“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Kamis, 08 Mei 2014

ILMU KALAM II : AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

BAB I
PEMBAHASAN

A.    Ahlussunnah Wal Jama’ah
Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah dalam sejarah merupakan golongan minoritas. Selanjutnya kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis yang  mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Dengan demikian kaum Mu’tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah. Menurut Harun Nasution, mungkin inilah yang menimbulkan istilah Ahlussunah wal Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka sunnah dalam istilah ini berarti Hadis. Dan Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al-Muslimin (umumnya umat islam) dan al-jama’ah al-kasir wa al-sawad al-a’zam (jumlah besar atau khalayak ramai) Harun Nasution_dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah_ menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H.

B.     Al-Asy’ari
1)      Riwayat singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. ketika berusia lebih sari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.

Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli Hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M).  berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’I dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah, Seperti dalam pernyataannya sebagai berikut : 
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yag diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk kepada Allah Swt. Dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.”
          Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy-ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulam Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

2)      Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari

Diantara pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :
a)      Tuhan dan sifat-sifat-Nya
               Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata Al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘Ilm) tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia (anthropomorphisme). Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai muka, mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana (Arsy) dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).
b)     Kebebasan dalam berkehendak (Free Will)
               Perbuatan-perbuatan manusia menurut Al-Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia itu sendiri, sebagaimana pendapat Mu’tazilah, melainkan ada kerjasama dengan Allah Swt. Artinya perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah Swt. namun yang mewujudkan perbuatan itu adalah kerjasama antara Allah dan manusia. Allah Swt. memberikan daya kepada manusia sehingga bisa mewujudkan perbuatan tersebut dan manusia sebagai wadah yang menerima daya tersebut. Kalau dipersentasekan perbuatan manusia itu adalah 90% Allah dan 10% manusia. Istilah yang dipakai Al-Asy’ari untuk perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan ialah al-kasb. Dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya dalam diri manusia tak mempunyai efek.
c)      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Menurut aliran Asy’ariyah, akal itu disebut instrumen pengetahuan dan wahyu disebut sebagai instrumen mengharuskan. Aliran Mu’tazilah menyebutkan bahwa wahyu itu disebut sebagai konfirmasi dan informasi artinya wahyu itu digunakan sebagai penguat apa yang telah disimpulkan oleh akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.

d)     Qadimnya Al-Qur’an
Al-Qur’an, berlainan pula dengan pendapat Mu’tazilah, bagi al-Asy’ari tidaklah diciptakan, sebab kalau di ciptakan, maka sesuai dengan ayat berikut :
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ  
Artinya: 40. Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.
               Untuk menciptakan itu perlu kata Kun, dan untuk terciptanya kun ini perlu pula kata kun yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan ini tak mungkin. Oleh karena itu Al-Qur’an tak mungkin diciptakan.
e)      Melihat Allah (Ru’yatullah)
               Menurut aliarn Asy’ariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat kelak dengan mata kepala. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. Salah satu ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran Asy’ari dalam menopang pendapatnya adalah surat Al-Qiyamah ayat 22-23, sebagai berikut :
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ
4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ 
Artinya : 22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.  23. kepada Tuhannyalah mereka melihat.
             Ayat ini dipahami oleh Asy’ari dengan melihat dengan mata kepala. Kata Nazirah, tidak bermakna I’tibar (memperhatikan) atau Intizar (menunggu) sebab kata-kata tersebut bila dituturkan dengan kata Wajh, mengandung makna melihat dengan kedua mata yang terdapat pada wajah.
f)       Keadilan Tuhan
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak dan tak satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah Ia bersifat Zalim.
g)      Kedudukan orang berdosa
               Terhadap pelaku dosa besar, al-Asy’ari tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar dan tidak kekal di dalam neraka. Tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
            Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan yang Maha berkehendak Mutlak.

C.    AL-MATURIDI

1. Riwayat singkat Al-Maturidi

Abu Mansur Al-Maturidi  dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand,wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahuisecara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.gurunnya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi.ia wafat pada tahun 268 H. Al- Maturidi hidup pada masa khalifah Al- Mutakwil yang memerintah tahun 232-274 /847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantarannya ialah kitab tauhid, ta’wil AL-Qur’an, Makhaz Asy- Syara’i, Al- jadl, Usulfi Ushul ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al- Ushaul Al- khamisah li Abu Muhammad Al- Bahili, Radd Al- Imamah li Al-Ba’ad Ar- Rawafid, dan kitab Radd ala Al- Qaramatah.

2.  Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi

a.              akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinnya, Al- Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal.  Dalam hal ini,ia sama dengan Al- Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ri.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahiui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengethuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam terhadap makhluk ciptaannya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknnya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan Syari’ah hanyalah mengikuti ketetntuan akal mengenai baik dan buruknnya sesuatu.ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknnya sesuatu. Dalam demikian kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al- Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini,Al-Maturidi berpeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuati itu dipandang baik karna perintah syra dan dipandan buruk karena larangan syara. Jadi, yang baik itu karena perintah Allah dan yang buruk itu larangan Allah.
b.             perbutan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adlah ciptaanya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbutan manusia.tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbutan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya Masyah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak tuahan, tetapi ia dapat memilih yang diridainya atau yang tidak diridainya.
c.              kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik dan yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al- Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang- wenang serta kehendaknya semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendaknya berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
d.             sifat Tuhan
Dalam mengenai masalah sifat Tuhan AL-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Al-asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan yang melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula lian dari esensinya.
e.              melihat Tuhan
Al- Maturidi mengatakanbahwa manusia dapat melihat tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lian firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bakwa tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karna tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuk (bila kaifa), kareana keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f.               Kalam Tuhan
Al- Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah bahru (hadis). Al- qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah bahru. Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat denganya (bila kaifa) tidak dapat diketahui, kecuali suatu perantara.
g.              Perbutan Manusia
Menurut Al- Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali atas kehendak Tuhan, dan tudak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendanya sendiri. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat ash-ahalah wa al-ashlah ( yang baik dan yang terbauk  bagi manusia). Setiap perbuatan tuahan yang bersifat mencipta atau kewahiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendakinya.
h.             Pelaku dosa besar
Al- Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum tobat. Hal ini Tuhan telah menjanjikan akan mamberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syrik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syrik tidak akan menyebabkan pelakunnya kekal didalam neraka.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak & Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. Bandung.  CV Pustaka Setia, 2010.
Harun Nasution. Teologi Islam (aliran-aliran : Sejarah Analisa Perbandingan). Jakarta: UI Press, 2012





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.