“Hiduplah Seperti Pohon Kayu Yang Lebat Buahnya, Hidup Di Tepi Jalan Dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah” (Abu Bakar Sibli)

Kamis, 17 Oktober 2013

Melihat Sejarah Berugaq Bello di Dusun Pelulan, Desa Kuripan Utara



Kebanggaan desa Pelulan “Berugak Bello”








Demi melestarikan sejarah, “Berugaq Belo” yang ada di Dusun Pelulan Desa Kuripan Utara Kecamatan Kuripan yang  berumur ratusan tahun masih dipertahankan keberadaannya. Pemuda setempat menggunakan berugaq belo tersebut sebagai tempat belajar membaca Lontar yang berbahasa sansekerta.
            Kuripan-Tak ada kata selesai ketika kita membahas tradisi sasaq. Mulai dari tradisi nyongkolan, begawe, maulid, peresean, nemin, dan sebagainya. Orang sasaq kaya akan tradisi dan budaya.
            Langkah kami tertuju pada sebuah tempat yang membuat kami ingin singgah untuk segera menikmati udara pagi yang sedikit menghangatkan. Tempat itu berugak belo dalam bahasa Indonesia berarti berugak panjang. Berugak ini  merupakan salah satu kebanggaan dari masyarakat  Dusun Pelulan, Desa Kuripan Utara, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat.
            Awalnya berugak ini tidak lepas dari pengaruh wetu telu yang sempat mengangkat nama Lombok ke luar daerah. Ketika itu pendirian mushola atau masjid sangatlah minim, oleh karena itu pendirian berugak ini sangatlah efektif untuk membantu masyarakat sebagai tempat melaksanakan kegiatan adat maupun kegiatan keagamaan.
            Berugak ini awalnya digunakan untuk memandikan jenazah, ketika salah satu dari anggota keluarga meninggal”. Ujar pak Kartanah selaku ketua RT 03  Dusun Pelulan.
            Seiring berjalannya waktu, berugak  ini tidak hanya digunakan untuk memandikan jenazah, tetapi  menjadi ruang musyawarah,  ruang keluarga, kegiatan keagaaman dan juga sebagai tempat untuk sarana pendidikan khususnya  pembelajaran membaca lontar yang yang bertuliskan bahasa sansekerta. Yang menyatukan masyarakat yang satu dengan yang lain.
Berugak ini memang terletak di tengah-tengah pemukiman  warga yang saling berhadapan satu sama lain, yang mana letaknya sangat strategis untuk di gunakan sebagai ruang keluarga.
            ‘’Berugak pada dasarnya digunakan untuk menguatkan kekompakan, yakni untuk mengikat nilai sosial yang tinggi,  namun nilai itu mulai bergeser seiring dengan berjalannnya waktu”. ujar pak Kartanah.
            Menurut Amaq Bahar selaku sesepuh adat  Dusun Pelulan  Desa Kuripan Utara, “orang yang memiliki sekenam atau berugak belo ini dulunnya hanya dimiiki oleh orang-orang tertentu seperti Tuan Guru, kiyai dan sesepuh desa”.  
            Dalam sejarahnya untuk menyejarahkan atau menjuruskan pada silsilah berugak belo jika di tuangkan dalam cerita, tidak akan selesai. Karena semakin dalam kita membahasnya semakin luas pembahasannya.
            Berugak belo ini juga bisa di sebut dengan  sekenem yang artinya bertiang enam, yang tersusun dari alang-alang, jejait, lasah, jelikah, jejaijt, sake, apit sake, waras, dan anjan. Setiap tiang memiliki filosofi  tertentu yakni tiang yang satu dengan yang lainnnya  menghadap sesuai dengan arah mata angin. Jenis kayu yang digunakan adalah kayu nangka atau kelapa”.  Ujar  Pak Kartanah.
            Untuk melestarikan berugak belo ini, generasi pemuda setempat memanfaatkan sebagai sarana pendidikan khususnya sebagai tempat belajar membaca lontar baik itu dari kalangan anak-anak, pemuda, orang tua yang di mana pemuda membuat suatu perkumpulan yang diberi nama “Pemuda Pedalam”    Pemuda Pemaos Daye Mulie/pembaca yang tekun.
Ini merupakan sarana untuk melestarikan berugak belo yang sudah mulai terkikis oleh kemajuan zaman.” Ujar Zulfadly selaku ketua pemuda pedalam. Sikap ini patut untuk kita contoh sebagai generasi penerus yang sadar akan pentingnya melestarikan budaya nenek moyang kita.
Pemuda pedalem ini akan diberikan pengetahuan bagaimana cara untuk menjadi seorang pembaca  bahasa  sanksekerta dengan dibimbinng oleh Papuk Mini merupakan salah satu sesepuh dusun setempat, yang sudah beberapa kali meraih penghargaan dari pemerintah tingkat provinsi sebagai juara I (satu)  lomba tembang daerah Nusa Tenggara Barat ”dangdang” dan juga juara II (dua) lomba naskah lontar sepulau Lombok. Amaq Mini juga pernah mengisi acara di Hotel Plaza untuk membaca daun lontar yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
            Menurut Papuk Mini “ daun lontar yang dipakai berusia kurang lebih ratusan tahun, dan menggunakan bahasa Sansekerta yang biasa kita kenal dengan sebutan huruf Ha Na Ca Ra Ka (huruf jejawan) dan biasanya digunakan pada acara adat-adat tertentu, seperti maulid, begawe,” Tuturnya ramah, yang memang sangat menarik perhatian kami.
            Berugak belo ini merupakan salah satu dari sekian banyak budaya yang ada di Lombok. Berugak ini melambangkan musyawarah yang saat ini mulai jarang kita temukan saat ini.
Kita yang nantinya sebagai generasi penerus yang akan memegang dari apa yang nantinya menjadi peninggalan nenek moyang kita sudah sepantasnya membuka mata dan fikiran kita menjadi generasi muda yang cinta akan kebudayaan sendiri dengan salah satu caranya yakni melestarikannya, mengetahui sejarah berdirinya dan jika memungkinkan memperkenalkan  pada dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 (Anwar Sadat )_Abadikan Nama dengan Menulis.