TAREKAT SYATTARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
belakang
Tasawuf
dalam pemahaman kita sebelumnya adalah usaha pendekatan atau usaha individual
dalam mengungkap realitas dengan pengalaman batin, namun pada saat ini kita
semua juga sudah mengetahui bahwasannya tasawuf sekarang bukan hanya sekedar
usaha pribadi dalam melakukan pengalaman batin dalam mengungkap realitas, akan
tetapi tasawuf sudah menjadi suatu disiplin ilmu yang sangat penting untuk kita
ketahui dan kita pelajari.
Dengan menjadinya tasawuf sebagai
salah satu disiplin ilmu maka akan muncul pertanyaan pertanyaan yang mendasar,
dimana tasawuf ini dapat dipelajari, siapa yang mengajarkan tasawuf, bagaimana
cara yang diajarkan untuk menjadi seorang sufi. Sekiranya masih banyak
pertanyaan yang dapat kita lontarkan.
Sekilas untuk menjawab pertanyaan
pertanyaan diatas antara lain yaitu, bahwasanya tasawuf dapat dipelajari dalam
sebuah tarekat, dalam sebuah tarekat di situ diajarkan bagai mana kita dapat
mencapai tingkatan sufi dengan metode-metode yang sesuai dengan metode yang ada
dalam tarekat tersebut, dalam sebuah tarekat itu seorang mudir yang dianggap
sebagai guru dalam sebuah tarekat itu mengajarkan metodenya kepada para
pangikutnya dalam mencapai tingkatan sufi tersebut.
Ada begitu banyak tarekat-tarekat di
dunia ini, baik itu yang terkenal ataupun tidak, dan baik itu mempunyai
hubungan atau tidak dengan indonesia bahwasannya tarekat ini sudah menyebar
keseluruh dunia dengan metode-metode yang mereka bawa. Berbicara tentang tarekat
yang memiliki hubungan dengan Indonesia, ada begitu banyak tarekat yang masuk
ke indonesia dalam menyebarkan metodenya, dan tidak sedikit yang mengikuti
tarekat tersebut. Salah satu tarekat yang memiliki hubungan dengan indonesia
adalah tarekat syatariah. Tarekat ini akan dibahas lebih luas dan panjang lebar
di dalam pembahasan selanjutnya,
Pembahasan mengenai sejarah muncul
dan masuknya ke indonesia, metode pengajaranya, silsilah pendiri, bagai mana
pula ajaran tarekat syatariah ini sangatlah penting untuk kita ketahui
berhubungan dengan tarekat syatariah ini masuk dalam salah satu ruang sejarah
dalam indonesia, maka selayaknya kita mengetahuinya sebagai warga negara
indonesia. Maka dari itulah tarekat syatariah ini akan kami kupas dalam tulisan
kami ini.
Sekilas
tentang tarekat syatariah ini, bahwasannya tarekat ini sering dihubungkan dengan
pendirinya yaitu syah abdullah al-syattari dalam penamaan tarekat ini. Yang
mana pendiri tarekat ini dari referensi yang tidak begitu banyak yang
menyebutkan bahnwasannya Syaikh Abdullah Asy-Syattar, masih memiliki hubungan
kekeluargaan dengan Syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar al-Suhrawardi (539-632
H/1145-1234 M) ulama sufi yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah. Kemungkinan
besar ia dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara (Samarkand). Di
sinilah, dia diresmikan menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Syaikh
Muhammad Arif.
Namun karena tarekat yang pertama
yang ia ikuti ini tidak dapat berkembang di daerahnya maka ia pun dipindahkan
oleh gurunya ke india, dari sini lah setalah syah al-syattar ini mendirikan
tarekat syattariah, begitu pula setelah perpindahannya ke india lah tarekat
syattariah mulai muncul dalam sejarah tarekat dunia.
