuri, Psikologi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 151-152
[2] Ibid, h. 152-153
[3] Ibid, h. 154
[4] Ibid, h. 154-155
[5] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005) h. 15-18
[6] Ibid, h. 19-22
[7] Rafy Sapuri, Psikologi…… h. 43
[9] Ibid,.
[10] Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.