HAKIKAT PROSES
PENDIDIKAN
Pembelajaran berbasis
otak dan Pembelajaran berbasis hati (internalisasi)
Disusun oleh:
Selamat Anwar Sadat
(15.1.11.1.024) / IV A
Pembelajaran
Berbasis Otak
Dalam dunia pendidikan, selalu perlu
adanya suatu pembaharuan atau inovasi. Hal ini dikarenakan untuk semakin
meningkatkan kualitas, serta untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman,
terutama dalam hal perkembangan IPTEK. Dalam hal ini, guru harus mempunyai
kreativitas dan dapat berpikir kritis dalam melaksanakan inovasi dengan baik.
Inovasi seharusnya diwujudkan secara nyata dan sistematis, tidak hanya menjadi
suatu rencana yang terpendam. Serta inovasi seharusnya selalu mengedepankan
pada peserta didik, salah satunya yaitu dengan melalui pembelajaran berbasis
otak.
Otak
merupakan organ tubuh yang sangat vital dalam makhluk hidup, khususnya manusia.
Otak adalah pusat dari seluruh syaraf. Sebagai pusat syaraf, otak mempunyai
banyak peranan, diantaranya adalah :
1) Terlibat dalam proses-proses penalaran pada pengertiannya
yang luas, khususnya terlibat dalam aktivitas perencanaan dan penetapan
keputusan.
2) Mengatur rasionalitas berpikir manusia.
3) Membantu pengaturan emosi manusia, dan
4)
Sebagai penyimpan
memori jangka pendek dan jangka panjang.
Berdasarkan
beberapa fungsi otak yang disebut di atas, maka dalam inovasi pembelajaran,
penerapan teori pembelajaran yang berbasis otak sangat baik untuk diterapkan.
Otak sebagai perencana dan penetapan keputusan, dalam hal ini otak merupakan
alat yang sangat berperan dalam konsep pemahaman dalam memecahkan suatu perkara
atau masalah yang disajikan. Jadi secara otomatis, melalui pembelajaran yang
berbasis otak anak telah berusaha untuk dapat berpikir secara observasi tentang
apa yang dihadapinya.
Definisi
Brain-Based Learning
Pada tahun 1970, Paul McClean dalam
konsep Triune Theory memaparkan hipotesisnya bahwa otak manusia terdiri dari
tiga bagian penting, yaitu:
- Otak besar (neokorteks), memiliki fungsi utama untuk berbahasa, berpikir, belajar, memecahkan masalah, merencanakan, dan mencipta.
- Otak tengah (sistem limbik), berfungsi untuk interaksi sosial, emosional, dan ingatan jangka panjang.
- Otak kecil (otak reptil), berfungsi untuk bereaksi, naluriah, mengulang, mempertahankan diri, dan ritualitas.
Dari teori tersebut dikembangkanlah
suatu model pembelajaran yang disebut Brain-based Learning. Brain-based
learning adalah sebuah cara yang mengoptimalkan fungsi otak sebagai komponen
utama dalam proses pembelajaran. Hal ini memungkinkan suatu sistem kerja
biologis dalam tubuh bekerja mempengaruhi struktur dan fungsi otak sesungguhnya
untuk belajar secara alamiah. Pada dasarnya, brain-based learning memfungsikan
pengalaman sesungguhnya dalam proses pembelajaran. Caine (Tang, 2009)
mengungkapkan adanya keterlibatan lima komponen dalam sistem pembelajaran
alamiah otak, yaitu:
1) The curious brain
Ia membangkitkan ketertarikan kepada
hal-hal baru. Ini adalah komponen otak yang cenderung menjadi lebih aktif saat
kita dihadapkan pada ide-ide dan tantangan baru.
2) The meaningful brain
Makna lebih penting bagi otak dari
pada informasi. Otak mencari makna melalui peniruan. Peniruan membuat otak
mampu menyimpan pengetahuan ke dalam memori.