Namun bagai manakah tarekat
syattariah masuk ke indonesia?. Dalam menyebarkan dan memperluas wilayah dalam
menyebarkan pemikirannya tarekat syattariah masuk ke indonesia, dengan
menyuguhkan metode mereka, tidak sedit pula yang mengikuti tarekat ini di
indonesia. Begitu banyak yang perlu kita bahas, tidak cukup hanya sekilas yang telah
disampaikan diatas, dalam tulisan ini akan di bahas secara mendalam mengenai
tarekat ini dalam pembahasan selanjutnya.
2. Rumusan
masalah
a)
Apa
yang dimasud dengan tarkeat syattariah itu ?
b)
Kapan
munculnya tarekat syattariah dan masuknya ke Indonesia ?
c)
Siapa
pendiri tarekat syattariah ini ?
d)
Bagaimana
metode yang mereka ajarkan atau bagaimana ajaran mereka ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah
kemunculan Tarekat Syattariah
Tarekat ini bernama Tarekat
Syattariyah. Syattariyah sendiri dihubungkan kepada seseorang yang bisa
dikatakan sebagai pendiri tarekat ini yaitu Syah Abd Allah al-Syattari (w.890
H/1485). Sejatinya ketika melihat daftar nama-nama ulama yang terdapat pada
silsilah tarekat ini, yang para penganutnya meyakini mereka sebagai pembawa
ajaran dan amalan yang mereka terima itu pada hakikatnya atau substansi
ajaran-ajarannya itu berasal dari Nabi SAW. Jadi, para tokoh-tokok yang nanti
akan kami jelaskan pada bagian selanjutnya tidaklah bertindak sebagai pencipta
ritual tarekat, seperti zikir dengan berbagai metodenya, melainkan hanya
merumuskan dan membuat sistematikanya saja.
Mengenai sang tokoh, yakni Syaikh
Abdullah Asy-Syattar, hanya sedikit riwayat yang bisa diketahui. Beliau masih
memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar al-Suhrawardi
(539-632 H/1145-1234 M) ulama sufi yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.
Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara
(Samarkand). Di sinilah, dia diresmikan menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh
gurunya, Syaikh Muhammad Arif.
Namun karena popularitas Tarekat
Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin
memudar akibat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah, Syaikh Abdullah Asy-Syattar
dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula, ia tinggal di Jawnpur.
Kemudian, pindah ke Mondu, sebuah kota Muslim di daerah Malwa (Multan).
Keputusan yang diambilnya ternyata tepat karena di sinilah akhirnya dia
memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah. Tidak
diketahui, apakah perubahan nama dari Tarekat Isqiyah yang dianutnya semula ke
Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat
baru sejak awal kedatangannya di India atau atas inisiatif murid-muridnya. Ia
tinggal di India sampai akhir hayatnya pada tahun 1428 M.
Jika kita lihat dalam proses
perkembangan tarekat ini, khususnya di India, yang menjadi basis utamanya kala
itu, yaitu sekitar abad ke 15, tarekat ini memiliki akar keterkaitan dengan
tradisi Transoxiana, yang silsilahnya terhubungkan kepada Abu Yazid al-Isyqi
dan kemudian terhubung lagi kepada Abu Yazid al-Bastami (w. 260 H/ 873M)
dan Imam Ja’far as-Shadiq (w. 146 H/763). Sehingga tidak mengherankan jika
kemudian tarekat ini dikenal dengan nama Tarekat Isyqiyah di Iran, atau Tarekat
Bistamiyah di Turki Utsmani yang sempat popular pada abad ke 5 H di wilayah
Asia Tengah sebelum akhirnya memudar dan pengaruhnya digantikan oleh Tarekat
Naqsybandiyah.
Dalam upaya penyebaran tarekat
ini, Syah Abd allah al-Syattar beserta muridnya mengembangkan kecendrungan
untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat
setempat yang masih dipengaruhi ajaran atau ritual Hindu yang dengan demikian
tak heren jika kita lihat konsep tasawuf dan tarekat yang mereka bawa bersifat
sinkretis, serta memiliki persamaan dengan konsep-konsep dan ritual Hindu.
Syah Abd Allah mendirikan khanqah
pertama bagi para pengikutnya di desa Mandu. Beliau juga menulis
sebuah kitab yakni Lata’if al-Gaibiyyah, tentang prinsip-prinsip
dasar ajaran Tarekat Syattariyyah, yang disebut sebagai cara tercepat
untuk mencapai tingkat ma’rifat.
Karya beliau ini pada akhirnya disempurnakan oleh dua orang murid utamanya
yaitu Syeikh Muhammad A’la atau dikenal juga dengan Syaikh Qadi Bengal(Qazam
Syattari) dan Syaikh Hafiz Jawnpur. Menariknya kendatipun 2 Syeikh tersebut
adalah murid utama dari Syah Abd Allah , bila kita lihat dalam silsilah yang
masyhur dalam Tarekat Syattariyyah, nama kedua Syaikh tersebut tidak pernah
kita jumpai. Melainkan nama-nama lain seperti Imam Qadhi al-Syattari, Syaikh
Hidayat Allah al-Sarmasti, Sayaikh Hajji Huduri dan Syaikh Muhammad Gauts.
Selanjutnya, sebagai seorang
khalifah Tarekat Syattariyyah, Syaikh Muhammad Gauts termasuk seorang khalifah
yang berpengaruh besar bahkan bisa dikatakan sebagai yang paling berhasil
memapankan doktrin dan ajaran tarekat ini. Beliau menulis sejumlah buku seperti
Jawahir al-Khamsah, Kalid Makhzan, Dama’ir Basayir, dan Kanz al-Tauhid. Disamping
buku-buku diatas, beliau juga menulis sebuah buku sebagai buah hasil hubungan
dekat beliau dengan tokoh-tokoh agama Hindu, yaitu kitab Bahr al-Hayat yang
merupakan terjemahan dari Kitab Amrita Kunda yang didalamnya berisi
beberapa persamaan antara konsep dan ritual Islam dalam aspek tasawuf dengan
konsep dan ritual Hindu. Beliau juga mengadopsi teknik dan praktik yoga menjadi
bagian dari formulasi zikir Tarekat Syattariyyah.
Syaikh Muhammada Gauts memiliki
seorang yang bernama Syaikh Wajih al-Din Alawi (w1018 H/1609 M) yang tinggal di
Ahmadabad, India. Beliau ini termasuk orang yang paling gigih membela gurunya
dari tuduhan para ulama Gujarat yang telah menganggap Syaik Muhammad
Gauts menyimpang dari ajaran Islam, sebagai bentuk respon mereka dari karya
beliau yang berjudul Mi’raj. Syaikh Wajih al-Din Alawi ternyata tidak
hanya terjun dalam satu tarekat, dia juga tercatat telah bergabung di Tarekat
Khisytiyah, Suhrawardiyah, Madariyah, Khalwatiyah, Hamadaniyah, naqsabandiyah,
dan Tarekat Firdausiyah.
Selanjutnya, sampai wafatnya kedua
Syaikh yang terakhir kami ceritakan, Tarekat Syattariyyah ini mengalami
kemunduran dan popularitasnya tergeser oleh Tarekat Naqsabandiyah dan
Qadiriyah. Untungnya, Syaikh Wajih al-Din Alawi masih menyisahkan seorang murid
bernama Sibghat Allah ibn Ruh Allah Jamal al-Barwaji(w. 1015 H/1620 M).
Sibghat Allah ibn Ruh Allah Jamal
al-Barwaji ini lahir di India dari orang tua berdarah Persia. Beliau ini teman
karib dari Fadhl Allah al-Burhanpuri al-Hindi (w. 1029 H/1620 M), yang
merupakan penulis kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi dan kitab
tersebut pernah menghebohkan kalangan Muslim Melayu Indonesia pada awal hingga
abad 17 M.
Sibghat Allah ibn Ruh Allah Jamal
al-Barwaji banyak melakukan perjalanan guna menyebarkan Tarekat Syattariyah.
Mulai dari kota kelahirannya, dan kemudian para tahun 999 H/ 1591 M dia
melakukan perjalanan ke Makkah untuk berhaji. Kemudaian dia juga sempat tinggal
di Ahmadabad selama setahun, kemudian juga pernah ke Bijapur ( pusat sufi di
India) dimana dia berhasil merebut hati sang Sultan, Ibrahim Adil Syah.
Dengan bantuan sang Sultan, beliau kembali ke Makkah pada musim haji 1005
H/1596 M dan kemudian menetap di Madinah. Di san dia membangun rumah dan ribat
untuk menunjang kegiatan tarekat ini. dan kemungkinan besar semua fasilitas
yang dia dapatkan merupakan wakaf atau hadiah dari sultan di Ahmadnagar serta
pejabat-pejabat Utsmani di Madinah.
Dari sinilah melalui usaha keras
Sayid Sibghat, dan bisa dikatakan menjadi satu titik tolak menuju era baru
Tarekat Syattariyyah itu sendiri. Sayid Sibghat wafat di Madinah, dan hingga
sekarang dia dikenang sebagai ulama pengembara yang akhirnya menjadi teladan
dalam interaksi keilmuan dan transmisi tradisi-tradisi kecil Islam dari India,
selain itu juga beliau menjadi tokoh kunci dalam persebaran berbagai gagasan
keislaman di Haramyn, memperkenalkan kitab Jawahir al-Khamsah karangan
gurunya, Syaikh Muhammad Gauts, kepada ulama-ulama di Haramyn. Menulis sejumlah
kitab di bidang tasawuf, kalam dan syarh atas tafsir al-Baydawi. Selain
itu juga dia mempunyai banyak murid, antara lain yang menjadi penerusnya
adalah Ahmad al-Syinawi( lahir 975 H/ 1567 M) dan Ahmad al-Qusyasyi (991-1071
H/ 1583-1660M).
Singkat cerita setelah Syaikh Ahmad
al-Syinawi wafat maka tanggung jawab penyebaran Tarekat Syattariyah di Haramayn
jatuh kepada al-Qusyasyi.
Al-Qusyasyi sendiri sebenarnya telah
mempunyai nama besar dalam bidang keilmuan, dia seorang penulis dan pengarang
produktif pada masanya. Karyanya berjumlah puluhan dalam berbagai bidang
keilmuan, seperti tasawuf, hadis, fikih, ushul-al-fiqih dan tafsir. Dan
yang baru diterbitkan yakni hanya al-Sint al-Majid.
Dibawah kepemimpimpinan al-Qusyasyi,
Tarekat Syattariyah semakin mantap di Haramyn. Dan juga mengalami reorientasi
dari sifat awalnya yang lebih menekankan aspek mistis menjadi sebuah tarekat
yang mengajarka perpaduan syariat dan aspek mistis, atau yang lebih dikenal
dengan istilah neo-sufisme. Selain itu juga, beliau bisa dikatakan sebagaii
orang yang paling bertanggung jawab dalam menyebarkan tarekat ini di seluruh penjuru
dunia, termasuk Melayu-Indonesia melalui murid-muridnya seperti Ibrahim
al-Kurani ( 1023-1102 H/ 1614-1690 M) dan Syaikh Abdurrauf al-Singkili.
Al-Kurani juga lebih dikenal sebagai
khalifah dalam Tarekat Naqsabandiyah namun lantaran hubungannya dengan
al-Singkili maka peran beliau dalam penyebaran Tarekat Syattariyyyah menjadi
penting. Mengapa ? karena beliau adalah guru utama al-Singkili, khususnya
berkaiatan dengan pengetahuan tentang doktrin mistiko-filosofis yang dia
pelajari.
Selanjutnya, Al-Singkili telah mampu
menunjukkan kualitas dirinya sebagai ulama yang mumpuni, beliau mampu
merebut hati sejumlah ulama di Haramayn sehingga menjadikan dirinya sebagai
murid utama. Dia menghabiskan 19 tahun di Haramayn untuk belajar berbagai pengetahuan
Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, tasawuf, kalam dan lain-lain. Beliau
berguru pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh
mistik masyhur dari Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, bayt al-Faqih dan lainnya.
