“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Rabu, 23 Oktober 2013

Filsafat Pendidikan : Hakikat Proses Pendidikan



HAKIKAT PROSES PENDIDIKAN
Pembelajaran berbasis otak dan Pembelajaran berbasis hati (internalisasi)
Disusun oleh:
Selamat Anwar Sadat (15.1.11.1.024) / IV A

Pembelajaran Berbasis Otak
            Dalam dunia pendidikan, selalu perlu adanya suatu pembaharuan atau inovasi. Hal ini dikarenakan untuk semakin meningkatkan kualitas, serta untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, terutama dalam hal perkembangan IPTEK. Dalam hal ini, guru harus mempunyai kreativitas dan dapat berpikir kritis dalam melaksanakan inovasi dengan baik. Inovasi seharusnya diwujudkan secara nyata dan sistematis, tidak hanya menjadi suatu rencana yang terpendam. Serta inovasi seharusnya selalu mengedepankan pada peserta didik, salah satunya yaitu dengan melalui pembelajaran berbasis otak.
            Otak merupakan organ tubuh yang sangat vital dalam makhluk hidup, khususnya manusia. Otak adalah pusat dari seluruh syaraf. Sebagai pusat syaraf, otak mempunyai banyak peranan, diantaranya adalah :
1)      Terlibat dalam proses-proses penalaran pada pengertiannya yang luas, khususnya terlibat dalam aktivitas perencanaan dan penetapan keputusan.
2)      Mengatur rasionalitas berpikir manusia.
3)      Membantu pengaturan emosi manusia, dan
4)      Sebagai penyimpan memori jangka pendek dan jangka panjang.      
            Berdasarkan beberapa fungsi otak yang disebut di atas, maka dalam inovasi pembelajaran, penerapan teori pembelajaran yang berbasis otak sangat baik untuk diterapkan. Otak sebagai perencana dan penetapan keputusan, dalam hal ini otak merupakan alat yang sangat berperan dalam konsep pemahaman dalam memecahkan suatu perkara atau masalah yang disajikan. Jadi secara otomatis, melalui pembelajaran yang berbasis otak anak telah berusaha untuk dapat berpikir secara observasi tentang apa yang dihadapinya.