3) The emotional brain
Emosi dan kecerdasan berasal dari
bagian yang berbeda di otak, namun keduanya bekerja secara integral dan tak
terpisahkan serta bisa ditingkatkan menggunakan stimulus dan tantangan.
4) The social brain
Otak kita bersifat sosial. Interaksi
dan keadaan sosial mempengaruhi tingkat stres. Proses belajar akan lebih
efektif jika dilakukan dalam situasi yang menyenangkan pembelajar dimana proses
membangun struktur pemahaman, pembelajaran yang kooperatif (kerja sama), dan
interaksi sosial memungkinkan terjadi di dalamnya.
5) The conscious and subconscious brain
Belajar melibatkan proses sadar dan
bawah sadar. Belajar bukan hanya terjadi di dalam kelas, namun juga dalam
kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran
berbasis otak merupakan suatu cara berpikir tentang proses pembelajaran, atau
suatu rangkaian prinsip serta sebuah dasar pengetahuan dan keterampilan yang
dengan itu, kita dapat membuat keputusan-keputusan yang baik tentang proses
pembelajaran. Saat proses pembelajaran tidak hanya melibatkan sebagian bagian
tubuh, namun melibatkan seluruh anggota badan dan otak merupakan pos perjalanan
stimulus yang datang. Semua input sensori sadar yang kemudian diproses oleh otak.
Semakin baru dan menantang stimulinya,
maka akan semakin baik otak mengaktifasi jalur barunya.
Dalam
pembelajaran berbasis otak terdapat 5 tahap pmbelajaran yaitu pertama, tahap
persiapan dengan memberikan kerangka kerja bagi pembelajaran baru dan
mempersiapkan otak pembelajar dengan koneksi yang memungkinkan. Semakin banyak
latar belakang yang dimiliki oleh pembelajar mengenai subjek, maka semakin
cepat mereka menyerap dan memproses informasi baru. Kedua, akuisisi,
dimana disediakan lembar informasi atau saran tidak langsung seperti
menempatkan visual-visual yang terkait. Ketiga, elaborasi, yaitu
mengeksplorasi interkoneksi dari topik tersebut dan mendorong terjadinya pemahaman
lebih dalam. Keempat, formasi memori pembelajaran yaitu merekatkan
supaya apa yang telah dipelajari sebelumnya masih teringat. Dan yang kelima
yaitu integrasi fungsional, mengingat untuk menggunakan pembelajaran baru
tersebut supaya dapat diperkuat dan diperluas.
Jadi
pembelajaran berbasis otak merupakan pembelajaran yang menyesuaikan dengan
kinerja otak, dengan cara menyeimbangkan kinerja otak kanan dan kiri. Otak kiri
kita dirancang untuk memproses bagian secara berurutan, serta bagian otak kanan
kita dirancang untuk memproses keseluruhan secara acak. Namun pada
kenyataannya, pembelajaran yang telah berlangsung saat ini lebih mengedepankan
kinerja otak kiri. Dengan penggunaan otak yang tidak seimbang seperti ini,
menimbulkan kelelahan dan kejenuhan bagi orang yang belajar.
Dalam
hal ini, guru dalam mewujudkan keberhasilan pembelajaran berbasis otak,
sekiranya perlu menggunakan strategi pembelajaran yang terkait dengan
emosional, sosial, kognitif, fisik, dan reflektif. Strategi yang diberikan
kepada pembelajar berupa pemberian lebih banyak umpan balik yang konsisten dan
berkualitas, sehingga akan lebih mampu menyatukan potongan-potongan
pembelajaran dan mengintegrasikan informasi tersebut ke dalam kualitas hubungan
dan pola yang lebih baik. Guru juga perlu mencoba mengembangkan kemampuan otak
kiri pembelajar dengan ilmu, rumus dan hafalan, dan juga mencoba mengembangkan
kemampuan otak kanan dengan daya kreativitas anak yang kiranya menyenangkan
bila diterapkan dalam pembelajaran. Dengan ini keseimbangan otak kanan dan otak
kiri merupakan hal yang penting dan perlu, agar apa yang diperoleh pembelajar
dalam belajar lebih melekat pada diri mereka, dan hal ini pulalah yang menjadi
bagian bahasan penting dalam pembelajaran berbasis otak.
