“Alasan
klasik bahwa kemiskinan serta kekurangan gaji mendekatkan seseorang pada
tindakan korupsi dan kolusi ternyata tidak selalu benar”(Komaruddin Hidayat)
Kita tentu tidak asing lagi dengan
istilah ”Korupsi”. Itu disebabkan karena
korupsi merupakan masalah nasional di negeri kita tercinta ini yang sampai saat
ini belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Setiap pemimpin baru selalu
menjadikan istilah ini sebagai senjata utama untuk mendapatkan dukungan dari
rakyat dengan memasukkannya kedalam Visi dan Misinya, karena rakyat sudah lama memimpikan
ada pemimpin yang serius dalam memberantas korupsi ini. Tetapi seiring dengan
tidak tuntasnya masalah ini, membuat rakyat sulit diyakinkan kembali untuk
mempercayai aparat penegak hukum di negeri kita tercinta ini. Meskipun
sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah tetapi tetap saja masih
belum bisa menyelesaikan masalah ini.
Terkait dengan masalah korupsi ini,
saya sepakat dengan perkataan Komarudddin Hidayat di atas, karena
seperti realita yang kita lihat sekarang ini bahwa banyak skandal korupsi kelas
kakap justru dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi dan kaya raya.
Perlu menjadi catatan kita bersama bahwa ternyata yang melakukan korupsi itu bukanlah
orang-orang yang miskin maupun orang-orang yang kekurangan gaji tetapi korupsi
ini justru kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang kaya raya, yang mempunyai
gaji tinggi dan hidupnya sejahtera.
Lalu pertanyaan besar yang sangat
perlu untuk diselesaikan bersama adalah mengapa para koruptor tetap melakukan praktik
korupsi padahal hidupnya sudah sejahtera ?
Jawabannya adalah seperti yang
dijelaskan oleh Komaruddin Hidayat bahwa para koruptor tersebut telah
terjangkit oleh penyakit yang dalam istilah psikologi disebut sebagai gejala “masokhisme
moral”, yaitu hilangnya rasa malu dan rasa sakit hati untuk merusak
martabat bangsa sendiri. Masokhisme moral ini muncul disebabkan antara lain,
oleh rasa putus asa dan tidak percaya lagi bahwa pemerintah mau secara
sungguh-sungguh memberantas masalah korupsi ini sampai tuntas yang pada
gilirannya melahirkan terjadinya apa yang disebut sebagai “Krisis Iman dan Krisis Amanat”.
Dalam buku “Wisdom Of Life”, Komaruddin
Hidayat memaparkan bahwa kata amanat
masih seakar dengan kata iman dan aman, yang dalam bahasa inggris
mendekati kata credo, credit, dan credibility. Semua istilah ini berkaitan
dengan sikap seseorang yang menaruh kepercayaan untuk memperoleh keimanan serta
kualitas orang yang bisa dipercaya (bisa menjaga amanat). Lebih jauh lagi Komaruddin
Hidayat menjelaskan bahwa iman artinya sikap mempercayakan diri dan
menaruh keselamatannya pada Tuhan karena yakin bahwa keselamatan dan keamanan
yang sejati hanya berada di tangan Tuhan. Dengan penyerahan total kepada Tuhan,
maka perasaan dan kehidupan seseorang menjadi aman karena yakin bahwa Tuhan
selalu memegang amanat, yaitu pemberi rasa aman kepada siapa pun yang
memercayakan nasib hidupnya hanya kepada-Nya. Jadi, kualifikasi orang yang
beriman adalah mereka yang dalam hidupnya merasa aman karena dekat dengan
Tuhan. Lebih dari itu, mereka senantiasa bisa dipercaya untuk menerima amanat
yang diberikan orang.
Dalam konteks kehidupan bernegara,
sesungguhnya pemerintahlah yang menjadi pemegang amanat rakyat, yang
berkewajiban menjamin keamanan rakyatnya. Namun yang mengukur kesungguhan dan
keberhasilan dalam memikul amanat tersebut adalah rakyat itu sendiri. Jika
rakyat merasa hidupnya tidak aman, jika rakyat merasa tidak ada kepastian
hukum, jika rakyat tidak mau lagi mempercayakan perkaranya untuk diselesaikan
oleh aparat pemerintah, maka semua itu jelas menunjukkan gejala krisis amanat
dan krisis iman.
Dalam kehidupan bernegara, sikap
amanat yang ditunjukkan oleh pemerintah sangat penting karena sesungguhnya
amanat merupakan kunci untuk memperoleh dukungan rakyat. Sekali orang sudah
menaruh kepercayaan yang tinggi, maka pengorbanan apapun yang diminta pasti
akan diberikan. Untuk itu pemimpin yang sebenarnya diidam-idamkan oleh bangsa
ini menurut hemat saya adalah sosok pemimpin yang beriman dan bisa menjaga
amanat yang telah diberikan oleh rakyat.
Karena begitu pentingnya keimanan
dan sikap amanat ini dimiliki oleh pemimpin, tidak mengherankan jika rakyat
bisa bersikap apatis dan pesimistis untuk bisa memperoleh keamanan dan
kepastian hukum apabila seorang pemimpin telah dinilai gagal dalam menjaga
amanat yang telah diberikan. Satu contoh misalnya seperti yang kita sering
alami dalam kehidupan sehari-hari adalah mengapa para pengemudi mobil/sepeda
motor dengan seenaknya, bahkan bernafsu, mengambil jalur orang tanpa
memperdulikan antrean? Jawabannya adalah karena orang sudah tidak yakin lagi
bahwa dengan antre, tertib, serta taat pada prosedur dan peraturan yang sah
akan bisa menjamin untuk bisa memperoleh hak-haknya sebagaimana mestinya.
Sekali lagi, krisis-krisis yang
disebutkan sebelumnya berkaitan dengan semakin menipisnya sikap amanat, yaitu
sikap untuk menerima tanggung jawab secara konsekuen atas kepercayaan yang telah
diberikan orang kepadanya. Sehingga dalam hal ini kita perlu mengingat pesan
Rasulullah Saw. Bahwa kepeminpinan dan jabatan itu adalah amanah yang akan
dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana sabdanya :
“Sesungguhnya
jabatan itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan itu pada hari kiamat akan
menjadi kerugian dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu
dengan benar dan menunaikan kewajiban di dalamnya.”
(HR. Muslim, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim).
Dalam konteks ini, baik pemimpin
maupun pihak yang mengangkat tentu akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah
Swt. Apakah amanah itu ditunaikan atau tidak. Karena amanah kekuasaan atas
pemimpin dan penguasa bukan hanya datang dari rakyat, namun juga dari Allah Swt.
Oleh sebab itu, sudah sepatutnya amanah kekuasaan dari Allah swt itu hendaknya harus
digunakan untuk memelihara kemaslahatan rakyat. Sikap amanat ini akan tumbuh
dan mentradisi kalau disertai kepastian hukum dan sanksi tegas bagi yang
melanggarnya.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya
mengutip perkataan dari Komaruddin Hidayat yang mengatakan bahwa “Pemerintah
manapun yang tidak setia dan tahan uji dalam memikul amanat rakyat, suatu saat
rakyat akan mengambilnya kembali dengan caranya sendiri.”
Semoga bangsa ini memiliki sosok pemimpin
yang beriman dan mempunyai sikap amanat tersebut demi terciptanya bangsa yang
memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi rakyatnya.