Definisi Brain-Based Learning
            Pada tahun 1970, Paul McClean dalam konsep Triune Theory memaparkan hipotesisnya bahwa otak manusia terdiri dari tiga bagian penting, yaitu:
  1. Otak besar (neokorteks), memiliki fungsi utama untuk berbahasa, berpikir, belajar, memecahkan masalah, merencanakan, dan mencipta.
  2. Otak tengah (sistem limbik), berfungsi untuk interaksi sosial, emosional, dan ingatan jangka panjang.
  3. Otak kecil (otak reptil), berfungsi untuk bereaksi, naluriah, mengulang, mempertahankan diri, dan ritualitas.
            Dari teori tersebut dikembangkanlah suatu model pembelajaran yang disebut Brain-based Learning. Brain-based learning adalah sebuah cara yang mengoptimalkan fungsi otak sebagai komponen utama dalam proses pembelajaran. Hal ini memungkinkan suatu sistem kerja biologis dalam tubuh bekerja mempengaruhi struktur dan fungsi otak sesungguhnya untuk belajar secara alamiah. Pada dasarnya, brain-based learning memfungsikan pengalaman sesungguhnya dalam proses pembelajaran. Caine (Tang, 2009) mengungkapkan adanya keterlibatan lima komponen dalam sistem pembelajaran alamiah otak, yaitu:
1)      The curious brain
          Ia membangkitkan ketertarikan kepada hal-hal baru. Ini adalah komponen otak yang cenderung menjadi lebih aktif saat kita dihadapkan pada ide-ide dan tantangan baru.
2)      The meaningful brain
            Makna lebih penting bagi otak dari pada informasi. Otak mencari makna melalui peniruan. Peniruan membuat otak mampu menyimpan pengetahuan ke dalam memori.
3)      The emotional brain
            Emosi dan kecerdasan berasal dari bagian yang berbeda di otak, namun keduanya bekerja secara integral dan tak terpisahkan serta bisa ditingkatkan menggunakan stimulus dan tantangan.
4)      The social brain
            Otak kita bersifat sosial. Interaksi dan keadaan sosial mempengaruhi tingkat stres. Proses belajar akan lebih efektif jika dilakukan dalam situasi yang menyenangkan pembelajar dimana proses membangun struktur pemahaman, pembelajaran yang kooperatif (kerja sama), dan interaksi sosial memungkinkan terjadi di dalamnya.
5)      The conscious and subconscious brain
            Belajar melibatkan proses sadar dan bawah sadar. Belajar bukan hanya terjadi di dalam kelas, namun juga dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran berbasis otak merupakan suatu cara berpikir tentang proses pembelajaran, atau suatu rangkaian prinsip serta sebuah dasar pengetahuan dan keterampilan yang dengan itu, kita dapat membuat keputusan-keputusan yang baik tentang proses pembelajaran. Saat proses pembelajaran tidak hanya melibatkan sebagian bagian tubuh, namun melibatkan seluruh anggota badan dan otak merupakan pos perjalanan stimulus yang datang. Semua input sensori sadar yang kemudian diproses oleh otak. Semakin baru dan  menantang stimulinya, maka akan semakin baik otak mengaktifasi jalur barunya.
Dalam pembelajaran berbasis otak terdapat 5 tahap pmbelajaran yaitu pertama, tahap persiapan dengan memberikan kerangka kerja bagi pembelajaran baru dan mempersiapkan otak pembelajar dengan koneksi yang memungkinkan. Semakin banyak latar belakang yang dimiliki oleh pembelajar mengenai subjek, maka semakin cepat mereka menyerap dan memproses informasi baru. Kedua, akuisisi, dimana disediakan lembar informasi atau saran tidak langsung seperti menempatkan visual-visual yang terkait. Ketiga, elaborasi, yaitu mengeksplorasi interkoneksi dari topik tersebut dan mendorong terjadinya pemahaman lebih dalam. Keempat, formasi memori pembelajaran yaitu merekatkan supaya apa yang telah dipelajari sebelumnya masih teringat. Dan yang kelima yaitu integrasi fungsional, mengingat untuk menggunakan pembelajaran baru tersebut supaya dapat diperkuat dan diperluas.
Jadi pembelajaran berbasis otak merupakan pembelajaran yang menyesuaikan dengan kinerja otak, dengan cara menyeimbangkan kinerja otak kanan dan kiri. Otak kiri kita dirancang untuk memproses bagian secara berurutan, serta bagian otak kanan kita dirancang untuk memproses keseluruhan secara acak. Namun pada kenyataannya, pembelajaran yang telah berlangsung saat ini lebih mengedepankan kinerja otak kiri. Dengan penggunaan otak yang tidak seimbang seperti ini, menimbulkan kelelahan dan kejenuhan bagi orang yang belajar.
Dalam hal ini, guru dalam mewujudkan keberhasilan pembelajaran berbasis otak, sekiranya perlu menggunakan strategi pembelajaran yang terkait dengan emosional, sosial, kognitif, fisik, dan reflektif. Strategi yang diberikan kepada pembelajar berupa pemberian lebih banyak umpan balik yang konsisten dan berkualitas, sehingga akan lebih mampu menyatukan potongan-potongan pembelajaran dan mengintegrasikan informasi tersebut ke dalam kualitas hubungan dan pola yang lebih baik. Guru juga perlu mencoba mengembangkan kemampuan otak kiri pembelajar dengan ilmu, rumus dan hafalan, dan juga mencoba mengembangkan kemampuan otak kanan dengan daya kreativitas anak yang kiranya menyenangkan bila diterapkan dalam pembelajaran. Dengan ini keseimbangan otak kanan dan otak kiri merupakan hal yang penting dan perlu, agar apa yang diperoleh pembelajar dalam belajar lebih melekat pada diri mereka, dan hal ini pulalah yang menjadi bagian bahasan penting dalam pembelajaran berbasis otak.
            Ada tiga strategi utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi Brain Based Learning yaitu: (1) Menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa; (2) Menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3) Menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa (Sapa’at, 2009).


Pembelajaran Berbasis Hati (Internalisasi)
            Ahmad Tafsir dalam bukunya filsafat pendidikan islam mengatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi manusia ialah orang harus taat beragama atau sebangsa dengan agama. Harus diperhatikan bahwa yang beliau katakana adalah beragama, bukan mengetahui agama. Karena menurutnya mengetahui agama tidaklah sulit, sementara menjadi beragama memerlukan perjuangan. Metode internalisasi memberikan saran tentang cara mendidik murid agar beragama.
Metode Internalisasi
            Metode ini merupakan istilah dari Prof. Achmad Sanusi, UPI sedangkan Prof. Djawad Dahlan (UPI) menyebutnya dengan metode personalisasi. Meskipun berbeda istilah tapi maknanya sama.
            Pengetahuan masih berada di otak, di kepala, katakanlah masih  berada di pikiran, itu masih berada didaerah luar (extern); keterampilan melaksanakan juga masih berada di daerah extern. Upaya memasukkan pengetahuan (knowing) dan keterampilan melaksanakan (doing) itu ke dalam pribadi, itulah yang disebut sebagai upaya internalisasi atau personalisasi. Internalisasi karena memasukkan dari daerah extern ke intern, personalisasi karena upaya itu berupa usaha menjadikan pengetahuan dan keterampilan itu menyatu dengan pribadi (person).
            Ada tiga tujuan pembelajaran. Ini berlaku untuk pembelajaran apa saja, antara lain :
1)      Tahu, mengetahui (knowing). Disini tugas guru adalah mengupayakan agar murid mengetahui sesuatu konsep.
2)      Mampu melaksanakan atau mengerjakan yang ia ketahui itu (doing)
3)      Murid menjadi orang seperti yang ia ketahui itu. Konsep itu seharusnya tidak sekedar menjadi miliknya tetapi menjadi satu dengan kepribadiannya. Inilah tujuan pengajaran aspek being.