Ada tiga strategi utama yang dapat
dikembangkan dalam implementasi Brain Based Learning yaitu: (1) Menciptakan
lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa; (2) Menciptakan
lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3) Menciptakan situasi
pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa (Sapa’at, 2009).
Pembelajaran Berbasis Hati
(Internalisasi)
Ahmad Tafsir dalam bukunya filsafat
pendidikan islam mengatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi manusia ialah
orang harus taat beragama atau sebangsa dengan agama. Harus diperhatikan bahwa
yang beliau katakana adalah beragama, bukan mengetahui agama. Karena menurutnya
mengetahui agama tidaklah sulit, sementara menjadi beragama memerlukan
perjuangan. Metode internalisasi memberikan saran tentang cara mendidik murid
agar beragama.
Metode Internalisasi
Metode ini merupakan istilah dari Prof. Achmad Sanusi,
UPI sedangkan Prof. Djawad Dahlan (UPI) menyebutnya dengan metode
personalisasi. Meskipun berbeda istilah tapi maknanya sama.
Pengetahuan masih berada di otak, di kepala, katakanlah
masih berada di pikiran, itu masih
berada didaerah luar (extern); keterampilan melaksanakan juga masih
berada di daerah extern. Upaya memasukkan pengetahuan (knowing)
dan keterampilan melaksanakan (doing) itu ke dalam pribadi, itulah yang
disebut sebagai upaya internalisasi atau personalisasi. Internalisasi karena
memasukkan dari daerah extern ke intern, personalisasi karena
upaya itu berupa usaha menjadikan pengetahuan dan keterampilan itu menyatu
dengan pribadi (person).
Ada tiga tujuan pembelajaran. Ini
berlaku untuk pembelajaran apa saja, antara lain :
1) Tahu,
mengetahui (knowing). Disini tugas guru adalah mengupayakan agar murid
mengetahui sesuatu konsep.
2) Mampu
melaksanakan atau mengerjakan yang ia ketahui itu (doing)
3) Murid menjadi
orang seperti yang ia ketahui itu. Konsep itu seharusnya tidak sekedar menjadi
miliknya tetapi menjadi satu dengan kepribadiannya. Inilah tujuan pengajaran
aspek being.
Tiga
Tujuan Pembelajaran shalat
Dengan memakai teori di atas kita dapat mengurai tiga
tujuan pembelajaran shalat sebagai berikut :
1)
Tahu konsep shalat
Dalam hal ini murid mengetahui
definisi shalat, syarat dan rukun shalat. Untuk mencapai tujuan ini guru dan
murid dapat memilih metode yang telah banyak tersedia. Untuk mengetahui apakah
murid memang telah paham konsep, syarat dan rukun shalat, guru dapat
menyelenggarakan ujian berupa ujian harian yang sering disebut ulangan harian,
atau dengan cara lain. Yang diuji hanyalah aspek pengetahuannya tentang konsep,
syarat dan rukun shalat. Jika hasil ujian semuanya bagus, berarti tujuan
pembelajaran aspek knowing telah tercapai.
2)
Terampil melaksankan shalat
Untuk mencapai tujuan ini metode
yang baik kita gunakan ialah metode demonstrasi. Guru mendemonstrasikan shalat
untuk memperlihatkan cara shalat. Lantas murid satu demi satu mendemonstrasikan shalat. Guru dapat memutarkan video rekaman shalat (lengkap
fi’liyah dan qauliyahnya) dan murid menontonnya. Tatkala murid diminta
mendemonstrasikan, guru telah dapat sekaligus memberikan penilaian. Jadi,
disini dilakukan pengajaran sekaligus penilaian. Bila guru telah yakin seluruh
murid telah mampu melaksanakan (artinya terampil dalam cara shalat), maka
tujuan aspek doing telah tercapai.