Kemudian masa kembali al Singkili
dari Haramayn bisa dikatakan sebagai awal masuknya Tarekat Syattariyyah ke
dunia Melayu-Indonesia dan beliau ini bisa jadi merupakan satu-satunya ulama
yang paling otoritatif dalam menyebarkan tarekat ini di dunia Melayu-Indonesia
melalui perantara murid-muridnya diantara yang paling terkemuka adalah Syaikh
Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatra barat dan Syaikh Abdul muhyi dari
Pamijahan, Tasikmalaya, jawa Barat.
2.
Tokoh
dan Silsilah tarekat syattariah
Rasulullah
SAW ---> Imam Ali bin Abi Thalib ---> Imam Husain ---> Ali Zainal
Abidin ---> Muhammad al-Baqir ---> Jaafar as-Shadiq ---> Abu Yazid
al-Bisthami ---> Syekh Muhammad Maghrib ---> Syekh Arabi Yazid al-Ghisqi --->
Quthub Abu Muzhaffar Maulana Rumi al-Thusi ---> Quthub Abu Hasan al-Harqani --->
Syekh Hudaquli Mawuri al-Nahari ---> Sayid Muhammad Asyiq ---> Sayid
Muhamad Arif ---> Syekh Abdullah al-Syaththari ---> Qadli al-Syaththari --->
Hidayatullah Sarmats ---> Syekh Haji Hushuri ---> Sayid Muhammad Ghauts
--> Sayid Wajihuddin ---> Sayid Shibghatullah ---> Abu Muwahab
Abdullah Ahmad ---> Syekh Ahmad bin Muhammad ---> Syekh Ahmad al-Qusyasyi
---> Syekh Abdul Rauf al-Sinkili ---> Syekh Haji Abdul Muhyi
3.
Perkembangan
tarekat syattariyyah di tanah nusantara.
Abdurrauf sendiri yang kemudian
turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia, Sesudah Ahmad Qusyasyi
meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Sekembalinya
abdurrauf al-sinkili dari haramayn pada awal paruh kedua abad 17 tepatnya pada
tahun 1661 M, menjadi awal masuknya tarekat syattariyyah ke tanah nusantara.
Setelah 19 tahun beliau menghabiskan waktunya di haramayn untuk belajar
tentang berbagai ilmu pengetahuan, seperti tafsir, hadist, fiqh, tasawuf, ilmu
kalam dan lain-lain. Beliau belajar berbagai pengetahuan agama tersebut pada
tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh sufi kenamaan
di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al-faqih, dan lain-lain.
Sesampainya di Aceh, beliau langsung menjadi pusat perhatian, baik bagi
masyarakat pada umumnya maupun kalangan Istana karena kedalaman pengetahuannya.
Beliau dipercaya oleh sultanah
safiyatuddin untuk menjadi Qodi malik al-adil, pemuka agama yang
bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan sosial-keagamaan. Karena
kedudukan inilah al-sinkili lebih mudah menyebarkan gagasan-gagasan
keagamaannya. Lebih dari itu, keadaan yang terjadi saat itu akibat kontroversi
atau perdebadan panjang antara penganut doktrin ajaran wahdad al-wujud atau
wujudiyyah, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-sumatrai dengan Nuruddin
al-Raniri, menjadikan beliau lebih dikenal karena keberadaannya menjadi
penengah bagi konflik tersebut.
Pergelokan sosial-keagamaan yang
terjadi di aceh, yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran
keagamaan setempat, memberikan ruang khusus bagi tarekat syattariyyah untuk
menjadi suatu pemahaman yang diminati, karena berbagai rumusan ajaran tarekat
syattariyyah yang cenderung rekonsiliatif dengan selalu berusaha memadukan dua
kecenderungan yang bertentangan. Kemudian, melalui perangai baik yang
ditunjukkan oleh al-sinkili dalam menyikapi berbagai persoalan keagamaan di
aceh, menjadikan beliau dikenal sebagai ulama santun yang luas pengetahuannya
dan dihormati, sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Tidak hanya bagi
masyarakat aceh, tetapi juga bagi masyarakat muslim di wilayah lainnya. Hal ini
dapat dibenarkan dari banyaknya murid yang datang ke aceh untuk menuntut ilmu
kepada beliau.
Diantara murid-muridnya yang paling
terkenal adalah syaikh burhanuddin dari ulakan, pariaman, sumatra barat dan
syaikh abdul muhyi dari pamijahan, tasikmalaya, jawa barat. Dari keduanyalah
kemudian akan kita temukan perkembangan tarikat syattariyyah di wilayah
masing-masing. Syekh Burhanuddin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah
tarekat syattariyyah di wilayah sumatra barat periode berikutnya, sementara
syekh abdul muhyi menjadi penyambung estafet terhubungkannya silsilah tarekat
syattariyyah di wilayah jawa barat khususnya, dan jawa pda umumnya.
a) Perkembangan tarekat syattariyyah di
Sumatra Barat
Syekh burhanuddin ulakan, lahir
sekitar tahun 1056 H/1646 M. Semasa kecilnya, beliau dipanggil Pono, lahir di
daerah periangan, padang panjang daerah yang diyakini sebagai daerah asal
minangkabau, alung pariaman. Ayahnya bernama pampak dari suku koto, sedangkan
ibunya bernama nili dari suku guci. Sebelum belajar kepada syekh burhanuddin al-sinkili,
dikisahkan bahwa pono muda berguru kepada syaikh ‘abdullah ‘arif di desa
tapakis, seorang pengembara arab yang konon juga merupakan murid dari syekh
al-kusyasyi di madinah.
Dalam menjalani masa belajarnya
burhanuddin ulakan begitu dekat dengan gurunya, al-sinkili. Disebutkan juga
bahwa beliau tergolong murid istemewa sang syekh. Burhanuddin ulakan begitu
memiliki peran penting dalam proses islamisasi di minangkabau. Segera setelah
menerima ijazah dari gurunya ia kembali ke kampung halamannya dan mendirikan
surau syattariyyah yang juga sebagai satu-satunya pusat keilmuan islam
diwilayah ini. Surau ini pada mulanya diberi nama “ surau batang jelatang” dan
kini dikenal dengan nama “surau gadang”.
Penting dimengerti bahwa melalui
institusi tarekat syattariyyah yang menjadi sarana syekh burhanuddin ulakan
dalam mendakwahkan islam, ajaran-ajaran islam tampaknya lebih mudah diterima
oleh masyarakat minangkabau. Karena beliau menyajikan islam tarekat yang lebih
mengedepankan pentingnya kualitas spritual dan penyucian batin dibandingkan
praktek dan ritual tarekat pada umumnya. Begitu selanjutnya nama surau tidak
bisa dipisahkan dalam tradisi tarekat di daerah sumatra barat ini, khususnya
didataran daerah minangkabau. Karena dengan adanya institusi surau, yang secara
umum telah memainkan peran penting dalam proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan islam.
Penguatan ajaran syattariyyah,
neosufisme. Demikianlah di sumatra barat, tarekat syattariyyah telah menjadi
salah satu pilar terpenting dalam penyebaran ajaran neosufisme, sehingga sangat
berperan dalam pembentukan struktur masyarakat muslimnya.
b) Perkembangan tarekat syattariyyah di
Jawa Barat
Seperti yang telah disinggung
diatas, bahwa ajaran tarekat syattariyyah di jawa barat di bawa oleh syekh
abdul muhyi, yang juga murid al-sinkili di aceh. Murid-murid tarekat
syattariyyah di jawa barat hingga sekarang masih banyak dijumpai, antara lain
di pamijahan, tasikmalaya, purwakarta, ciamis, cirebon, kuningan dan lain-lain. Dikesultanan banten secara spesifik memberikan
gambaran ajaran tarekat, selain menjadi sarana untuk memperoleh kekuatan
spritual, juga diyakini oleh kalangan istana sebagai media yang dapat
mendukung, melegitimasi dan semakin memperkuat kedudukan mereka sebagai
kekuasa.
Diantara murid-murid syekh
abdul muhyi yang disebutkan dalam kitab-kitab tarekat syattariyyah adalah, H
abdullah dan H M. Hasanuddin, karang , supardi; syekh abu hasan, raja galuh;
kiai hasan maolani, lengkong; kiai nur muhammad pasir astana; kiai nur ali,
purwakarta; dan bagus muhammad reja, sukaraja.
Perkembangan tarekat syattariyyah
dijawa barat dan jawa secara menyeluruh dibawa langsung oleh syekh abdul muhyi,
yang kemudian disebarluaskan oleh murid-muridnya yang juga sebagai
pemimpin-pemimpin atau kiai di wilayah masing-masing. Hingga pada akhirnya
tarekkat syattariyyah dikenal luas dengan ajarannya ke seluruh pulau jawa.
c) Ajaran Dzikir Tarekat Syattariyah
Dalam kitab Al-Simt al-Majid, Syeikh
Ahmad al-Qusyasyi, khalifah Tarekat Syattariyah di Haramayn, menjelaskan
berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di dalamnya
Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan dan tata tertib menjadi anggota
tarekat, serta juga berisi tuntutan tentang tata cara dzikirnya.
Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama
bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat adalah baiat dan talqin. Oleh
karnanya, dalam kitab ini, al-Qusyasyi menjelaskan secara detail tata cara
baiat dan talqin tersebut, bahkan dia membedakan antara tata cara baiat bagi
laki-laki perempuan, dan anak-anak.
Menurut al-Qasyasyi, tata cara
dzikir, baiat, dan talqin yang dikemukakanya itu tidak khusus bagi para
penganut tarekat syattariyah saja, melainkan bagi semua al-murdin li al-suluk,
siapa pun yang menempuh dunia tasawuf. Hal ini dapat dimaklumi karna
al-Qusyasyi memang bergabung dengan tidak kurang dari selusin jenis tarekat,
meskipun ia lebih menonjol perananya dalam penyebaran tarekat syattariyah ke
berbagai penjuru dunia melalui murid-muridnya, termasuk ke dunia
Melayu-Indonesia. Meski demikian, di kemudian hari, model dzikir, baiat, dan
talqin yang dikemukakan al-Qusyasyi ini hampir secara keseluruhan diikuti oleh
para ulama tarekat Syattariyah di dunia Melayu-Indonesia.
Praktek yoga yang merupakan ajaran
agama hindu, diadopsi dan dipraktekkan menjadi bagian dari formulasi dzikir
tarekat syattariyah, karena memang konsep dan ritual Islam, khususnya aspek
tasawuf memiliki kedekatan dengan dengan ajaran Hindu.
Dalam apa yang disebut sebagai
astanga-yoga misalnya, terdapat 5 hal berkaitan dengan latihan tubuh lahir,
yakni: pengendalian diri, ketaatan, duduk dengan posisi tertentu, mengatur
nafas dan menutup seluruh panca indra.
Adapun 3 hal yang berkaitan dengan
penyempurnaan rohani, juga merupakan kelanjutan dari 5 tahap lahir sebelumnya
adalah konsentrasi pikiran pada satu fokus tertentu, meditasi, samadi. Yang
disebut trakhir merupakan suatu keadaan yang agak sulit dilukiskan dengan
kata-kata. Seseorang yang tengah berada dalam keadaan samadi, akan merasakan
kebahagiaan besar dalam dirinya. Lebih jauh kesendirianya sebagai manusia pun
akan hilang. Dalam dunia tasawuf, keadaan samadhi ini mirip dengan konsep fana,
yang merupakan tahap tertinggi pencapaian spritual tertinggi seorang salik.
Talqin
Talqin merupakan langkah yang harus
dilakukan terlebih dahulu sebelum seseorang dibaiat menjadi anggota tarekat dan
menjalani dunia tasawuf (suluk).
Menurut al-Qusyasyi, di antara tata
cara talqin adalah calon murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang
ditunjuk oleh syeikhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudhu).
Dalam setiap malamnya, ia harus
melakukan sholat sunnat sebanyak enam rakaat, dengan tiga kali salam. Pada rakaat
pertama dari dua rakaat pertama, setelah surat al-fatihah, membaca surah
al-qodar enam kali, kemudian pada rokaat kedua, setelah surah al-fatihah,
membaca surah al-qodar dua kali. Pahala sholat tersebut dihadiahkan kepada Nabi
SAW. Seraya berharap mendapat pertolongan dari Allah SWT. Selanjutnya, pada
rakaat pertama dari dua rokaat kedua, setelah surah al-fatihah, membaca surah
al-kafirun lima kali, pada rokaat kedua, setelah membaca al-fatihah, membaca
surah al-kafirun tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para Nabi,
Keluarga, Sahabat, serta para pengikutnya.
Terakhir, pada rakaat pertama dari
dua rakaat ketiga, setelah membaca surah al-fatihah, membaca surah al-ikhlas
empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-fatihah membaca surah al-ikhlas
dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk para arwah guru-guru tarekat,
keluarga, sahabat, serta para pengikutnya. Rangkaian sholat sunnah ini kemudian
diakhiri dengan pembacaan sholawat kepada Nabi sebanya sepuluh kali.
Baiat
Setelah menjalani talqin, hal yang
harus dilakukan seseorang yang akan menjalankan suluk adalah baiat. Secara
hakiki, baiat menurut al-Qusyasyi merupakan ungkapan kesetiaan dan penyerahan
diri dari seseorang murid secara khusus kepada seyikhnya, dan secara umum kepada
lembaga tarekat yang dimasukinya. Seorang murid yang telah mengikrarkan diri
masuk ke dalam dunia tarekat, tidak dimungkinkan lagi untuk kembali keluar dari
ikatan tarekat tersebut.
Dalam
dunia tarekat, baiat memiliki konsekuensi adanya kepatuhan mutlak dari seorang
murid kepada syeikhnya, karna syeikh adalah perwakilan dari nabi yang
diyakininya tidak akan membawa pada kesesatan. Kendati demikian, jika seorang
syeikh ternyata menyalahi kaidah-kaidah syariat, maka al-Qusyasyi tidak
menganjurkan untuk mematuhinya, karna masuk ke dalam dunia tarekat sama artinya
masuk pada kewajiban syariat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Singkatnya kesimpulan dari tulisan ini bahwasannya tarekat syattariah ini
didirikan oleh syah abdl allah al-syarti. Tarekat ini awal mulanya muncul di
india karena sebelumnya ia berada di tarekat al-isyqiyah karena tidak
berkembang di daerahnya sehingga oleh gurunya al-syarti ini dikirim ke india
dan dia menemukan kecocokan di sana, dan terdirilah tarekat syattariah ini.
Tarekat ini juga sukses menyebarkan
ajarannya di nusantara ini, dengan tidak sedikit orang-orang mengikuti tarekat
ini. Khususnya perkembangan nya di daerah jawa. Tarekat ini sangat terkenal di
daerah jawa timur, jawa barat, dan jawa timur.
Adapun ajaran yang diajarkan oleh
tarekat syattariah antara lain ialah pengamalam dzikir, talqin, dan setelah
melakukan talqin maka ketika kita ingin masuk kepada tarekan ini untuk
menjalani suluk maka kita harus melakukan yang dinamakan baiat.
Singkatnya tarekat syattariah ini
memiliki peranan penting di nusantara dalam penyebaran tentang tasawuf, dengan
metode penyeebarab yang mereka lakukan khususnya di daerah jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi
Azra. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung : Angkasa, 2008.
Sri
Mulyati. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2011.
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf , ( Bandung :
Angkasa 2008), h. 1194.
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat
Muktabarah di Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2011), h. 155