Tiga Tujuan Pembelajaran shalat
            Dengan memakai teori di atas kita dapat mengurai tiga tujuan pembelajaran shalat sebagai berikut :
1)      Tahu konsep shalat
            Dalam hal ini murid mengetahui definisi shalat, syarat dan rukun shalat. Untuk mencapai tujuan ini guru dan murid dapat memilih metode yang telah banyak tersedia. Untuk mengetahui apakah murid memang telah paham konsep, syarat dan rukun shalat, guru dapat menyelenggarakan ujian berupa ujian harian yang sering disebut ulangan harian, atau dengan cara lain. Yang diuji hanyalah aspek pengetahuannya tentang konsep, syarat dan rukun shalat. Jika hasil ujian semuanya bagus, berarti tujuan pembelajaran aspek knowing telah tercapai.
2)      Terampil melaksankan shalat
            Untuk mencapai tujuan ini metode yang baik kita gunakan ialah metode demonstrasi. Guru mendemonstrasikan shalat untuk memperlihatkan cara shalat. Lantas murid satu demi satu  mendemonstrasikan shalat. Guru dapat  memutarkan video rekaman shalat (lengkap fi’liyah dan qauliyahnya) dan murid menontonnya. Tatkala murid diminta mendemonstrasikan, guru telah dapat sekaligus memberikan penilaian. Jadi, disini dilakukan pengajaran sekaligus penilaian. Bila guru telah yakin seluruh murid telah mampu melaksanakan (artinya terampil dalam cara shalat), maka tujuan aspek doing telah tercapai.
3)      Murid melaksanakan shalat dalam kehidupannya sehari-hari (being)
            Jika berbicara metode pembelajaran agama islam, sebenarnya untuk tujuan pertama dan kedua (aspek knowing dan doing) itu sudah tidak ada lagi persoalan, anggap saja telah selesai. Tetapi yang menjadi persoalannya adalah bagaimana pemahaman mengenai shalat serta keterampilannya mengerjakan shalat itu senantiasa dikerjakan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
            Satu metode telah kita ketahui. Metode belum dapat digunakan bila tidak dikuasai tekniknya. Teknik-teknik itu kira-kira sebagai berikut :

1)      Peneladanan
            Pendidik meneladankan kepribadian muslim, dalam segala aspeknya baik pelaksanaan ibadah khas (khusus) maupun yang ‘am. Yang meneladankan itu tentu tidak hanya guru, melainkan semua orang yang kontak dengan murid itu, antara lain guru (semua guru), kepala sekolah, pegawai tata usaha, dan segenap aparat sekolah termasuk pesuruh, penjaga sekolah, dan orang-orang yang berjualan di sekitar sekolah. Terpenting ialah peneladanan oleh orang tua murid di rumah. Mereka itu seharusnya meneladankan tidak hanya pengamalan ibadah khas (khusus), tetapi juga ibadah yang umum seperti meneladankan kebersihan, sifat sabar, kerajinan, musyawarah, jujur, kerja keras, tepat waktu, tidak berkata jorok, mungucapkan salam, senyum dan seterusnya mencakup seluruh gerk-gerik dalam kehidupan sehari-hari yang telah diatur oleh islam.
            Peneladanan sangat efektif untuk internalisasi karena murid secara psikologis senang meniru, kedua karena sanksi-sanksi sosial, yaitu seseorang akan merasa bersalah bila ia tidak meniru orang-orang di sekitarnya.
            Dalam islam bahkan peneladanan ini sangat diistimewakan dengan menyebut bahwa Nabi itu teladan yang baik (uswah hasanah).

2)      Pembiasaan
            Kadang-kadang kepala sekolah merasa terlalu banyak waktu akan terbuang bila pembiasaan hidup beragama terlalu maksimal di sekolahnya. Ada pembiasaan shalat berjama’ah zuhur, dikatakan merepotkan, memboroskan waktu. Ada pembiasaan melaksanakan shalat jum’at di sekolah, disebut memboroskan waktu dan merepotkan.
            Satu kelas menengok kawannya yang sakit, digunakan waktu 60 menit, itu akan merugikan jam pelajaran efektif, urusan untuk membantu teman yang sakit disebut pemborosan dan sebagainya.
            Pandangan itu sebenarnya keliru. Inti pendidikan yang sebenarnya ialah pendidikan akhlak yang baik. Akhlak yang baik itu dicapai dengan keberagamaan yang baik, keberagamaan yang baik itu dicapai dengan –antara lain- pembiasaan. Jarang kepala sekolah menyadari bahwa bila akhlak murid baik, maka pembelajaran lainnya akan dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dengan hasil yang lebih baik. Konsep ini sekalipun sangat jelas, pada umumnya belum di sadari oleh para guru.
            Pendidikan menuju keberagamaan yang tinggi harus didukung oleh semua pihak, termasuk orang tua di rumah. Dukungan itu sebenarnya merupakan bagian dari penerapan metode internalisasi.


DAFTAR PUSTAKA
Jensen, E., Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak: Cara Baru dalam Pengajaran dan Pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Sapa’at, A., Brain-based Learning, Artikel internet, 2010
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010
Udin Syaefudin, Inovasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2009.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.