3)
Murid melaksanakan shalat
dalam kehidupannya sehari-hari (being)
Jika berbicara metode pembelajaran
agama islam, sebenarnya untuk tujuan pertama dan kedua (aspek knowing dan
doing) itu sudah tidak ada lagi persoalan, anggap saja telah selesai.
Tetapi yang menjadi persoalannya adalah bagaimana pemahaman mengenai shalat
serta keterampilannya mengerjakan shalat itu senantiasa dikerjakan atau
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Satu metode telah kita ketahui.
Metode belum dapat digunakan bila tidak dikuasai tekniknya. Teknik-teknik itu
kira-kira sebagai berikut :
1)
Peneladanan
Pendidik
meneladankan kepribadian muslim, dalam segala aspeknya baik pelaksanaan ibadah
khas (khusus) maupun yang ‘am. Yang meneladankan itu tentu tidak hanya guru,
melainkan semua orang yang kontak dengan murid itu, antara lain guru (semua
guru), kepala sekolah, pegawai tata usaha, dan segenap aparat sekolah termasuk
pesuruh, penjaga sekolah, dan orang-orang yang berjualan di sekitar sekolah.
Terpenting ialah peneladanan oleh orang tua murid di rumah. Mereka itu
seharusnya meneladankan tidak hanya pengamalan ibadah khas (khusus), tetapi
juga ibadah yang umum seperti meneladankan kebersihan, sifat sabar, kerajinan, musyawarah,
jujur, kerja keras, tepat waktu, tidak berkata jorok, mungucapkan salam, senyum
dan seterusnya mencakup seluruh gerk-gerik dalam kehidupan sehari-hari yang
telah diatur oleh islam.
Peneladanan
sangat efektif untuk internalisasi karena murid secara psikologis senang
meniru, kedua karena sanksi-sanksi sosial, yaitu seseorang akan merasa bersalah
bila ia tidak meniru orang-orang di sekitarnya.
Dalam
islam bahkan peneladanan ini sangat diistimewakan dengan menyebut bahwa Nabi
itu teladan yang baik (uswah hasanah).
2)
Pembiasaan
Kadang-kadang
kepala sekolah merasa terlalu banyak waktu akan terbuang bila pembiasaan hidup
beragama terlalu maksimal di sekolahnya. Ada pembiasaan shalat berjama’ah
zuhur, dikatakan merepotkan, memboroskan waktu. Ada pembiasaan melaksanakan
shalat jum’at di sekolah, disebut memboroskan waktu dan merepotkan.
Satu
kelas menengok kawannya yang sakit, digunakan waktu 60 menit, itu akan
merugikan jam pelajaran efektif, urusan untuk membantu teman yang sakit disebut
pemborosan dan sebagainya.
Pandangan
itu sebenarnya keliru. Inti pendidikan yang sebenarnya ialah pendidikan akhlak
yang baik. Akhlak yang baik itu dicapai dengan keberagamaan yang baik,
keberagamaan yang baik itu dicapai dengan –antara lain- pembiasaan. Jarang
kepala sekolah menyadari bahwa bila akhlak murid baik, maka pembelajaran
lainnya akan dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dengan hasil yang lebih
baik. Konsep ini sekalipun sangat jelas, pada umumnya belum di sadari oleh para
guru.
Pendidikan menuju keberagamaan yang
tinggi harus didukung oleh semua pihak, termasuk orang tua di rumah. Dukungan
itu sebenarnya merupakan bagian dari penerapan metode internalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
http://matematika.upi.edu/index.php/brain-based-learning/
diakses pada tgl 22 Mei 2013
http://r-doc.blogspot.com/2009/11/perkembangan-intelektual.html/diakses
pada tgl 15 Mei 2013
Jensen, E., Pembelajaran
Berbasis Kemampuan Otak: Cara Baru dalam Pengajaran dan Pelatihan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Sapa’at, A., Brain-based
Learning, Artikel internet, 2010
Tafsir, Ahmad. Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010
Udin Syaefudin, Inovasi Pendidikan,
Bandung: Alfabeta, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar