Kebanggaan desa Pelulan “Berugak Bello”
Demi melestarikan
sejarah, “Berugaq Belo” yang ada di Dusun Pelulan Desa Kuripan Utara
Kecamatan Kuripan yang berumur ratusan
tahun masih dipertahankan keberadaannya. Pemuda setempat menggunakan berugaq belo
tersebut sebagai tempat belajar membaca Lontar yang berbahasa sansekerta.
Kuripan-Tak ada kata selesai
ketika kita membahas tradisi sasaq. Mulai dari tradisi nyongkolan,
begawe, maulid, peresean, nemin, dan sebagainya. Orang sasaq kaya akan
tradisi dan budaya.
Langkah
kami tertuju pada sebuah tempat yang membuat kami ingin singgah untuk segera
menikmati udara pagi yang sedikit menghangatkan. Tempat itu berugak belo
dalam bahasa Indonesia berarti berugak panjang. Berugak ini merupakan salah satu kebanggaan dari masyarakat
Dusun Pelulan, Desa Kuripan Utara, Kecamatan
Kuripan, Kabupaten Lombok Barat.
Awalnya
berugak ini tidak lepas dari pengaruh wetu telu yang sempat mengangkat
nama Lombok ke luar daerah. Ketika itu pendirian mushola atau masjid sangatlah
minim, oleh karena itu pendirian berugak ini sangatlah efektif untuk membantu
masyarakat sebagai tempat melaksanakan kegiatan adat maupun kegiatan keagamaan.
Berugak ini
awalnya digunakan untuk memandikan jenazah, ketika salah satu dari anggota keluarga
meninggal”. Ujar pak Kartanah selaku ketua RT 03 Dusun Pelulan.
Seiring
berjalannya waktu, berugak ini tidak
hanya digunakan untuk memandikan jenazah, tetapi menjadi ruang musyawarah, ruang keluarga, kegiatan keagaaman dan juga
sebagai tempat untuk sarana pendidikan khususnya pembelajaran membaca lontar yang yang
bertuliskan bahasa sansekerta. Yang menyatukan masyarakat yang satu
dengan yang lain.
Berugak ini memang terletak di
tengah-tengah pemukiman warga yang
saling berhadapan satu sama lain, yang mana letaknya sangat strategis untuk di
gunakan sebagai ruang keluarga.
‘’Berugak
pada dasarnya digunakan untuk menguatkan kekompakan, yakni untuk mengikat nilai
sosial yang tinggi, namun nilai itu
mulai bergeser seiring dengan berjalannnya waktu”. ujar pak Kartanah.
Menurut
Amaq Bahar selaku sesepuh adat Dusun Pelulan Desa Kuripan Utara, “orang yang memiliki sekenam
atau berugak belo ini dulunnya hanya dimiiki oleh orang-orang tertentu
seperti Tuan Guru, kiyai dan sesepuh desa”.
Dalam sejarahnya
untuk menyejarahkan atau menjuruskan pada silsilah berugak belo jika di
tuangkan dalam cerita, tidak akan selesai. Karena semakin dalam kita
membahasnya semakin luas pembahasannya.
“Berugak
belo ini juga bisa di sebut dengan sekenem
yang artinya bertiang enam, yang tersusun dari alang-alang, jejait,
lasah, jelikah, jejaijt, sake, apit sake, waras, dan anjan. Setiap tiang memiliki
filosofi tertentu yakni tiang yang satu
dengan yang lainnnya menghadap sesuai
dengan arah mata angin. Jenis kayu yang digunakan adalah kayu nangka atau
kelapa”. Ujar Pak Kartanah.
Untuk
melestarikan berugak belo ini, generasi pemuda setempat memanfaatkan
sebagai sarana pendidikan khususnya sebagai tempat belajar membaca lontar baik
itu dari kalangan anak-anak, pemuda, orang tua yang di mana pemuda membuat
suatu perkumpulan yang diberi nama “Pemuda Pedalam” Pemuda
Pemaos Daye Mulie/pembaca yang tekun.
Ini merupakan sarana untuk melestarikan berugak belo yang
sudah mulai terkikis oleh kemajuan zaman.” Ujar Zulfadly selaku ketua pemuda
pedalam. Sikap ini patut untuk kita contoh sebagai generasi penerus yang sadar
akan pentingnya melestarikan budaya nenek moyang kita.
Pemuda pedalem ini akan diberikan
pengetahuan bagaimana cara untuk menjadi seorang pembaca bahasa
sanksekerta dengan dibimbinng oleh Papuk Mini merupakan
salah satu sesepuh dusun setempat, yang sudah beberapa kali meraih penghargaan
dari pemerintah tingkat provinsi sebagai juara I (satu) lomba tembang daerah Nusa Tenggara Barat ”dangdang”
dan juga juara II (dua) lomba naskah lontar sepulau Lombok. Amaq Mini
juga pernah mengisi acara di Hotel Plaza untuk membaca daun lontar yang kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Menurut Papuk
Mini “ daun lontar yang dipakai berusia kurang lebih ratusan tahun, dan
menggunakan bahasa Sansekerta yang biasa kita kenal dengan sebutan huruf Ha Na
Ca Ra Ka (huruf jejawan) dan biasanya digunakan pada acara adat-adat tertentu,
seperti maulid, begawe,” Tuturnya ramah, yang memang sangat menarik perhatian kami.
Berugak
belo ini merupakan salah satu dari sekian banyak budaya yang ada di
Lombok. Berugak ini melambangkan musyawarah yang saat ini mulai jarang kita
temukan saat ini.
Kita yang nantinya sebagai
generasi penerus yang akan memegang dari apa yang nantinya menjadi peninggalan
nenek moyang kita sudah sepantasnya membuka mata dan fikiran kita menjadi
generasi muda yang cinta akan kebudayaan sendiri dengan salah satu caranya
yakni melestarikannya, mengetahui sejarah berdirinya dan jika memungkinkan
memperkenalkan pada dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar